Boleh, Kok, Punya Sahabat Lain Jenis

By nova.id, Sabtu, 21 Agustus 2010 | 17:31 WIB
Boleh Kok Punya Sahabat Lain Jenis (nova.id)

Yang penting, patuhi rambu-rambunya. Kalau tidak, bisa-bisa kita "lari" kepada sahabat dan bercerai dari pasangan.

Indahnya persahabatan sering dilukiskan di film-film dan novel, bagaimana seorang sahabat dapat menghibur kala kita berduka. Sahabat pulalah yang kerap paling bersemangat memberi selamat kalau kita sukses. "Itulah gunanya sahabat, tak peduli hari baik atau musim jelek, dia selalu datang pada kita," kata penyair Jerman, Goethe.

Sayangnya, persahabatan sering terputus setelah kita menikah, terutama persahabatan dengan lawan jenis. "Sungkan sama pasangan," begitulah biasanya alasan yang kerap dikemukakan. Hal ini diakui oleh dra. Winarini Wilman, "Persahabatan yang dijalin dengan sesama jenis biasanya bisa langgeng walau kita sudah menikah, karena tanpa risiko." Maksudnya, persahabatan dengan sesama jenis tak akan berkembang menjadi urusan cinta. Lain halnya dengan persahabatan lain jenis. "Orang sering mengatakan, batas antara cinta dan persahabatan itu tipis sekali. Ibaratnya, friend can be lover," lanjutnya.

Namun begitu, tak berarti persahabatan lain jenis harus berakhir setelah kita menikah. "Asalkan masing-masing pihak sadar dan memperhatikan betul batasan-batasannya, nggak masalah, kok," kata psikolog dari Fakultas Psikologi UI ini. Adapun batasannya ialah komitmen pada pasangan kita, prioritas yang kita pilih, serta batasan moral dan agama. Nah, dengan memegang teguh batasan-batasan tersebut, Winarini yakin, perselingkuhan tak akan mudah terjadi. "LEM" IPC

Selain itu, lanjut Winarini, alangkah baiknya bila perkawinan juga mempunyai "lem" yang disebut IPC, yakni Intimacy, Passion, dan Commitment. Yang dimaksud Intimacy adalah kedekatan, kehangatan, dan keintiman. Sedangkan Passion diwujudkan dalam bentuk hubungan seksual. Sementara Commitment, menyangkut hal-hal yang diputuskan secara rasional, seperti keputusan untuk menikah, keputusan untuk mencintai dan dicintai. "Kalau kita punya lem IPC, mau ada sahabat dekat atau orang lain, perkawinan tetap saja tak terguncang," katanya.

Kendati demikian, tak berarti perkawinan otomatis akan mudah terguncang bila salah satu dari ketiga unsur tersebut tak ada. Apalagi, seperti dikatakan Winarini, ketiga unsur tersebut tak selalu ada dalam perkawinan. Pada perkawinan yang sudah berlangsung lama, misalnya, bisa terjadi pasangan hanya mempunyai komitmen dan keintiman, sedangkan hubungan seks tak dilakukan sama sekali. "Tapi jika pasangan tersebut sangat menjunjung nilai moral dan agama, ya, tak harus mencari di luar," ujarnya.

Dengan kata lain, bila kita juga berpegang teguh pada batasan-batasan yang sudah disebutkan di atas, maka kita tak akan mudah "berpaling" dari perkawinan sekalipun "lem" IPC-nya tak cukup kuat melekat. Celakanya, yang sering terjadi justru tak demikian. Ketika salah satu pihak merasa tak mendapatkan komitmen, misalnya, ia malah mencoba mencari pemenuhan komitmen ini pada sahabatnya.

Bukankah sahabat biasanya mempunyai komitmen yang tinggi? Lagi pula, hubungan dengan sahabat biasanya juga sangat dekat dan terbuka. "Yang tak ada cuma hubungan seksual. Nah, kalau tak hati-hati, bisa terpeleset ke sana. Apalagi wanita kalau bercinta membutuhkan kedekatan emosi. Kalau dia bisa diterima dengan baik, merasakan adanya kepercayaan, dia akan mudah sekali jatuh cinta," tutur Winarini. Terlebih lagi jika si sahabat bersikap aji mumpung, juga membalas perhatian yang diberikan. Klop, deh! Itulah mengapa, tak sedikit yang jatuh cinta dengan sahabat dan memilih bercerai dari pasangannya.

JANGAN BUKA PELUANG

Disamping yang sudah disebutkan di atas, ada beberapa hal lagi yang harus diperhatikan agar persahabatan dengan lawan jenis bisa tetap murni. Salah satunya, saran Winarini, saat mengobrol pilihlah topik pembicaraan yang sifatnya umum, entah mengenai pekerjaan dan keluarga, namun tak menjurus ke keintiman.

Yang juga tabu dibicarakan ialah kekurangan pasangan kita. Karena dengan mengetahui kekurangan pasangan kita, sahabat bisa, lo, menarik keuntungan dari situasi itu. "Jadi, dengan sahabat pun kita tetap harus 'waspada'," ujar Winarini. "Meskipun sudah bertahun-tahun bersahabat, yang namanya manusia, kan, selalu berubah. Dulu mungkin kita bersahabat dengan dia, tapi lama-kelamaan bisa saja dia menaruh perhatian yang lebih pada kita. Jadi perlu dilihat-lihat lagi," lanjutnya.

Juga, sebaiknya jangan membuka peluang untuk berdua di tempat yang bisa terjadi sesuatu. "Kalau pergi berduaan di luar pekerjaan, apalagi yang bersifat entertainment, janganlah dilakukan. Lebih baik hindari pergi ke disko atau tempat-tempat hiburan lain. Ingat, Anda sekarang sudah punya suami atau istri," nasihat Winarini.

TAK USAH CEMBURU

Yang kerap jadi masalah pula adalah hubungan kita dengan sahabat lain jenis dari pasangan. Tak jarang kita dihinggapi rasa cemburu. Nah, untuk mengatasinya, saran Winarini, sebaiknya kita menerapkan keterbukaan dengan pasangan. "Rasa kurang sreg atau cemburu sebaiknya selalu dibicarakan dengan pasangan, sehingga pasangan mengetahui bagaimana perasaan kita mengenai hubungan mereka.Kalau kalau kita diam saja, pasangan mana tahu perasaan kita."

Begitu juga bila pasangan mulai sering membicarakan kelebihan sahabatnya, sebaiknya jangan langsung mencak-mencak menuduhnya mulai lirik-lirik pada sahabatnya. "Tapi cobalah untuk memperlihatkan rasa ketertarikan juga dan minat yang tinggi kepada si sahabat," anjur Winarini. Namun tentunya dengan cara yang halus. Misalnya, "Mas, bagaimana, sih, sifat temanmu itu? Baik tidak?" Selanjutnya, cobalah bersahabat dengan sahabat pasangan kita tersebut. Keuntungannya bisa ganda, lo, karena sahabat yang baik biasanya akan turut menjaga perkawinan kita. Dia akan mengingatkan pasangan kita kalau sampai menimbulkan masalah pada kita.

"Dalam kesulitan, sahabat yang baik akan sangat rela untuk membantu, bukannya mengambil kesempatan. Lagi pula sahabat yang baik akan menjaga persahabatan itu dengan cara yang baik dan tulus," tutur Winarini. Hal lain yang bisa kita lakukan ialah mencoba mencari tahu apa yang menjadi kelebihan si sahabat, lalu mempelajarinya. "Tak perlu malu untuk melakukannya, karena akan lebih rugi bila pasangan kita malah lari ke orang lain demi menutupi kekurangan kita. Bukankah perkawinan yang bisa terjaga dengan baik adalah bila kita selalu mendapatkan yang lebih dari pasangan?" Lagi pula, kalau kita memusuhi sahabat pasangan bisa berakibat senjata makan tuan.

"Kebencian itu bisa berbalik pada kita. Sahabatnya, kan, juga merasa, ah, dia enggak baik sama saya. Nah, caranya 'membalas dendam' bisa dengan cara mengambil kesempatan." Jadi, tandas Winarini, yang lebih baik adalah saling terbuka. Begitu pun kita harus terbuka bila punya sahabat. "Bicarakanlah pada pasangan, misalnya, kita punya sahabat begini, orangnya begini, dan sebagainya. Ceritakan saja semuanya, tak perlu ada yang disembunyikan." Dengan demikian pasangan kita tak akan sampai curiga ataupun cemburu.

BAIK UNTUK ANAK

Jadi, tandas Winarini, perkawinan sebaiknya tak lantas menyingkirkan sahabat lama. Malah, persahabatan yang dijalankan dengan tulus, baik, dan patuh pada rambu-rambu, sebenarnya sangat baik dampaknya buat anak. "Mereka bisa belajar dari persahabatan orang tuanya. Anak bisa melihat, bagaimana orang tuanya saling berbagi rasa, saling tolong-menolong, serta melakukan kegiatan bersama."

Bahkan, bukan tak mungkin anak-anak kita pun bisa bersahabat dengan anak-anak sahabat. "Sahabat yang dipupuk sejak kecil biasanya malah lebih awet sampai mereka sama-sama besar, karena hubungan mereka sudah seperti layaknya saudara," lanjut Winarini. Tapi, bagaimana bila pasangan ternyata keberatan kita tetap bersahabat dengan sahabat lain jenis? "Kalau sudah menikah, apalagi kalau sudah punya anak, tentunya prioritas kita bukan lagi pada kebahagiaan diri sendiri, tapi keluarga.

Jadi, biarpun persahabatan sudah berjalan bertahun-tahun, kita harus rela melepaskan sahabat. Toh, kita tetap bisa keep in touch lewat telepon, menanyakan hal-hal yang umum seputar keluarga." Tentunya, sahabat yang baik akan mengerti kalau kita harus memprioritaskan keluarga. "Mungkin malah dia mendukung niat kita itu." Prinsipnya, tandas Winarini, tentukanlah apa yang menjadi prioritas bila kita harus memilih antara mempertahankan perkawinan atau persahabatan. Nah, enggak sulit, kan? Semuanya terpulang kepada masing-masing.  

Santi Hartono/nakita