Kehidupan Seks Yang Sehat

By nova.id, Selasa, 6 Juli 2010 | 17:09 WIB
Kehidupan Seks Yang Sehat (nova.id)

Nah, untuk mengatasi hambatan komunikasi seksual, kita bisa melakukannya antara lain dengan mengajak bicara pasangan tentang kapan dan bagaimana sebaiknya berbicara mengenai kehidupan seksual. "Kemauan untuk berbicara 'mengenai kapan dan bagaimana' saja, sudah cukup menunjukkan bahwa Anda memperhatikan kehidupan seksual pasangan Anda, sekaligus kehidupan seksual suami-istri," tulis Prof. Dr. dr. Wimpie Pangkahila dalam bukunya, Membina Keharmonisan Kehidupan Seksual yang diterbitkan PT Intisari Mediatama.

Buku atau bacaan tentang seks juga bisa digunakan untuk memulai pembicaraan. Cara pendekatan ini, tulis Wimpie, memudahkan untuk memulai bicara tentang apa yang dilihat dan dibaca. "Setidaknya, ada yang dijadikan bahan untuk memulai komunikasi secara verbal."

Selain itu, jangan dilupakan komunikasi nonverbal. Karena, seringkali komunikasi ini dapat "berbicara" lebih dalam daripada kalimat yang diucapkan. Misalnya, lewat pandangan, sentuhan, atau perbuatan. "Jangan takut atau malu untuk menunjukkan harapan Anda pada pasangan dalam melakukan aktivitas seksual," anjur Wimpie. "Dengan menunjukkan dalam bentuk perbuatan, pasangan Anda akan mengerti lebih baik," lanjutnya.

PROKREATIF DAN REKREATIF

Yang juga perlu dipahami adalah fungsi seks. Jangan sampai kita "terjebak" pada persepsi bahwa seks itu hanya untuk kehamilan atau keturunan. Sehingga kalau sudah hamil dan punya anak, maka seks pun berhenti. "Ini adalah persepsi yang keliru karena sistem nilai," ujar Gerard.

Fungsi seks, terangnya, tak melulu hanya untuk prokreatif atau menghasilkan keturunan, melainkan juga untuk rekreatif.

Namun rekreatif ini hendaknya jangan diartikan sempit hanya untuk kesenangan. "Memang dalam rekreatif ada unsur kesenangannya, kenikmatannya, tapi juga untuk membuat kemesraan dan kebahagiaan. Dengan demikian, tercakup juga fungsi mempersatukan."

Jadi, tandas Gerard, kalau ingin seks yang sehat, maka kedua fungsi tersebut harus tercakup. Namun demikian, fungsi prokreatif tak akan berlangsung selamanya. "Fungsi prokreatif harus dihentikan setelah suami-istri mempunyai anak." Misalnya, suami-istri memutuskan punya anak cukup 2 saja. Nah, setelah kedua anak diperoleh, maka fungsi prokreatif dihentikan dengan cara ikut KB. "Selanjutnya yang ada hanyalah fungsi rekreatif." Dengan demikian berarti, hubungan seks antara suami-istri tak boleh dihentikan sekalipun sudah punya anak. "Karena ini penting untuk cinta kasih, untuk kelanggengan perkawinan."

Yang harus diperhatikan, lanjut Gerard, dalam fungsi rekreatif, kedua pihak harus berperan aktif dan dua-duanya juga harus dapat menikmati. "Tidak boleh hanya satu saja yang menikmati, sedangkan yang lainnya hanya sekadar memuaskan pasangan." Kalau ini yang terjadi, tak heran bila akhirnya timbul masalah dalam perkawinan.

Biasanya, para istri, terutama yang dari "produk" zaman dulu, berhubungan seks hanya sekadar asalkan bapak puas. Karena bagi mereka, kepuasan seks untuk dirinya sendiri tidaklah mutlak. Mereka sudah merasa puas apabila bisa memuaskan suaminya tanpa dirinya sendiri mendapatkan orgasme. Jadi, kepuasannya hanya bersifat psikis. Namun sejalan dengan peningkatan akan pengetahuan mengenai hubungan seks, maka keinginan untuk mencapai kepuasan dalam berhubungan seks pun meningkat. Sehingga mulai ada tuntutan dari para istri bahwa dirinya juga harus merasa puas bukan hanya secara psikis. "Nah, bila tuntutan tersebut tak tercapai akan menimbulkan frustrasi, yang akhirnya menimbulkan masalah dalam perkawinan.

Jadi, harus ada penghargaan terhadap istri. "Suami tak boleh memenuhi kepuasan dirinya sendiri. Kalau istri belum dapat orgasme, ya, bantulah untuk mencapainya," kata Gerard. Misalnya, dengan melakukan "pemanasan" dan perangsangan yang lebih lama. "Biasanya istri lebih menyukai hal demikian. Karena bagi istri, hubungan seks lebih ke hubungan perasaan, bukan dari segi fisik." Itulah mengapa tak jarang terjadi istri kabur dengan pria lain kendatipun suaminya gagah perkasa dan tampan. Soalnya, pendekatan si suami pada istrinya sangat kasar sehingga istrinya tak bahagia.

Walaupun begitu, ujar Gerard, bukan berarti kepuasan istri ini berlaku mutlak. Maksudnya, jangan lantas suami harus terus memuaskan istri, sehingga si suami akhirnya selalu dilanda ketakutan kalau-kalau istrinya tak puas dan ia terus dihinggapi perasaan bersalah. "Adakalanya istri tidak harus puas. Misalnya, saat berhubungan di pagi hari dimana kebutuhan biologis si suami harus dipenuhi. Nah, tak mungkin, kan, suami berhubungan lama-lama hingga menunggu istrinya puas sementara ia harus segera berangkat ke kantor." Dalam hal ini, mau tak mau istri harus tidak puas dan istri pun harus mengerti. "Bila suami-istri sadar akan hal ini, maka tak jadi masalah istri enggak puas. Istri akan rela melayani suaminya dan suami pun enggak ada rasa bersalah karena tak bisa memuaskan istrinya."