Selain anak akan meniru, juga bisa menimbulkan trauma. Bila sudah terlanjur melihat, luruskan interpretasinya dan berikan pendidikan seks.
Doni kecil (3thn) dikenal badung dan usil. Namun yang sangat memprihatinkan, ia suka mencolek pantat dan dada teman perempuannya. Bahkan pada orang dewasa pun dengan santainya ia main colek juga. Setelah diselidiki, perilaku itu terjadi karena ia meniru ayah-ibunya yang kerap menunjukkan kemesraan mereka di hadapan sang anak.
"Seharusnya orang tua sangat hati-hati dalam bermesraan di depan anak, berapa pun usia si anak," ujar psikolog Dra. Ieda Poernomo Sigit Sidi. Orang tua, lanjutnya, harus sadar bahwa dirinya akan menjadi model anaknya. Jadi, kalau orang tua ingin anaknya baik, ya, berikanlah contoh atau model yang baik pula. Jangan pernah lupa pula untuk menyesuaikan kata dan perbuatan. Dengan demikian, "Orang tua jadi punya wibawa, punya posisi yang menguntungkan sebagai pendidik anak."
YANG BOLEH DAN TIDAK
Bukan berarti orang tua tak boleh menunjukkan kemesraannya di depan anak. Yang penting, harus ada batasan-batasan dalam koridor pendidikan anak. Mana yang boleh dan tidak dilihat anak. "Yang boleh dilihat anak ialah apa-apa yang secara normatif boleh dilakukan di depan publik," terang Ieda. Misalnya, memanggil dengan panggilan 'Yang', merangkul pundak, mencium pipi, atau memeluk bahu.
Semua itu, kata Ieda, masih dalam kategori menunjukkan rasa sayang. Toh, orang tua juga kerap melakukannya pada anak seperti mencium pipi, kening dan memeluk.
Tapi jangan sampai ungkapan sayang tadi dilanjutkan dengan penuh gairah. Misalnya, berciuman bibir. "Karena anak akan bertanya-tanya, ini papa-mama sedang apa? Apalagi, berciuman, kan, masuk dalam foreplay. Bisa timbul berbagai hal setelah foreplay tersebut. Apakah kalau sudah dilandasi gairah, si orang tua bisa mengontrol diri? Padahal, ia sedang jadi model buat anak," tutur Ieda.
Jika si anak melihat adegan mesra yang "berlebihan", timbul macam-macam interpretasi dalam dirinya. Jangan lupa, anak belum paham tentang apa yang sedang diperbuat orang tuanya. Bisa jadi si anak menganggap perbuatan itu hal normal yang boleh dilakukan pada setiap orang. Akibatnya, ia meniru dan melakukan cium bibir pada semua orang. "Peniruan itu yang membuat kita harus hati-hati memperagakan adegan mesra di depan anak. Mana yang boleh dan mana yang tak boleh dilihat anak."
Contoh lain, anak melihat bapaknya memegang dada ibunya, bisa jadi dianggapnya biasa. Bukankah di teve pun kadang ia melihat hal yang sama? Nah, kalau tak ada yang meluruskan, ia akan salah persepsi terus. Saat bertemu teman sebaya, ia akan meniru perbuatan orang tuanya. Setelah melakukan, ia akan merasakan enaknya perbuatan itu, "Oh, ini, toh, kenapa Papa-Mama melakukan hal itu." "Sebab naluri ini adalah naluri yang diberikan Tuhan secara alamiah. Tak perlu sekolah. Dirangsang sedikit saja, naluri itu sudah muncul," terang Ieda.
Anak, lanjut Ieda, akan merekam apa yang dilihatnya. Jadi, jangan mengangap karena ia masih kecil, lantas ia belum mengerti apa-apa. "Anak merekam semua itu dan memasukkan dalam memorinya tanpa bisa memilah-milah dan tanpa tahu tujuannya."
GURAUAN
Tak hanya memperlihatkan adegan seks yang dilarang. Bicara atau bergurau tentang seks di depan anak pun sangat tak dianjurkan. "Gurauan-gurauan ini terutama sering dilakukan ayah terhadap anaknya," ujar Ieda. Misalnya, saat melihat si anak menyusu ASI, terus dikomentari oleh ayahnya dengan kalimat, "Oh, itu punya Ayah, bukan punya Adik!" Atau, "Ah, Adik mimik terus, kapan Ayah kebagian?"