Wajar Kok, Anak Ngasih Nasihat

By nova.id, Sabtu, 22 Januari 2011 | 17:01 WIB
Wajar Kok Anak Ngasih Nasihat (nova.id)

Hal ini juga wajar dalam pengertian proses imitasi. Bukankah ia akan meniru segala hal dari lingkungannya, termasuk omong kasar atau bahkan omong jorok? Terlebih, ia belum punya kemampuan untuk memilah-milah mana yang boleh dan tak boleh ia tiru. Itulah mengapa, kita harus ekstra ketat dalam memantau tumbuh kembang si kecil di usia prasekolah.

Solusinya juga bukan dengan cara memarahi, tapi diberi pengertian. Paling gampang lewat cerita. "Pilih cerita yang menggambarkan ketidakbaikannya berbicara atau melakukan perbuatan tersebut." Misal, "Adik ingat, kan, cerita Winny the Pooh yang menangis karena sakit hati dikatain bodoh oleh si singa. Nah, begitu pula si Mbak, pasti marah kalau dikatain bodoh sama Adik. Adik mau tidak dikatain begitu oleh Mbak atau Bunda? Nggak mau, kan?"

Dengan kata lain, dalam melarang atau memberi tahu bahwa perbuatan atau perkataannya enggak baik harus disertai alasannya, agar ia lebih mudah memahami pesan yang kita sampaikan, hingga ia tak akan melakukan hal yang sama untuk kedua kalinya. Jika tak diberi alasan, ia tentu bertanya-tanya, "Kenapa aku enggak boleh ngomong begitu?" Nah, karena jawabannya tak ia dapatkan, ia pun mengulangi lagi perbuatan/omongannya yang enggak bagus itu.

MENASEHATI TETANGGA

Yang juga kerap terjadi, si kecil bukan hanya menasihati kita atau kakak dan anggota keluarga lain semisal om-tante, kakek-nenek, tapi juga orang lain di luar keluarga seperti tetangga atau malah tamu yang lagi berkunjung pun dikasih "petuah". Jangan lupa, ia tak pandang bulu, lo. Entah anak kecil atau orang dewasa, entah keluarga atau bukan, "nasihat-nasihat"nya akan meluncur begitu saja kala ia mendapati mereka melakukan hal-hal yang tak sesuai dengan aturan-aturan dasar yang direkamnya.

Boleh jadi muka dan telinga kita langsung memerah lantaran menahan malu manakala si kecil menasihati tetangga atau tamu kita. Namun begitu, kita tak boleh menegur si kecil di depan orang tersebut, karena berkaitan dengan citra dirinya. "Walaupun masih kecil, anak juga punya rasa malu, rasa tak enak hati, dan tak suka. Sama halnya dengan orang dewasa jika ditegur di depan umum," terang Endang. Selain, ia pun bakal tak diterima lingkungannya hingga ia akan merasa, pendapat atau semua tindakannya selalu salah di mata orang lain. "Dampak ini akan jelas terlihat kala si anak dewasa."

Jadi, langkah terbaik untuk mengatasi ketidakenakan hati kita adalah mengalihkan pembicaraan anak. "Mungkin dengan cara membujuknya untuk bermain di tempat lain." Misal, "Coba, deh, Kakak gambar seperti gambar kemarin dan kalau sudah selesai, tunjukkan ke Tante Ani, ya?" Setelah si tamu pulang, baru kita beri pengertian padanya, "Kakak enggak boleh begitu sama Tante Ani. Tante Ani itu, kan, lebih besar dari Kakak. Memang apa yang dikatakan Kakak itu benar, tapi lain kali Kakak cukup memberi tahu Bunda aja, ya. Ngomongnya juga pelan-pelan. Nanti biar Bunda yang kasih tahu ke Tante Aninya." Dengan begitu, si kecil tak akan "lancang" lagi "menasihati" tamu, sekaligus ia pun terhindar dari perasaan selalu salah dan kebingungan.

Tentu saja, kita pun perlu minta maaf pada si tamu. Walau mungkin si tamu bisa memaklumi apa yang telah dilakukan anak. Namanya juga anak, kan? Namun, bisa saja, kan, terjadi sebaliknya; si tamu tersinggung atas perilaku anak kita. "Tak ada salahnya kita juga jelaskan pada si tamu mengapa anak melakukan hal itu." Misal, dengan mengatakan bahwa anaknya memang sedang gemar berimitasi. Selain itu, "jelaskan pula bahwa sekeluarga memang sedang mendidik anak agar tak berbicara saat makan atau membaca sambil tiduran, misal."

Bagaimana, Bu-Pak? Kini enggak masalah lagi, kan, dengan "nasihat-nasihat" dari si kecil?

Indah/Gazali Solahuddin/nakita