Hati-Hati Mesra-Mesraan Di Depan Anak

By nova.id, Minggu, 30 Mei 2010 | 18:49 WIB
Hati Hati Mesra Mesraan Di Depan Anak (nova.id)

Kalau kebetulan didengar anak lain yang lebih besar, akan timbul bermacam-macam interpretasi. Begitu juga bila ayah mengatakan, "Pinjam Mama dulu, ya. Kamu main di luar dulu." Hal ini sama saja dengan memancing si anak berinterprestasi, "Ngapain Mama dan Papa di dalam? Pintunya dikunci, lagi."

Wanti-wanti Ieda menyarankan agar jangan memancing-mancing rasa ingin tahu anak tentang perbuatan seks. "Orang tua akan susah sendiri. Jadi orang tua memang tak bisa main-main. Soalnya, hasil didikan kita baru akan kelihatan 20 tahun mendatang."

BISA TRAUMA

Ieda juga menganjurkan agar anak tidur terpisah dari orang tua. Ajarkan pula mengetuk pintu dahulu setiap akan masuk kamar ayah-ibu. Bila keadaan tak memungkinkan untuk pisah kamar, "Ya, orang tua harus mengalah. Ia harus keluar dari kamar jika hendak bermesraan. Cari ruangan lain. Bila perlu, masuklah ke kolong tempat tidur."

Sebab, tambah Ieda, setiap saat anak bisa terbangun dan melihat hal itu. Jadi, lebih baik ia "kehilangan" orang tuanya sejenak daripada melihat adegan mesra tadi. "Kalau anak sampai melihat, membenahinya susah. Anak, kan, tak mengerti, orang tuanya sedang apa. Ia belum bisa mengerti. Mau dijelaskan bagaimana pun, sulit."

Bila ternyata si anak sudah kadung melihat, saran Ieda, tanyakanlah apa yang tersimpan di otaknya. "Apa interpretasinya atas penglihatannya itu. Nah, dari situ kita luruskan." Tapi hal ini hanya bisa dilakukan jika si anak menanyakannya. Kalau tidak, orang tua tak bisa berbuat apa-apa. "Mungkin ia menganggap itu kejadian biasa dan urusan orang besar sehingga mungkin juga tak ada pengaruhnya. Atau mungkin ia biasa melihat hal sama di teve sehingga ia bisa meraba-raba, apa yang dilakukan orang tua. Jadi, orang tua benar-benar tidak tahu persis apa yang sedang dipikirkannya."

Lain halnya jika si anak bertanya tentang apa yang dilihatnya. Sebelum menjelaskan panjang-lebar, tanyakan lebih dulu, "Apa yang kamu lihat? Menurut kamu Mama-Papa sedang apa?" Dengan demikian orang tua mengerti arah pikiran si anak. Misalnya, ia mengatakan, "Kok, Mama kasihan amat. Suara Mama seperti hendak menangis. Saya jadi takut." Nah, orang tua menjelaskan, misalnya, "Itu karena Papa-Mama saling menyayangi. Tapi itu hanya boleh dilakukan pada orang yang sudah menikah. Kamu tahu apa artinya menikah?" Lantas bukalah album pernikahan, "Ini pernikahan. Papa sama Mama menikah karena saling sayang. Dan itu cara Papa dan Mama menunjukkan rasa sayang."

Dalam hal ini Ieda mewanti-wanti, "Kalau orang tua tak siap dengan jawaban yang baik, sebaiknya minta tolonglah pada psikolog. Bawa anak ke psikolog." Jelaskan padanya, kita tak bisa menjawab tapi ia tetap bisa memperoleh jawaban dari ahli. "Sebab, jawaban orang tua akan amat menentukan, apakah si anak akan trauma atau tidak di masa datang."

Tentang apa saja dampaknya, bisa berbeda-beda pada setiap anak. Tergantung pada apa yang terserap dalam otaknya. Misalnya yang ditangkap si anak ialah bapaknya sedang menyakiti ibunya, maka ia akan selalu cemas setiap kali bapak dan ibunya berduaan, "Jangan-jangan Bunda akan disakiti lagi oleh Bapak." "Mungkin anak lain interpretasinya akan lain lagi, karena dari situasi satu ke situasi yang lain sangat berbeda. Tapi yang pasti, banyak dampak negatifnya ketimbang positifnya. Nah, di sini psikolog berperan membenahi pikiran anak."

PENDIDIKAN ANAK

Selanjutnya, anjur Ieda, anak perlu diberi pendidikan seks yang disesuaikan dengan perkembangan usianya. Bisa dimulai sejak ia mulai mengerti, "Kamu perempuan dan dia lelaki." Karena itu yang pertama kali dikenalkan ialah alat reproduksi masing-masing dulu. Misalnya, "Kamu lihat, lelaki tak punya dada yang menggunung. Coba lihat Papa, ia juga tak punya. Jadi, kamu juga nanti tak punya. Kenapa Mama punya dada besar, karena ini untuk menyusu bayi. Karena yang mengandung itu hanya ibu, tak ada bapak hamil atau bapak menyusui. Kamu lihat, kan, tak ada bapak menyusui." Begitu halnya dengan anak perempuan.

Tak usah diterangkan sampai ke hal-hal lain, misalnya, itu bisa menjadi alat seks yang menyenangkan. "Sebab, yang disebut pendidikan seks tak mengajarkan berbuat seks, hanya pengenalan konsep diri sebagai kelamin yang diberikan Tuhan," terang Ieda. Nah, sudah jelas, bukan?

Indah Mulatsih/nakita