Istri Berhak Menolak Hubungan Seks (1)

By nova.id, Senin, 31 Mei 2010 | 17:41 WIB
Istri Berhak Menolak Hubungan Seks 1 (nova.id)

Melayani suami memang wajib. Tapi bukan berarti istri tak boleh menolak. Asalkan alasannya memang sah.

Biasanya para istri sulit sekali menolak ajakan berhubungan seks dari suami. Apalagi dengan adanya asumsi di masyarakat kita bahwa melayani suami adalah kewajiban istri. Alhasil, si istri lebih banyak bersikap pasrah. "Apa boleh buat, daripada suami uring-uringan terus dan pecah 'perang' lebih baik mengalah," begitu alasannya.

Padahal, seperti dituturkan Dr. Gerard Paat, MPH, istri juga berhak menolak, kok. Cuma, jangan menggunakan hak tersebut semata-mata hanya hak. Karena istri juga punya kewajiban. "Jadi, gunakan hak tersebut yang dikaitkan dengan kewajiban."

ALASANNYA SAH

Selain itu, alasan penolakannya juga harus tepat. "Biasanya wanita menolak karena tidak sedang in the mood," ujar Gerard. Hal ini berkaitan dengan suasana hati si wanita. "Wanita baru berada dalam tahap in the mood jika ketenangan batinnya tak terganggu," jelas konsultan perkawinan di RS Sint. Carolus Jakarta ini.

Alasan lain ialah kelelahan dan mengantuk. Entah karena capek setelah bekerja di kantor, mengerjakan tugas-tugas rumah tangga, maupun karena sudah larut malam sehingga ia mengantuk dan kurang bergairah untuk berhubungan.

Selain itu, wanita juga berhak menolak bila dirinya sedang sakit atau menstruasi. "Ada yang menganggap berhubungan intim saat menstruasi itu tidak estetis, karena ia berada dalam keadaan kotor."

Nah, alasan-alasan tersebutlah yang bisa dianggap sah untuk menolak keinginan suami berhubungan seks. "Tentu cara penolakannya harus baik. Tunjukkan bahwa ia sangat menghargai ungkapan kasih sayang suaminya." Misalnya, "Sebetulnya saya juga kepingin, lo, tapi saya lagi capek banget. Besok saja, ya."

SUAMI "TERSIKSA"

Kendati demikian, lanjut Gerard, penolakan istri bisa berdampak negatif pada suami. Karena, terangnya, "Hubungan seks bagi pria bukan semata-mata untuk pernyataan cinta, tapi juga sebagai pelepas ketegangan. Namun ketegangannya bukan akibat stres pekerjaan, melainkan biologis."

Pada pria, terangnya lebih lanjut, ada produksi sel mani cukup banyak. Nah, bila sel mani itu sudah cukup penuh, maka harus dikeluarkan. "Memang ada banyak cara pengeluaran, tapi kalau dalam perkawinan umumnya pengeluaran itu dilakukan dalam hubungan seks suami-istri."

Bila ketegangan tersebut tak tersalurkan, sambung Gerard, si pria akan merasa tersiksa, "Malamnya ia tak akan bisa tidur. Ia juga bisa pusing, sehingga pekerjaan kantor juga bisa terganggu," tutur Gerard. Kondisi tersebut, lanjutnya, akan memakan waktu lama. "Biasanya 2-3 hari baru mereda. Karena sel mani harus diserap tubuh dulu." Karena itulah, tukasnya, "Pria ingin selalu menurutkan hasrat seksnya saat itu juga."

Selain itu, pria menganggap kemampuan seks berkaitan dengan rasa kepriaan atau kejantanannya. Jadi dengan berhubungan seks, ia juga ingin menunjukkan bahwa dirinya mampu, bahwa ia bisa memuaskan istrinya. Sehingga, penolakan istri bukan hanya berdampak secara biologis, tapi juga bisa menyinggung perasaan kejantanannya.

Bila penolakan tersebut sering terjadi, lama-lama si pria akan merasa dirinya tak berguna, khususnya di bidang seksual. "Nah, kalau kebetulan moralitasnya rendah, ia akan mencari penggantinya di luar. Bukan hanya pengganti untuk pelepasan ketegangan, tapi juga kebutuhan psikologis di mana ia bisa tunjukkan pada wanita itu kemampuannya sebagai pria yang tak bisa ditunjukkan pada istrinya."

Apalagi, sambung Gerard, bagi pria tak ada hubungan yang jelas antara kebutuhan seksual dan emosi. Sehingga bila ia mau, ia bisa melakukannya dengan siapa saja tanpa harus melibatkan ikatan emosi di dalamnya. Lain halnya dengan wanita, "Seks sangat tergantung pada kestabilan emosinya. Itu sebabnya wanita amat sulit dirayu untuk bermesraan bila hatinya sedang luka."

MOOD BISA DIMUNCULKAN

Bagaimana jika suami yang menolak? "Hal itu bisa saja terjadi," ujar Gerard. Adapun alasan penolakannya tak jauh berbeda, kecuali dalam hal menstruasi. Misalnya, karena tidak mood, stres akibat pekerjaan, kelelahan, dan sebagainya.

"Kalau pria lagi tidak mood, maka ia tak akan bisa berhubungan seks," terangnya. Karena, ketiadaan mood menyebabkan pria tak bisa ereksi. "Begitupun bila si pria tengah banyak pikiran, stres, atau kelelahan akibat pekerjaan akan mengurangi kekuatan kejantanannya."

Lain halnya dengan wanita, sambung Gerard, "Wanita masih tetap bisa berhubungan meskipun ia sedang tidak mood." Hal ini disebabkan wanita tak membutuhkan persyaratan tertentu untuk bisa berhubungan seks sebagaimana pria yaitu memproduksi sel mani. "Bagi wanita hanya masalah emosi dan psikologis. Artinya, kalau ia ada mood, maka ada kerjasama, ada respon atau kemesraan."

Apalagi, sambungnya, mood pada wanita sebenarnya bisa dimunculkan. Artinya, gairah seksual pada wanita tak muncul sendiri, melainkan harus dirangsang. Rangsangannya pun tak harus melalui kontak badan. "Dengan suasana romantis pun bisa muncul. Misalnya, bermesraan-mesraan dengan pelukan ataupun berdansa."

Memang, diakui Gerard, ada juga mood wanita yang muncul sendiri. "Biasanya karena rangsangan memori. Mungkin minggu yang lalu dalam berhubungan sangat mesra dan memuaskannya, sehingga ia ingin mengulanginya lagi." Juga ada saat-saat tertentu di mana wanita merasakan rangsangan hebat yang berkaitan dengan hormonal. "Hormonal inilah yang mempengaruhi gairah."

Namun demikian bukan berarti si wanita lantas harus dipenuhi hasratnya. Karena, "Gairah tersebut sebenarnya bisa dengan mudah dihilangkan atau dikendalikan, kok." Hal ini disebabkan, sekali lagi, tekan Gerard, wanita tak memproduksi sel mani yang kalau sudah penuh harus dikeluarkan. "Bila keinginan tak terpenuhi, padahal gairahnya sedang meningkat bisa menimbulkan dampak psikologis bagi si wanita. Misalnya, ia menjadi kecewa."

Karena itulah Gerard berpendapat, pada dasarnya menolak ajakan pasangan itu boleh-boleh saja, asal memiliki alasan yang tepat dan bisa diterima. Bila, misalnya, istri hanya sekadar tidak mood atau kelelahan yang tak seberapa, maka bukanlah alasan yang tepat untuk serta-merta menolak ajakan suami. Jangan pula gara-gara merasa punya hak, istri lantas jadi sering menolak. "Ingat, hak harus dikaitkan juga dengan kewajiban. Kalau hanya hak saja yang dituntut, berarti itu hanya mencerminkan keegoisannya."

bersambung

Indah Mulatsih/nakita