Bu Rieny Yth.,
Saya menikah dengan suami di usia cukup lanjut. Kini kami punya satu anak perempuan berusia 9 tahun. Karier kami mapan, juga keuangan dan posisi sosial. Sebenarnya, kami sama-sama belajar di sebuah Universitas di Eropa dan bertemu tanpa kesan. Setelah kembali ke Indonesia, baru kami berjumpa, dia agresif mendekati dan akhirnya menikahi saya.
Beberapa temannya pernah menyindir masa lalu suami di depan saya, tapi tak saya anggap serius. Akhirnya ia mengaku pernah hidup dengan perempuan. Saya hargai dan tak terpikir mengorek lebih lanjut.
Hidup berlangsung mulus, karena suami terasa baik dan bertanggung jawab. Bekerja untuk perusahaan asing, saya tetap ibu rumah tangga biasa, maka saya bahagia. Saya tetap memasak dan mengurus tugas perempuan lainnya, NOVA selalu jadi bacaan wajib saya. Rubrik Ibu adalah inspirasi untuk membuat saya menjalani hidup dengan lebih mensyukuri berkat Tuhan (terima kasih, baca terus ya Bu, RH).
Suatu hari, ah, saya harus menghela nafas, Bu, berkat Facebook, suami bertemu lagi dengan teman kumpul kebonya. Karena keterbukaannya, ia menelepon perempuan itu, dan minta saya mendengarkan juga.
Saya cukup kaget, Bu, ternyata perempuan itu orang Indonesia. Ramah, sopan, dan melibatkan saya, sehingga kami nyaman mengobrol. Saya mulai tidak nyaman ketika telepon mereka lebih intens, saya minta suami berhenti, ia mengiyakan.
Saat farewell itu, katanya dia akan say goodbye dan hanya akan telepon di hari Natal dan Tahun Baru. Suami katakan, kawinkan saja anak-anak kami. Seperti petir di siang bolong, Bu, dari seberang sana, perempuan ini mengatakan, "Tidak mungkin dong, ini anakmu?"
Suami malah mengatakan ingin melihat anaknya dan merasa berdosa. Aneh, Bu, saya tidak pernah percaya bahwa cinta bisa berubah jadi benci dalam sesaat, tetapi nyatanya itu terjadi pada saya.
Sejak kecil, ayah selalu berpesan untuk tetap jadi orang Indonesia. Sampai kembali lagi, saya tetap perawan dan berhubungan intim hanya dengan suami. Saya merasa bodoh rela ikut suami, melepaskan peluang-peluang besar. Kenapa saya setia, menjaga perasaannya, meletakkannya tinggi, kalau dengan enteng ia mengatakan ingin bertemu anaknya, tetapi tak merasa berdosa membohongi saya?
Saya merasa tak berharga di hadapan suami dan benci pada diri sendiri. Sejak itu, saya berhenti bicara padanya. Mulanya dia cuma tertawa-tawa, tak ada usaha mendekati. Sampai saya sakit, muntah-muntah dan masuk UGD! Barulah ia menyatakan akan menurut langkah yang saya mau.
Saya sudah kehilangan perasaan, Bu. Membayangkan bagaimana dia kelak harus mengawinkan anak kami, menanamkan agama, sementara masa lalunya kacau? Belum lagi anak laki-lakinya mungkin akan masuk ke dalam keluarga kecil saya.
Aduh, Bu, mending saya tidak kawin! Tak kuat membayangkan reputasi rusak oleh kelakuannya di masa lalu. Tolong saya, Bu, bagaimana harus bersikap. Apa saya harus bercerai? Sedih saya membayangkannya. Tetapi untuk bertahan, bagaimana membangun respek lagi? Tolong saya, Bu. Terima kasih.