Tertohok Masa Lalu Suami

By nova.id, Sabtu, 3 Juli 2010 | 17:09 WIB
Tertohok Masa Lalu Suami (nova.id)

Bu Rieny Yth.,

Saya menikah dengan suami di usia cukup lanjut. Kini kami punya satu anak perempuan berusia 9 tahun. Karier kami mapan, juga keuangan dan posisi sosial. Sebenarnya, kami sama-sama belajar di sebuah Universitas di Eropa dan bertemu tanpa kesan. Setelah kembali ke Indonesia, baru kami berjumpa, dia agresif mendekati dan akhirnya menikahi saya.

Beberapa temannya pernah menyindir masa lalu suami di depan saya, tapi tak saya anggap serius. Akhirnya ia mengaku pernah hidup dengan perempuan. Saya hargai dan tak terpikir mengorek lebih lanjut.

Hidup berlangsung mulus, karena suami terasa baik dan bertanggung jawab. Bekerja untuk perusahaan asing, saya tetap ibu rumah tangga biasa, maka saya bahagia. Saya tetap memasak dan mengurus tugas perempuan lainnya, NOVA selalu jadi bacaan wajib saya. Rubrik Ibu adalah inspirasi untuk membuat saya menjalani hidup dengan lebih mensyukuri berkat Tuhan (terima kasih, baca terus ya Bu, RH).

Suatu hari, ah, saya harus menghela nafas, Bu, berkat Facebook, suami bertemu lagi dengan teman kumpul kebonya. Karena keterbukaannya, ia menelepon perempuan itu, dan minta saya mendengarkan juga.

Saya cukup kaget, Bu, ternyata perempuan itu orang Indonesia. Ramah, sopan, dan melibatkan saya, sehingga kami nyaman mengobrol. Saya mulai tidak nyaman ketika telepon mereka lebih intens, saya minta suami berhenti, ia mengiyakan.

Saat farewell itu, katanya dia akan say goodbye dan hanya akan telepon di hari Natal dan Tahun Baru. Suami katakan, kawinkan saja anak-anak kami. Seperti petir di siang bolong, Bu, dari seberang sana, perempuan ini mengatakan, "Tidak mungkin dong, ini anakmu?"

Suami malah mengatakan ingin melihat anaknya dan merasa berdosa. Aneh, Bu, saya tidak pernah percaya bahwa cinta bisa berubah jadi benci dalam sesaat, tetapi nyatanya itu terjadi pada saya.

Sejak kecil, ayah selalu berpesan untuk tetap jadi orang Indonesia. Sampai kembali lagi, saya tetap perawan dan berhubungan intim hanya dengan suami. Saya merasa bodoh rela ikut suami, melepaskan peluang-peluang besar. Kenapa saya setia, menjaga perasaannya, meletakkannya tinggi, kalau dengan enteng ia mengatakan ingin bertemu anaknya, tetapi tak merasa berdosa membohongi saya?

Saya merasa tak berharga di hadapan suami dan benci pada diri sendiri. Sejak itu, saya berhenti bicara padanya. Mulanya dia cuma tertawa-tawa, tak ada usaha mendekati. Sampai saya sakit, muntah-muntah dan masuk UGD! Barulah ia menyatakan akan menurut langkah yang saya mau.

Saya sudah kehilangan perasaan, Bu. Membayangkan bagaimana dia kelak harus mengawinkan anak kami, menanamkan agama, sementara masa lalunya kacau? Belum lagi anak laki-lakinya mungkin akan masuk ke dalam keluarga kecil saya.

Aduh, Bu, mending saya tidak kawin! Tak kuat membayangkan reputasi rusak oleh kelakuannya di masa lalu. Tolong saya, Bu, bagaimana harus bersikap. Apa saya harus bercerai? Sedih saya membayangkannya. Tetapi untuk bertahan, bagaimana membangun respek lagi? Tolong saya, Bu. Terima kasih.

Dina - somewhere

Bu Dina Dear,

Muntah-muntah yang sumbernya psikis sebenarnya adalah simbol psikologis dari penolakan. Begitu kuat penolakan terhadap suami, maka Anda pun muntah-muntah. Sementara nafsu makan hilang karena sangat sedih sekaligus marah!

Saya menikahi laki-laki yang juga lama hidup di Eropa, kawin pada usia kami yang tidak muda, dan sama-sama merupakan perkawinan kedua. Suami saya juga amat terbuka tentang masa lalunya. Tetapi, tetap saja ada masa di mana saya kaget dan mengatakan: "Kok begini, ya?" karena ada saja norma dan nilai yang dulu dianut dan diyakininya sebagai oke-oke saja tetapi untuk saya terasa aneh, bahkan kadang mengerikan! Jadi, kira-kira saya pahamlah bila Anda terperangah oleh "risiko" masa lalu suami yang baru kini mengemuka di hadapan Anda. So strange ya, Bu, kok asing banget rasanya orang ini? Padahal suami sendiri.

Yang pertama, saya anjurkan untuk membuang jauh-jauh pikiran untuk bercerai. Yang berantakan saat ini sebenarnya adalah trust, Bu, dan bukan respek. Bila sekarang ia selingkuh, maka boleh jadi respek Anda yang hancur, karena ia nyata-nyata mengkhianati komitmen perkawinannya dengan Anda. Tetapi, kenyataannya, selama perkawinan, dia sudah menunjukkan banyak hal positif dan komitmen kuat terhadap kelangsungan tanggungjawabnya sebagai suami dan ayah?

Dan, tentunya ini juga bukti bahwa dia tidak bermaksud buruk pada Anda? Bahkan kenyataan bahwa ia pernah punya anak pun sebenarnya tak ada maksudnya untuk menutupinya. Dia benar-benar tidak tahu mantannya dahulu hamil. Hanya, kemudian ini seakan menjadi sebuah penanda yang dapat dipakai untuk meyakinkan bahwa dia adalah sosok yang tak bisa dipercaya. Ditambah lagi, dalam kegembiraannya mendapati bahwa dia punya yunior, membuat ia lupa daratan sehingga amat menyakitkan Anda.

Jadi, bukan dibohongi, Bu. Cuma belum tahu, dan saat tahu, kok kebetulan bersamaan dengan suami. Orang terkejut mana bisa mengarang mau berlaku seperti apa? Demikian pula suami. Tetapi, reaksi Anda sebenarnya sangat normal, sudah faktanya di luar kelaziman, cara suami merespon pun terasa menohok secara telak, karena sebenarnya harapan Anda adalah dia tidak hirau, bukan?

Nah, ketika Anda mendapati bahwa reaksinya tak seperti harapan, mulailah Anda merasa tidak nyaman. Lalu reputasi pun menjadi acuan kegalauan. Padahal, reputasi tak akan terganggu bila masalah ini bisa diredam dan dilokalisir. Mumpung suami mau menuruti, mintalah agar dia cooling down. Jangan melakukan apa-apa, endapkan dulu permasalahan, dan saat ini, jangan hubungi perempuan itu lagi. Minta dengan sangat agar ia menuruti ini.

Lalu, ajak suami untuk "berhitung," apa manfaat bila ketemu dan sebaliknya. Mudah-mudahan Sang Mantan tidak mengumbar data bahwa suami Anda adalah ayahnya, sehingga bersangkutan tetap bisa nyaman. Biasanya, setelah ada jeda untuk berpikir, seseorang akan sampai pada sebuah insight baru tentang untung-ruginya merintis hubungan lagi. Ambil sikap diam, walau dada Anda gemuruh sekalipun.

Ini akan memungkinkan suami tidak melakukan tindakan yang memalukan. Lalu, berdua dengan suami, adakan semacam simulasi, bagaimana bila selama ini suami Si Mantan juga tak tahu bahwa anak sulungnya ternyata anak temannya sendiri? Besar kemungkinan, mantan tak menceritakan ini pada suami, ia takut kalau kelak terjadi incest, maka ia ambil risiko untuk menguak kenyataan ini.

Pelan-pelan, munculkan kesadaran suami bahwa karena selama ini Si Anak punya ayah, maka bijaksana atau tidak kalau mengubah tatanan dalam keluarga? Karena kedekatan emosi ayah dan anak adalah faktor penting untuk mendekatkan hubungan keduanya, jangan berharap mereka bisa dekat layaknya ayah dan putranya.

Nah, terlihat kan, ribetnya peluang muncul masalah? Lalu, biarkan dia berpikir panjang dulu sebelum membuat keputusan. Di sini, Anda bisa masuk ke dalam kerangka berpikirnya dengan menyatakan bahwa perkawinan Anda berdua berharga untuk dipertahankan, dan tak mau harus cedera karena masa lalunya. Bukankah saat ia melakukannya ia tak kenal Anda?

Dan akhirnya, agar luka hati cepat sembuh, jangan minta pada Tuhan agar Anda lupa, karena memang tak perlu! Yang perlu adalah mengangkat emosi negatif dari dalam diri dan Anda berdua mohon lebih rajin beribadah. Ini akan menjamin Anda bertemu dengan orang-orang baik yang juga taat beribadah, bukan?

Bila Anda terus menghujani suami dengan perasaan nyaman bersama Anda, dan tidak terus menerus mengorek masa lalu, saya yakin masalah akan selesai dalam waktu dekat ini. Ia akan percaya bahwa Anda memang beritikad baik untuk mengatasi masalah ini dan bukan menyalah-nyalahkan dia belaka. Salam sayang.