Kendati bisnis bersama pasangan banyak menguntungkan, namun bukan berarti tak bakal ada masalah. "Bila suami lebih banyak melakukan deal bisnis dan menjalankan operasionalnya, bisa jadi ia semakin canggih. Sementara istrinya yang hanya mengurusi administrasi dan lebih banyak tinggal di kantor, tentunya akan ketinggalan." Akibatnya, makin lama gap di antara mereka makin besar. Buntutnya, salah satu pasti akan merasa tersisih. Kalau sudah begitu, tak ayal lagi, bisnis pun tak lagi terasa menyenangkan.
Sering terjadi, bila salah satu merasa tersisih, merasa yang lain lebih dominan, maka ketidakpuasannya itu akan terbawa ke rumah. Nah, menurut Kafi, pasangan yang demikian belum bisa membedakan urusan bisnis dan rumah tangga. "Mereka merasa kantor sama dengan rumah, sehingga mereka mau adu pengaruh supaya lebih dominan," terangnya. Namun tentu saja hal itu akan berdampak buruk, baik untuk hubungan suami-istri itu sendiri maupun sebagai partner bisnis. Untuk mengantisipasi timbulnya konflik seperti itu,
Kafi menyarankan agar ada pembagian yang jelas tentang tugas dan wewenang masing-masing pihak. "Bukankah di setiap organisasi pun selalu ada tugas dan wewenang masing-masing pihak yang terlibat? Karena itu, bisnis pun harus dilihat sebagai suatu organisasi." Tentunya setelah ada pembagian yang jelas, masing-masing pihak harus menghargai wewenang atau teritori pasangannya. Pembagian tugas yang jelas ini juga membantu agar salah satu pihak tak merasa tersisih atau dilangkahi. Misalnya, dalam mengambil setiap keputusan yang menyangkut urusan rumah tangga, istri selalu dilibatkan. Tapi kalau untuk urusan bisnis, bisa saja suami membuat keputusan tanpa melibatkan istri karena suami merasa itu sudah menjadi wewenangnya. "Kalau batasannya jelas, wewenangnya jelas, masing-masing tak melanggar rambu-rambu yang diberikan pasangannya, biasanya akan membuat bisnis lancar saja," tutur Kafi.
KOMUNIKASI SELALU DIJAGA
Suami-istri yang berhasil dalam bisnis, menurut Kafi, kebanyakan karena mereka saling mengisi, bukannya bersaing. Selain itu, tambahnya, harus disadari bahwa dalam bisnis manapun selalu ada pihak yang lebih tinggi dari yang lain. "Enggak ada, tuh, yang namanya equal partner dalam bisnis. Beda dengan kehidupan dalam rumah tangga, justru equal partner sangat penting." Jadi, kalau dalam bisnis suami-istri memposisikan dirinya sama tinggi, itu pasti menimbulkan masalah. "Mereka harus mau berbagi wewenang; harus ada supreme power di bisnis. Kalau partner setara dalam ide dan saham, sih, boleh, tapi harus ada yang lebih tinggi dalam leadership-nya," tutur Kafi.
Sebagai jalan keluar, Kafi menyarankan agar komunikasi antara suami istri selalu dijaga. Jangan masing-masing tenggelam dalam kesibukannya sendiri di kantor. Ide-ide baru dan keinginan masing-masing pihak harus terus dibicarakan, supaya sebelum salah satu mengambil keputusan, paling tidak ia sudah tahu keinginan pasangannya. "Walaupun tak ada sharing dalam pengambilan keputusan, tapi dalam prosesnya istri mengerti, karena komunikasi dijalankan dengan sangat baik. They still communicate in the decision, tapi tak harus sharing the power. "
Konflik lain yang kerap muncul, bila masa-masa sulit dalam bisnis terbawa sampai ke rumah. Misalnya, bisnis sedang lesu, pelanggan jarang datang, order tak masuk atau kalah tender melulu, nah, efek psikologisnya bisa bermacam-macam. Suami/istri atau kedua-duanya bisa jadi kesal, lantas di rumah jadi marah-marah. Ini tentu akan mengganggu hubungan suami-istri. Jadi mesti diwaspadai.
DUKUNGAN MORAL
Memang, aku Kafi, ada juga pasangan yang berbisnis bersama namun tak mau membawa persoalan dalam bisnis ke rumah tangga. "Mereka bisa membedakan untuk tak membawa konflik rumah tangga ke bisnis dan sebaliknya. Pokoknya, di kantor urusan di kantor dan di rumah urusan di rumah," tuturnya. Hal ini tergantung dari tingkat "kecanggihan" relationship suami-istri tersebut. Itulah mengapa ada juga pasangan yang oke-oke saja membicarakan bisnis ke rumah dan menganggap itu malah bagus. "Bisnis mereka bisa lebih intens karena mereka terus berkomunikasi di rumah."
Jadi, tergantung kesepakatan mereka. Selain itu, kalau mereka selalu kompak dan gembira dalam menjalankan bisnis bersama, "sebenarnya mereka mendapat manfaat lain, yaitu moral support yang didapat oleh masing-masing pihak," lanjut Kafi. Dukungan dan hiburan bila bisnis sedang sepi benar-benar bisa dirasakan oleh suami atau istri. "Moral support ini yang seringkali justru tak bisa didapat dari pegawai atau kompanyon bisnis yang lain." Jadi, Bu-Pak, rahasia suksesnya cuma kompak dan fun. Kalau fun-nya sudah hilang, maka kompaknya akan "tenggelam"; begitu juga sebaliknya. Selamat berbisnis dengan pasangan; semoga sukses!
Santi Hartono /nakita