Soal "Anak Emas" Dan "Anak Tiri"

By nova.id, Minggu, 9 Mei 2010 | 18:58 WIB
Soal Anak Emas Dan Anak Tiri (nova.id)

Hati-hati bila Anda punya anak lebih dari satu. Anda bisa tergoda untuk meng"anakemas"kan yang satu dan meng"anaktiri"kan yang lain. Apa dampaknya buat si anak?

"Mama selalu begitu, deh, lebih sayang sama Kakak. Kalau sama aku, pasti marah-marah melulu. Mama pilih kasih!" Ungkapan bernada protes semacam ini kerap terjadi dalam suatu keluarga yang mempunyai anak lebih dari satu. Si adik merasa cemburu dan iri karena melihat ayah/ibunya lebih sayang atau perhatian pada kakaknya. Atau sebaliknya si kakak yang cemburu.

Tapi, benarkah orang tua bersikap pilih kasih? Menurut Prof. Dr. Suprapti Sumarmo Markam, sebenarnya orang tua tak bermaksud membeda-bedakan kasih sayang pada anak-anaknya. "Masak, sih, orang tua membedakan rasa sayangnya. Semua orang tua pasti menyayangi anaknya dan sama porsinya bagi masing-masing anak."

Karena itu, pakar psikologi dari Universitas Indonesia ini tak setuju bila dikatakan orang tua lebih menyayangi atau menganakemaskan salah satu anak. Menurutnya, yang biasa terjadi ialah orang tua lebih dekat dengan salah satu anak. Namun di mata anak, yang dekat dengan ayah/ibu adalah anak emas atau anak kesayangan.

KECOCOKAN PRIBADI

Kedekatan orang tua terhadap salah satu anak, seperti diterangkan Suprapti, tak seketika terjadi sejak kelahiran si anak tetapi berkembang dalam interaksi selama pertumbuhan anak itu. "Waktu bayinya ia rewel atau tidak? Menurut tidak? Dan setelah besar ia tanggap atau tidak dengan ibunya atau ayahnya? Interaksi inilah yang akan membuat mereka jadi dekat atau tidak."

Biasanya orang tua lebih dekat dengan salah satu anak lantaran si anak bisa meladeni orang tuanya. "Orang tua tentunya akan lebih responsif bila si anak bisa lebih memahami dia. Ini adalah konsekuensi logis." Begitu juga sebaliknya, anak lebih dekat ke salah satu orang tua lantaran ada tanggapan dari orang tua tersebut ketika si anak membutuhkannya. "Bila tanggapan itu datangnya dari ayah, biasanya ia jadi dekat dengan si ayah. Sebaliknya, jika si ibu yang lebih tanggap, anak pun akan lebih dekat pada ibunya." Tapi bila kebutuhan itu ternyata bisa dipenuhi oleh ayah dan ibu, maka bisa jadi si anak akan dekat dengan kedua orang tuanya.

Hal lain yang membikin kedekatan tersebut ialah pribadi si anak dengan ayah/ibunya mungkin sama sehingga emosinya saling menyambung. Kalau lagi senang atau sedih, perasaan mereka bisa menyambung. "Kadang, kan, terjadi, orang tua mau mendekati anaknya tapi si anak merasa terganggu privacynya. Jadi, ada salah pengertian sehingga hubungan mereka tak dekat lantaran emosi mereka enggak nyambung."

Bagaimana soal jenis kelamin orang tua dengan anak? Menurut Suprapti, tak ada hubungannya dengan kedekatan tersebut. "Pendapat yang mengatakan anak perempuan lebih dekat dengan ayah dan anak lelaki dengan ibunya itu hanyalah mitos. Apa, ya, kalau sekeluarga anaknya perempuan semua maka semuanya hanya dekat dengan ayahnya? Kan, enggak juga."

Dalam kenyataan memang tak selalu demikian. Tak sedikit anak lelaki yang dekat dengan ayahnya, sementara anak perempuan dengan ibunya. Atau bahkan dekat dengan keduanya. "Semuanya lebih tergantung pada interaksi tadi."

MANJA EGOIS

Di sisi lain, Suprapti tak mengingkari ada kecenderungan orang tua untuk memberikan kedudukan istimewa terhadap anak sulung, anak bungsu, maupun anak perempuan atau anak lelaki satu-satunya. Biasanya karena si anak adalah anak yang sangat diharap-harapkan. Begitupun pada anak-anak yang lebih pintar atau penurut, karena mereka tak menyusahkan.

Jadi, sebenarnya wajar-wajar saja. Termasuk bila orang tua lebih dekat pada salah satu anak. Kendati idealnya hubungan ayah dengan anak dan hubungan ibu dengan anak maupun hubungan ayah dengan ibu adalah dalam kadar yang sama. "Yang penting, jangan sampai orang tua bertindak tak adil atau kelewat demonstratif memperlihatkan sikap 'pilih kasih'nya di depan anak lain."

Jika itu yang terjadi, anak yang lain akan menjadi iri. "Bisa jadi ia akhirnya mencari keakraban di tempat lain, bukan lagi dengan orang tuanya," tukas Suprapti. Sedangkan si anak emas biasanya jadi manja dan berbuat semaunya. Ia juga egois dan tak mempedulikan perasaan orang lain karena selama ini ia jadi pusat perhatian. Akibatnya, "Ia akan mengalami masalah saat harus terjun ke dunia luar."

Bagaimana jika perlakuan yang istimewa itu ternyata menjadi beban bagi si anak emas? Menurut Suprapti, hal itu tergantung dari interaksi si anak dengan orang tuanya. Jika orang tua hanya memberikan kasih sayang saja tanpa pamrih, tak mengharuskan atau mengharapkan ia selalu istimewa, maka tak akan menjadi beban bagi si anak. Walau begitu, "Beban pada yang istimewa ini jarang terjadi. Yang paling sering terjadi ialah si anak jadi terbiasa mendapatkan apa yang ia mau."

Yang tak kalah penting ialah jangan sampai kedekatan anak dengan salah satu orang tua menjadi terlalu ekstrim. Misalnya, si anak karena dekat dengan ayahnya lantas membenci ibunya atau sebaliknya. "Justru kedekatan itu harus dianggap sebagai kelebihan." Misalnya saat si anak remaja dan mempunyai masalah, maka si ibu/ayah bisa bilang ke pasangannya, "Itu anak kelihatannya ada masalah. Coba, deh, kamu dekati dia, ada apa?"

Orang tua yang sadar akan dampaknya pada anak, menurut Suprapti, pastilah tak akan bertindak mengistimewakan anak. "Biasanya orang tua yang sadar ini dulunya juga punya pengalaman sama. Dulunya ia bukanlah anak yang diistimewakan dan ia sering merasa dianaktirikan oleh orang tuanya. Sehingga, begitu ia punya anak, ia akan berusaha untuk tak melakukan hal demikian."

JELASKAN ALASAN

Adakalanya pula, lanjut Suprapti, orang tua tak bisa mengelak untuk memberikan perlakuan yang lebih pada salah satu anak. Misalnya, pada anak yang cacat, sedang sakit, atau pada bayi. Nah, biasanya perhatian si ibu atau ayah akan tercurah lebih banyak sehingga menimbulkan rasa iri pada anak lain.

Dalam hal ini orang tua harus menjelaskannya pada anak yang lain, mengapa saudaranya diperlakukan berbeda. Jika anaknya masih kecil, jelaskan dengan bahasa anak. Misalnya, "Adik bayi perlu selalu dipangku karena ia belum bisa duduk sendiri." Terangkan pula, mengapa anak yang cacat atau sakit harus mendapatkan pertolongan.

Dengan demikian anak yang lain akan mengerti bahwa perhatian itu bukan lantaran orang tuanya pilih kasih, tapi karena memang sudah seharusnya. Si anak akan belajar, jika orang tuanya memperlakukan berbeda, bukan berarti karena saudaranya lebih hebat darinya. Bahkan bisa jadi anak yang tadinya iri dapat diajak berpartisipasi untuk memperhatikan saudaranya tersebut.

Yang penting di sini, tekan Suprapti, orang tua harus ingat bahwa perbuatan "pilih kasih"nya itu beralasan atau tidak. "Bisa saja orang tua beranggapan, tindakannya itu cukup beralasan, tapi tak demikian menurut anak. Kalau ini yang terjadi, orang tua harus mau mendengarkan argumen si anak, mengapa ia punya perasaan demikian. Jadi, bukan hanya anak yang harus mendengarkan orang tuanya, tapi orang tua pun harus mau mendengarkan suara anak. Dengan demikian ada komunikasi."

UNGKAPKAN FAKTA

Orang tua, lanjut Suprapti, harus berupaya memperbaiki kondisi agar budaya pilih kasih tak tumbuh dalam keluarga, di samping menjaga agar cukup peduli pada setiap anak. Karena biasanya kenakalan anak akibat reaksi lantaran ibu atau ayah tak pernah memperhatikannya. "Jadi, orang tua harus tanggap pada kebutuhan anak dan mau mendengarkan pada semua anak."

Jika ada yang protes bahwa ibu atau ayah hanya sayang pada si kakak atau adik, beri jawaban yang bijaksana. "Jawabannya harus diplomatis. Lebih baik diuraikan secara fakta. Bahwa ibu/ayah sayang semua. Yang A mempunyai keistimewaan begini, sedangkan si B lain lagi." Sehingga anak akan belajar bahwa perilaku demikianlah yang menyenangkan ibu/ayahnya. Anak lain yang banyak kekurangannya pun akan belajar bagaimana agar menjadi istimewa. "Dengan demikian, tiap anak akan merasa menjadi anak istimewa alias anak hebat."

Bisa juga dengan menjelaskan pada anak bahwa keperluan tiap anak tidak sama. Jadi, perlakuan pada masing-masing anak juga tidak sama. Orang tua pun harus mengusahakan agar tak terjadi persaingan di antara anak-anak. Misalnya dengan mencari kegiatan yang berbeda, yang tak membuat mereka harus bersaing. Dengan menumbuhkan rasa memiliki kelebihan, mereka pun tak mudah dibakar rasa iri atau merasa dianaktirikan.

SUMBER PERTENGKARAN

Satu hal diingatkan Suprapti, kedekatan hubungan anak dengan salah satu orang tua juga bisa menimbulkan pertengkaran di antara suami-istri. Misalnya, si ibu menganggap si bapak terlalu berlebihan dalam mengungkapkan kasih sayangnya, atau sebaliknya. "Timbullah ketidaksepahaman. Si ibu tak setuju pada cara bapak atau sebaliknya."

Nah, lebih bijaksana jika pasangan tak langsung menyalahkan atau menegur pasangannya. Terlebih di depan anak. Tapi, "Ajaklah ia bicara dan diskusikan bagaimana dampaknya kelak bagi si anak." Dalam hal ini pasangan harus mau bersikap terbuka dan berdiskusi. Pasangan juga harus mau saling mendengarkan, jangan hanya mau menang sendiri.

Jangan pula timbul prasangka, "Ah, itu, kan, karena kamu enggak suka pada anak itu sehingga kamu jadi enggak suka kalau aku mengungkapkan rasa sayangku." Kalau sampai timbul prasangka, "Berarti pasangan tersebut tak ada komunikasi," tandas Suprapti.

Dengan adanya keterbukaan dan mau saling koreksi, maka nantinya tak akan terjadi ayah atau ibu bertindak tak adil pada anak-anak.

Indah Mulatsih/nakita