Istri Dominan Suami Tertekan

By nova.id, Senin, 24 Mei 2010 | 17:39 WIB
Istri Dominan Suami Tertekan (nova.id)

Selain itu, latar belakang keluarga juga berperan terhadap timbulnya perasaan tersiksa pada suami. "Kalau ia berasal dari keluarga yang menekankan bahwa bapak harus dominan, kepala keluarga harus bapak, maka ia akan merasa tersiksa saat berumah tangga ternyata istrinya lebih dominan." Hal ini, menurut Yati, akan melukai harga dirinya. "Biasanya ia datang ke konselor dengan ucapan, 'Saya sudah tak kuat lagi. Dia tak mempercayakan segala sesuatunya pada saya, seolah-olah saya tak bisa melakukan apa-apa.'"

Seharusnya, kata Yati, hal ini juga sudah diantisipasi sejak sebelum menikah. "Kan, kalau istrinya punya karakter dominan, tentunya sudah dia ketahui sejak masa pacaran. Kalau ia merasa tak cocok dengan karakter ini, kenapa diteruskan untuk kawin?"

JADI CUEK

Apa reaksi yang muncul dari perasaan tersiksa tersebut? Bisa macam-macam. "Mungkin awalnya si suami merasa tak enak, tapi lama-lama justru keenakan. Dia pikir, biar saja semua-semua dikerjakan istri sehingga bebannya ringan."

Bisa pula suami menjadi cuek, "Karena perasaan mengalah yang dipendam berlarut-larut, tak dikomunikasikan, akhirnya ia jadi pasif. Namun pasif yang agresif." Misalnya, "Bodo amat dengan genteng yang bocor. Terserah kamu. Kan, biasanya kamu yang ngatur." Jadi, di balik kecuekannya ada perasaan marah, tertekan, dan kesal sehingga ia lalu memasa-bodohkan semuanya. Biar genteng bocor di depan matanya sekali pun, ia tak ambil pusing.

Di pihak lain, istri akan beralasan, "Saya melakukan semua ini karena dia tak melakukan apa-apa. Saya jadi gemas. Saya ingin segalanya cepat beres. Tapi setiap kali saya mengingatkannya agar membawa mobil ke bengkel, memanggil tukang, dan pekerjaan-pekerjaan lainnya, dia diam saja. Dia tak melakukan apa-apa. Ya, sudahlah, terpaksa saya kerjakan sendiri."

Nah, menurut Yati, masalah pun timbul. Jika itu yang terjadi, sarannya, segera cari solusinya. "Komunikasi harus dijalankan." Bila pasangan mengalami kesulitan untuk memulai komunikasi, anjurnya, mintalah bantuan pihak ketiga. Entah itu konselor perkawinan atau orang yang dihormati. "Nah, di situ mereka harus mau membuka diri, maunya kamu apa dan maunya aku apa. Jadi, seperti orang yang bernegosiasi." Namun, Yati mengingatkan, janganlah keburu marah atas keinginan pasangannya. Bukankah itu untuk kebaikan berdua?

Jika kesepakatan sudah dicapai, jalankanlah. "Beri waktu untuk melaksanakannya, karena untuk mengubah diri bukan hal gampang." Tentukan kesepakatan waktu secara bersama, apakah perlu sebulan atau 3 bulan. Misalnya, "Kalau dalam waktu sebulan kamu masih cuek juga, bagaimana? Apa yang mesti kita lakukan?" Dengan kata lain, bicarakanlah!

Jika waktu yang telah ditentukan sampai batasnya, lakukan evaluasi. Bisa saja, di saat ini, timbul keributan. Tapi tak apa, yang penting cari jalan keluarnya. "Dengan dibukanya jalur komunikasi, masalah pasti akan teratasi. Jangan malah didiamkan saja dengan harapan si pasangan akan mengerti perasaannya."

Padahal, lanjut Yati, kalau kita tak mengungkapkan apa yang kita inginkan, bagaimana pasangan akan tahu apalagi mengerti? "Unek-unek itu harus dibuka. Paling bagus kalau ada rapat keluarga, minimal 2 minggu sekali. Apalagi kalau anak-anak sudah mulai agak besar. Karena anak-anak justru biasanya malah bisa memberikan kontribusi yang baik sebab mereka berada di luar, sehingga bisa lebih obyektif."

ANAK BERONTAK

Yati mengingatkan, bila semua masalah tak pernah dibicarakan, akan tetap tinggal menjadi masalah. "Mungkin untuk sementara akan hilang, tapi lantas jadi pasif agresif. Ia cari kesibukan lain di luar, dan sebagainya." Lagipula, tambahnya, orang yang merasa tertekan dan tekanan itu dalam waktu lama, bisa mengakibatkan stres. "Dampak stresnya bisa luber ke mana-mana, termasuk jadi galak di kantor tadi."