Terapi emotional healing sendiri biasanya dilakukan beramai-ramai selama orang tersebut masih bisa berjalan atau masih bisa diajak bicara dengan akal sehat. Pertemuan empat mata baru dilakukan jika masalahnya sudah kronis, "Masalahnya terlalu complicated sehingga ia depresi berat atau sakit jantung, kanker, atau sudah di ICU rumah sakit," kata Irma.
Saat melakukan terapi, Irma lebih senang memilih tempat ramai seperti kafe. "Supaya ketegangan sarafnya mengendur dan mengobrolnya lebih rileks. Saat ia rileks dan mengobrol, baru healing terjadi," jelas Irma. Meski terjadi transfer energi, proses terapi lebih banyak dilakukan dengan mengobrol. Lain halnya dengan klien anak-anak, perempuan yang akrab dipanggil Teh Irma ini memberikan reward terlebih dulu agar anak-anak terbuka dan percaya padanya. "Anak umur lima tahun saja mempunyai kantong emosi yang besar," ucap Irma. Ini disebabkan, menurut Irma, karena tekanan yang diperoleh anak di sekolah atau di rumah.
Saat obrolan berlangsung, Irma akan mencari akar permasalahan kliennya. Menurut Irma, bisa saja Si A membenci Si C, tapi setelah ditelisik ternyata sakit hati Si A disebabkan oleh Si B. Mungkin Si B adalah ibunya, sehingga Si A tak berani mengungkapkan kekesalan dan meledak saat ia kecewa dengan Si C. Artinya, klien dituntut untuk jujur mengakui bahwa memang dia marah terhadap seseorang.
"Pasti ada reaksi ketika memikirkan kemarahannya dan Anda harus berani merasakan sakit. Lama-lama, tingkat kemarahan akan berkurang dan kita akan memaklumi kenapa orang tersebut membuat kita kecewa," urai Irma. Ketika Anda teringat kembali akan peristiwa buruk tersebut, fokuslah pada rasa yang dirasakan di dada. "Bukan pada kejadian masa lalu yang menyakitkan hati. Itu ilusi! Mau ngoceh kayak apa juga, itu udah lewat," tegas Irma. Uniknya, para klien biasanya mendapati air kencingnya lebih keruh setelah sesi emotional healing. Menurut Irma, ini adalah racun-racun yang berasal dari emosi negatif Sang Klien.
Setelah Anda berhasil memaklumi, perlahan-lahan, Anda akan sampai pada proses memaafkan. Meski demikian, tak ada yang instan. Proses melupakan dan memaafkan ini membutuhkan waktu yang bergantung pada masing-masing individu. "Kalau ada yang bilang bisa memaafkan dalam 1 detik atau 1 jam, itu bohong!" tegas Irma.
Hypnotherapy: Sugesti Melalui Alam Bawah Sadar
Meski hipnosis adalah terapi yang diaplikasikan untuk gangguan psikologis, metode ini juga dapat diaplikasikan untuk mengatasi penyakit fisik. "Enam puluh persen penyandang kanker, rematik, asmatis, dan penyakit lainnya itu dipicu psikosomatis. Sehingga mereka harus mengenyahkan beban pikiran sehingga pikiran enak dan kesehatan terjaga," papar Dr. Dewi Yogi Pratomo, MHt.
Keliru jika Anda mengira proses hipnosis dilakukan ketika seseorang sedang tertidur. Prosesnya justru dilakukan dalam kondisi setengah tidur dan setengah bangun. Dimulai dengan penuturan klien mengenai apa yang terjadi padanya, lalu terapis berupaya menciptakan kondisi relaks yang akan menggiring klien ke alam bawah sadar. Setelah itu, hipnosis dilakukan dengan memberikan kalimat-kalimat afirmatif secara berulang yang dapat menimbulkan sugesti.
Misalnya pada klien yang menyimpan trauma, maka permasalahan yang dihadapi "dibersihkan" sedikit demi sedikit agar tumbuh kadar keikhlasan sehingga ia akan jauh lebih tenang. Ketenangan itulah, menurut Dewi, yang akan memulihkan pikiran dan tubuhnya.
"Pada intinya, hipnosis itu menjaga relaksasi dan merangsang hormon agar dapat bekerja dengan baik sehingga menenangkan pikiran," ujar hipnoterapis yang tergabung dalam Club Hypnosis Sehati ini. Hormon tersebut kemudian diserap dan didistribusikan ke seluruh sel otak sehingga suasana hati pun lebih terjaga.
Dewi menambahkan, terapi ini dapat dilakukan pada siapa saja. "Asalkan mereka bisa menangkap instruksi atau kimiawi otaknya masih berfungsi dengan baik. Bahkan bayi usia empat bulan pun sudah bisa dihipnosis," ujar Dewi. Namun tidak adanya intervensi medis dan obat-obatan pada hipnosis mengakibatkan hasil nyatanya membutuhkan waktu lama untuk terlihat. "Tapi, efeknya dapat menetap," tambah Dewi. Meski demikian, bukan berarti hipnoterapi mampu menggantikan hal-hal yang bersifat medis. Sebut saja kasus personality disorder di mana intervensi medis mutlak diperlukan.
Dewi mengingatkan, faktor penentu dalam terapi ini ada di tangan pasien alias tergantung pada sugesti dan keinginannya untuk sembuh. Untuk itulah dibutuhkan keyakinan pasien terhadap terapis. "Ia tidak bisa apriori terhadap terapi yang dijalankan. Karena jika begitu, saya yakin efeknya tidak akan ada," kata Dewi.
Annelis Brilian, Astrid Isnawati