Drajat yakin, asalkan di dalam perkawinan ada saling percaya dan menerima pasangan apa adanya, walaupun istri atau suami tak bagus dalam satu bidang maka tak akan menimbulkan kekecewaan pada pasangannya. Namun untuk dapat menerima pasangan apa adanya, kita harus lebih dulu menerima diri sendiri. "Kalau kita sudah bisa menerima diri sendiri, akan lebih gampang untuk menerima diri orang lain. Itu hal mudah yang bisa kita lakukan. Kalau kita memaksa orang lain berbuat seperti yang kita inginkan, itu berarti kita tak bisa menerima orang lain." Selain itu, kalau kita bisa menerima diri sendiri, tentunya kita tak mudah curiga pada orang lain. "Kita tak akan merasa khawatir kalau pasangan kita lebih maju." S
UAMI MERASA TERPOJOK
Biasanya, jika istri yang ketinggalan "kereta" tak banyak memunculkan konflik di permukaan. Tak demikian halnya bila suami yang ketinggalan, entah kariernya, pergaulannya, atau wawasannya. Sebab, ada label yang diberikan oleh masyarakat bahwa suami adalah kepala rumah tangga dan kedudukannya harus lebih tinggi dari istri. "Apalagi jika istri juga tak bisa menerima, menganggap kemampuan suaminya membuat rasa malu, tak selevel, dan mengancam eksistensinya di masyarakat. Walaupun sebenarnya kembali pada masalah komitmen yang dibangun bersama.
Kalau jatuh-bangun pasangan ini bergantung pada lingkungannya, ya, label ini akan membuatnya malu," tutur Drajat. Tentunya sikap istri yang demikian akan membuat suami merasa terpojok dan menjadi rendah diri, sehingga konflik pun berkembang serius. Lain hal bila istri bisa menerima bahwa kemampuan suaminya memang hanya segitu, tak akan terjadi perceraian. "Meskipun istri lebih tinggi, ia tetap bisa menghargai kapasitas pria sebagai ayah dan suami." Jadi, kalau istri percaya diri, tak bergantung pada lingkungan dan bisa menerima suami apa adanya, ya, tak akan menimbulkan masalah.
Ia merasa secure bahwa ini adalah penerimaan antara dua orang saja. Apalagi kalau ia tahu, dalam kapasitasnya, si suami, toh, sudah menunjukkan peningkatan diri yang sesuai dengan kemampuannya. Jadi, kembali lagi, kuncinya adalah saling percaya dan menerima. Manfaatnya banyak, lo. Disamping konflik tak akan muncul karena perbedaan dari masing-masing pihak, juga akan memberikan suasana dan dukungan pada kedua belah pihak. Dengan demikian, masing-masing pihak malah terpacu untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya.
MEMONITOR DIRI SENDIRI
Kendati suami/istri sudah dapat menerima pasangannya dan tak menuntut perubahan yang terlalu banyak dari pasangan, bukan berarti lantas kita enak-enakan berdiam diri dan tak mau mengembangkan diri. "Karena kita hidup tak hanya berdua dengan pasangan, tapi juga di dalam masyarakat. Jadi, introspeksi diri juga penting. Ini yang disebut self-monitoring, sejauh mana kita memonitor diri kita, melihat apa yang kurang dan kelebihan kita. Dengan demikian, kita terpacu untuk mengembangkan diri," kata Drajat.
Jangan lupa, ingatnya, standar yang berkembang di masyarakat tetap harus dilihat, kendatipun pasangan kita dapat menerima perbedaan yang ada. "Jika istri atau suami tak berkembang seperti harapan kita, mungkin tak menjadi masalah. Tapi di masyarakat, kan, ada norma dan standar yang berlaku tersendiri. Jangan karena pasangan bisa menerima kita, maka kita tak melihat standar yang berlaku di luar."
Artinya, standar di luar bukan sama sekali harus disingkirkan, tapi sejauh mana, sih, kita secara umum tak menyimpang dari masyarakat. "Kalau kita melihat standar yang berlaku di luar begini, ya, kita harus berbesar hati untuk menerima dan bersiap mengembangkan diri lagi." Nah, agar tetap up-to-date dengan kemajuan pasangan dan "tuntutan" masyarakat dari luar, dapat dilakukan hal-hal yang sifatnya kompromistis.
"Bila suami adalah pejabat yang sukses kariernya, istri mengimbanginya dengan keterampilan sebagai pekerja sosial. Jadi orang melihat, pasangan ini memang pas." Atau, bila istri manajer hebat di kantornya, si suami dikenal sebagai ahli dan terampil membuat taman. "Jadi, bisa saja di lingkup kerja istrinya ia memang tak terlihat berpotensi, tapi di lingkungan lain, suami malah sangat menonjol.Dengan demikian, suami-istri tak perlu khawatir terhadap adanya perbedaan-perbedaan di antara mereka, karena selalu ada potensi yang bisa dikembangkan dari masing-masing pihak.
"Yang penting, saling percaya dan menerima, sehingga masing-masing terdorong untuk mengembangkan potensinya. Juga, jangan malas untuk mengembangkan diri. Itu saja, kok, kuncinya," simpul Drajat.
YAKIN AKAN POTENSI DIRI
Namun tentunya setiap pihak harus yakin bahwa dirinya menyimpan potensi yang bisa dikembangkan. Jadi, bila istri/suami "lupa" mengajak pasangannya berkembang, pasangan yang aktif tetap dapat menunjukkan aktualitas dirinya. Soalnya, tutur Drajat, ada ibu-ibu yang seringkali tertinggal karena merasa tak mampu. "Mungkin karena di dalam rumah tangganya, peran si istri sering dimarginalkan, ditaruh di bawah supaya tak menumbangkan superioritas suami, sehingga ia percaya bahwa ia memang tak mampu.
Jadilah ia orang yang tak mampu, ia makin tak percaya diri. Akibatnya, suami pun makin malas melihatnya." Padahal, istri seharusnya tak termakan label yang diberikan oleh suami atau lingkungannya. "Istri harus mampu memperlihatkan bahwa ia mampu mengembangkan dirinya. Kalau ia tak mau mengembangkan dirinya karena percaya dengan label yang disandangnya, ini tak hanya berpengaruh langsung pada dirinya, tapi juga bagi keluarganya karena si ibu jadi kelihatan 'cupet' dan 'malas'." Bukankah pasangan kita pun akan respek dan bangga bila kita rajin mengaktualisasi diri ?
Santi Hartono/nakita