Perkawinan tak harus mematikan potensi masing-masing. Sebaliknya justru harus saling men-support
"Aku suka dengan Mia karena dia pintar. Diajak ngomong apa saja, oke. Beda banget dengan istriku. Istriku suka enggak nyambung kalau aku ajak omong," keluh Adi, eksekutif di sebuah BUMN pada teman-temannya.
Keluhan Adi, menurut psikolog sosial Drajat S. Soemitro, hanyalah alasan klasik para pria untuk "berhak" selingkuh. Walau begitu, ada baiknya keadaan di atas dilihat dengan kaca mata lebih luas bahwa suami/istri pun menuntut pasangannya untuk berkembang. "Hubungan suami-istri itu, kan, merupakan hubungan timbal-balik, juga hubungan antara peran-peran," ujarnya. Oleh sebab itu, lanjut dosen di Fakultas Psikologi UI ini, perkawinan disebut juga sebagai koeksistensi. Jadi, perlu kesetaraan di antara suami-istri; jangan yang satu lebih tinggi dan lainnya lebih rendah. "Bila terjadi gap seperti ini akan membuat koeksistensi dalam perkawinan menjadi timpang," terangnya.
SIBUK SENDIRI
Meskipun awalnya pasangan berangkat dari level yang sama, entah sama-sama berlatar belakang pendidikan perguruan tinggi atau sama-sama mempunyai wawasan luas, namun dalam perjalanan perkawinan tak jarang yang satu ketinggalan dari lainnya. Hal ini terjadi karena, baik suami maupun istri sebenarnya menyimpan kemampuan-kemampuan yang berbeda, "sehingga bisa saja yang satu lebih maju kariernya atau wawasannya dari yang lain. Walaupun, misalnya, sudah diusahakan bersama terus," tutur Drajat.
Ketimpangan ini bisa makin melebar bila dalam perkawinan terjadi pembatasan peran yang sangat tegas, sehingga memungkinkan terjadi konflik peran. Misalnya, sudah ditegaskan bagaimana peran suami dan peran istri. "Nah, bila pembagian peran itu berdasarkan peran tradisional, biasanya istri ditempatkan pada peran yang lebih di bawah dari suami." Misalnya, istri ditempatkan di rumah untuk mengurus anak dan rumah, sehingga mau tak mau, "karier" istri, ya, hanya berkutat di situ. Sibuknya suami atau istri dengan urusannya sendiri, juga memunculkan ketimpangan tersebut. "Ini biasanya terjadi jika salah satu pihak sibuk mengejar karier, sehingga ia lupa kalau ada pasangannya yang perlu juga didorong untuk berkembang." Apalagi masyarakat modern memacu orang untuk individual.
Kesibukan kerja di luar rumah maupun persaingan di antara sejawat yang sedemikian rumitnya, kadang membuat orang mencurahkan energinya ke sana sehingga tak ada energi lagi untuk memikirkan pasangannya. "Hakekat orang, kan, kalau dirinya sendiri belum tertolong, sulit untuk menolong orang, sehingga pemikiran harus mengajak pasangannya berkembang sering terlupakan.
Inilah yang kerap menyebabkan koeksistensi tak berjalan seiring." Jika salah satu pihak sibuk memikirkan kariernya sehingga yang satu merasa tertinggal, menurut Drajat, yang perlu dilakukan pertama kali bukan buru-buru "ngotot" mengejar ketinggalan itu, tapi ajaklah si pasangan duduk bersama untuk memikirkan kembali koeksitensi tersebut. "Bukankah perkawinan itu sebenarnya absorber, peredam bila kita jenuh dengan keadaan di masyarakat?
Tapi lantaran perilaku individualistis dalam masyarakat tadi terbawa ke dalam perkawinan, maka yang seharusnya menjadi peredam malah menjadi goncang sendiri." Suami dan istri sibuk dengan urusannya masing-masing, sehingga lupa kalau harus saling mendukung dan kesetaraan harus tetap berjalan.
MENERIMA POTENSI PASANGAN
Sebenarnya, terang Drajat, perbedaan intelektualitas antara suami-istri tak harus menjadi sumber konflik, karena pengembangan diri tak hanya bergantung pada intelektualitas seseorang. "Mengembangkan diri berarti mengaktualkan potensi yang ada pada diri kita; tak harus berhubungan dengan karier, tapi juga keterampilan dan bakat yang kita miliki." Bukankah manusia harus selalu mengembangkan diri, karena hidup juga berkembang dan menuntut perubahan?
Jadi, kalau kita tak berkembang, ya, enggak natural. Kalau kita tak bisa mengembangkan salah satu dari potensi yang ada pada kita, maka kita dianggap tak mengembangkan diri. Yang penting, ujar Drajat, penerimaan pasangan dari potensi yang dimilikinya. Misal, istri adalah ibu rumah tangga biasa yang bagi orang luar dinilai wawasannya sangat sempit. Tapi suami tetap merasa bangga karena istri dinilainya mampu meng-handle anak-anaknya, bisa dengan mudah mendiamkan anaknya yang rewel, anaknya pun jadi tak nakal dan tak pernah membuat ulah. "Jadi, harus dilihat pasangannya sebagai suatu potensi yang bisa dikembangkankan dan dimanfaatkan dalam keluarga," tandasnya.
Drajat yakin, asalkan di dalam perkawinan ada saling percaya dan menerima pasangan apa adanya, walaupun istri atau suami tak bagus dalam satu bidang maka tak akan menimbulkan kekecewaan pada pasangannya. Namun untuk dapat menerima pasangan apa adanya, kita harus lebih dulu menerima diri sendiri. "Kalau kita sudah bisa menerima diri sendiri, akan lebih gampang untuk menerima diri orang lain. Itu hal mudah yang bisa kita lakukan. Kalau kita memaksa orang lain berbuat seperti yang kita inginkan, itu berarti kita tak bisa menerima orang lain." Selain itu, kalau kita bisa menerima diri sendiri, tentunya kita tak mudah curiga pada orang lain. "Kita tak akan merasa khawatir kalau pasangan kita lebih maju." S
UAMI MERASA TERPOJOK
Biasanya, jika istri yang ketinggalan "kereta" tak banyak memunculkan konflik di permukaan. Tak demikian halnya bila suami yang ketinggalan, entah kariernya, pergaulannya, atau wawasannya. Sebab, ada label yang diberikan oleh masyarakat bahwa suami adalah kepala rumah tangga dan kedudukannya harus lebih tinggi dari istri. "Apalagi jika istri juga tak bisa menerima, menganggap kemampuan suaminya membuat rasa malu, tak selevel, dan mengancam eksistensinya di masyarakat. Walaupun sebenarnya kembali pada masalah komitmen yang dibangun bersama.
Kalau jatuh-bangun pasangan ini bergantung pada lingkungannya, ya, label ini akan membuatnya malu," tutur Drajat. Tentunya sikap istri yang demikian akan membuat suami merasa terpojok dan menjadi rendah diri, sehingga konflik pun berkembang serius. Lain hal bila istri bisa menerima bahwa kemampuan suaminya memang hanya segitu, tak akan terjadi perceraian. "Meskipun istri lebih tinggi, ia tetap bisa menghargai kapasitas pria sebagai ayah dan suami." Jadi, kalau istri percaya diri, tak bergantung pada lingkungan dan bisa menerima suami apa adanya, ya, tak akan menimbulkan masalah.
Ia merasa secure bahwa ini adalah penerimaan antara dua orang saja. Apalagi kalau ia tahu, dalam kapasitasnya, si suami, toh, sudah menunjukkan peningkatan diri yang sesuai dengan kemampuannya. Jadi, kembali lagi, kuncinya adalah saling percaya dan menerima. Manfaatnya banyak, lo. Disamping konflik tak akan muncul karena perbedaan dari masing-masing pihak, juga akan memberikan suasana dan dukungan pada kedua belah pihak. Dengan demikian, masing-masing pihak malah terpacu untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya.
MEMONITOR DIRI SENDIRI
Kendati suami/istri sudah dapat menerima pasangannya dan tak menuntut perubahan yang terlalu banyak dari pasangan, bukan berarti lantas kita enak-enakan berdiam diri dan tak mau mengembangkan diri. "Karena kita hidup tak hanya berdua dengan pasangan, tapi juga di dalam masyarakat. Jadi, introspeksi diri juga penting. Ini yang disebut self-monitoring, sejauh mana kita memonitor diri kita, melihat apa yang kurang dan kelebihan kita. Dengan demikian, kita terpacu untuk mengembangkan diri," kata Drajat.
Jangan lupa, ingatnya, standar yang berkembang di masyarakat tetap harus dilihat, kendatipun pasangan kita dapat menerima perbedaan yang ada. "Jika istri atau suami tak berkembang seperti harapan kita, mungkin tak menjadi masalah. Tapi di masyarakat, kan, ada norma dan standar yang berlaku tersendiri. Jangan karena pasangan bisa menerima kita, maka kita tak melihat standar yang berlaku di luar."
Artinya, standar di luar bukan sama sekali harus disingkirkan, tapi sejauh mana, sih, kita secara umum tak menyimpang dari masyarakat. "Kalau kita melihat standar yang berlaku di luar begini, ya, kita harus berbesar hati untuk menerima dan bersiap mengembangkan diri lagi." Nah, agar tetap up-to-date dengan kemajuan pasangan dan "tuntutan" masyarakat dari luar, dapat dilakukan hal-hal yang sifatnya kompromistis.
"Bila suami adalah pejabat yang sukses kariernya, istri mengimbanginya dengan keterampilan sebagai pekerja sosial. Jadi orang melihat, pasangan ini memang pas." Atau, bila istri manajer hebat di kantornya, si suami dikenal sebagai ahli dan terampil membuat taman. "Jadi, bisa saja di lingkup kerja istrinya ia memang tak terlihat berpotensi, tapi di lingkungan lain, suami malah sangat menonjol.Dengan demikian, suami-istri tak perlu khawatir terhadap adanya perbedaan-perbedaan di antara mereka, karena selalu ada potensi yang bisa dikembangkan dari masing-masing pihak.
"Yang penting, saling percaya dan menerima, sehingga masing-masing terdorong untuk mengembangkan potensinya. Juga, jangan malas untuk mengembangkan diri. Itu saja, kok, kuncinya," simpul Drajat.
YAKIN AKAN POTENSI DIRI
Namun tentunya setiap pihak harus yakin bahwa dirinya menyimpan potensi yang bisa dikembangkan. Jadi, bila istri/suami "lupa" mengajak pasangannya berkembang, pasangan yang aktif tetap dapat menunjukkan aktualitas dirinya. Soalnya, tutur Drajat, ada ibu-ibu yang seringkali tertinggal karena merasa tak mampu. "Mungkin karena di dalam rumah tangganya, peran si istri sering dimarginalkan, ditaruh di bawah supaya tak menumbangkan superioritas suami, sehingga ia percaya bahwa ia memang tak mampu.
Jadilah ia orang yang tak mampu, ia makin tak percaya diri. Akibatnya, suami pun makin malas melihatnya." Padahal, istri seharusnya tak termakan label yang diberikan oleh suami atau lingkungannya. "Istri harus mampu memperlihatkan bahwa ia mampu mengembangkan dirinya. Kalau ia tak mau mengembangkan dirinya karena percaya dengan label yang disandangnya, ini tak hanya berpengaruh langsung pada dirinya, tapi juga bagi keluarganya karena si ibu jadi kelihatan 'cupet' dan 'malas'." Bukankah pasangan kita pun akan respek dan bangga bila kita rajin mengaktualisasi diri ?
Santi Hartono/nakita