PILIH ORANG YANG TEPAT
Yang juga harus diperhatikan ialah siapa orang yang diajak bicara. Jangan sampai si teman ternyata bermulut "ember" alias gemar menyebar-luaskan rahasia orang. Sehingga begitu kita ada apa-apa dengan pasangan, orang langsung akan menduga, "Wah, pasti gara-garanya hal itu, deh, sehingga mereka sampai retak." Padahal, belum tentu juga, kan? Karena itu, seperti disarankan Lita, "Pilih teman yang benar-benar bisa dipercaya, yang tak bakal membocorkan rahasia kita. Juga yang sekiranya bisa memberikan solusi atau jalan keluar dari masalah kita."
Kalau bisa, si teman tak mengenal pasangan kita demi menjaga pandangannya terhadap suami. Takutnya, ia akan punya penilaian khusus pada pasangan kita, "Oh, ternyata dia itu begitu, toh? Kok, kejam amat suamimu." Penilaian tersebut tentunya bisa sangat merugikan kita. "Bayangkan, kalau suatu saat kita ketemu teman lama lantas ia tanya, 'Eh, bagaimana suamimu, masih nyeleweng enggak?' Kan, ini membuat perasaan kita tak enak juga. Padahal permasalahan dengan suami sudah selesai."
Terlebih lagi kala kita bercerita, dibarengi dengan emosi. Si teman jadi ikut memvonis pasangan kita atau terbawa emosi. Jangan lupa, sebagai sahabat, ia punya ikatan batin dengan kita. Apalagi dalam keadaan emosional, kita biasanya cenderung memaksakan pendapat, bahwa kitalah yang benar. Bahkan kalau perlu ditambah dengan membeberkan kejelekan pasangan, demi meyakinkan si teman. Akhirnya ia jadi sependapat dengan kita, "Iya, ya, kok, kejam betul, sih, suami kamu," misalnya. Akibatnya, tujuan kita untuk mencari solusi jadi tak tercapai.
Bagaimana kalau kita "curhat"nya ke orang tua atau mertua? Ternyata, Lita sama sekali tak menganjurkan. "Soalnya, nanti pandangan dan respek mereka terhadap pasangan kita akan berubah." Bisa jadi mereka akan membandingkan pasangan kita dengan menantunya yang lain. Akhirnya yang ada adalah sikap dingin pada pasangan kita.
Apalagi, sambung Lita, orang tua jarang yang bisa bersikap netral. "Tanpa disadari, mereka cenderung memihak. Bukankah salah satunya adalah anaknya?" Jeleknya lagi, ada kemungkinan mereka melakukan intervensi bila kita memiliki masalah-masalah tertentu dalam perkawinan.
JANGAN DI DENGAR ANAK
Selain memperhatikan apa tujuan dan siapa orang yang tepat diajak bicara, Lita juga menyarankan agar memilih tempat yang pas untuk membicarakan hal-hal pribadi tersebut. "Jangan sampai kita bicara seperti jumpa pers. Misalnya, di tempat arisan sehingga dapat didengar semua orang." Jadi, tempatnya harus yang pribadi pula, yang orang lain tak bakal ikut mendengar pembicaraan tersebut. Misalnya, di restoran.
Bagaimana kalau di rumah? "Boleh saja, asal dipilih saat anggota keluarga lain tak bisa ikut mendengarnya," ujar Lita yang wanti-wanti berpesan agar anak jangan sampai mendengar "pergunjingan" kita dengan orang lain tentang ayah/ibunya. "Apa pun juga, itu adalah ayahnya atau ibunya. Jadi, sejelek apa pun kondisi ayah atau ibunya, anak sebaiknya tetap punya citra positif tentang ayah ibunya."
Sebab, terang Lita, kalau kita membicarakan hal negatif tentang pasangan kita, sama saja dengan kita meracuni diri anak. Selain itu, anak mencontoh dari tingkah orang tuanya. "Nah, bagaimana kita mau mengajari anak tentang hal-hal baik dan benar kalau kita saja membeberkan rahasia terburuk dari pasangan kita di depan anak," bilangnya
PASANGAN SYOK
Biasanya yang doyan "curhat" hal-hal pribadi adalah para istri. "Soalnya pengetahuan kita di bidang tersebut, terutama masalah seks, kebanyakan masih sangat minim sehingga sering membingungkan," tutur Lita. Apalagi sangat jarang yang sebelum menikah sudah dibekali pelajaran khusus tentang hal ini.