Kasih Sayang, Kunci Disiplin

By nova.id, Kamis, 13 Januari 2011 | 17:01 WIB
Kasih Sayang Kunci Disiplin (nova.id)

Selain itu, dalam mendisiplinkan anak usia ini harus dilakukan dengan cara tegas namun penuh kasih sayang. Jika cuma tegas yang diterapkan, kita cenderung bersikap kasar. Tapi bukan berarti tegas itu kasar, lo. Justru bila kasar, berdampak pada emosi anak; ia bisa saja sakit hati. Kalau sudah begini, malah runyam, kan?

Itulah mengapa, ketegasan dalam menerapkan disiplin harus dibarengi kasih sayang hingga anak tak merasa dimusuhi atau malah dikasari. Dengan demikian, ia pun dengan senang hati akan menjalankan aturan yang berlaku. Tak hanya itu, ia juga tetap merasa dicintai orang tuanya.

HUKUM PERILAKUNYA

Bukan berarti kalau ia melanggar disiplin lantas kita tak boleh menghukumnya, lo. Justru hukuman juga perlu dalam mendisiplinkan anak bila ia melakukan sesuatu di luar aturan yang ditetapkan. Hanya saja, dalam menghukum, kita harus ingat diri. Maksudnya, yang dihukum haruslah perilakunya, bukan orangnya. Misal, sepanjang hari ia main melulu sampai lupa makan dan mandi. Nah, yang kita hukum adalah perilakunya yang lupa waktu atau yang membuatnya jadi tak disiplin.

Jadi, jangan malah melakukan hukuman fisik terhadap si kecil, ya, Bu-Pak. Hukuman fisik yang terlalu sering, terang Lusi, hanya membuat anak jadi tak takut lagi alias kebal. "Ia merasa sudah terbiasa jadinya." Lagi pula, si kecil juga akan sakit hati, lo. Soalnya, "perbuatan orang tua yang selalu menghukum secara fisik menjadi pengalaman traumatis buat anak dan akan membekas terus dalam dirinya. Bisa jadi akhirnya ia mendendam, tapi bisa jadi pula ia akan selalu merasa salah dalam melakukan sesuatu."

Yang terbaik, terapkan sanksi atau konsekuensi karena lebih bersifat mendidik. Misal, didenda tak boleh ikut jalan-jalan di hari Minggu atau dilarang menonton TV. "Bisa juga dengan orang tua membiarkan atau tak mengacuhkannya." Cara lain, buat perjanjian bersama dengannya tentang sanksi yang diberikan bila ia melanggar aturan yang ditetapkan.

Jikapun kita terpaksa menerapkan hukuman, beri tahu alasannya hingga ia tak selalu bertanya-tanya, "Aku berbuat begitu saja, kok, dihukum." Selain itu, tanpa penjelasan tak tertutup kemungkinan ia malah akan berbuat serupa lagi. Kalau sudah begitu, ia malah jadi enggak disiplin, kan?

Lain hal dalam keadaan darurat semisal anak mau lari ke jalan, tentu kita harus mengambil tindakan cepat dengan cara menariknya. Jadi, tanpa kompromi lagi. Kalau tidak, ia akan keburu melakukan hal-hal yang tak diinginkan; menyeberang jalan saat lalu lintas ramai, misal. "Tapi tindakan hukuman seperti ini cukup dilakukan dalam keadaan darurat saja, ya, tak boleh diterapkan sehari-hari." Soalnya, berdampak buruk buat perkembangan anak. "Ia akan selalu merasa salah atau tak mampu untuk melakukan segala hal."

BERI REWARD

Tapi jangan cuma memberi sanksi atau konsekuensi saja, ya, Bu-Pak. Si kecil juga perlu diberi reward atau hadiah bila ia taat aturan atau berdisiplin. Reward-nya bisa berupa barang, bisa pula kasih sayang semisal pelukan dan ciuman. Jadi, jangan melulu dikasih, misal, hadiah mainan, ya. "Justru reward berupa kasih sayanglah yang lebih berarti buat anak dan akan terus membekas dalam dirinya." Hingga, hubungan orang tua dan anak pun jadi lebih erat.

Sayangnya, ujar Lusi, pemberian reward kasih sayang jarang dilakukan orang tua di Indonesia. "Baik orang tua maupun anak cenderung risi melakukannya atau diperlakukan demikian." Selain itu, masih banyak orang tua menganggap, bila anak disiplin itu sudah seharusnya hingga tak usah diberi apa-apa. Itu sebab, kalau anak berbuat salah, orang tua langsung memberi ganjaran. Tapi coba kalau anak disiplin atau berprestasi, malah tak mendapat apa-apa. Padahal, anak, kan, juga butuh reward selain sanksi.

Jadi, Bu-Pak, jangan pelit memberi penghargaan kala si kecil disiplin, ya. Sebaliknya, jangan ingin menghukum terus kala ia melanggar aturan, karena disiplin bukanlah hukuman. Sering, kan, kita salah kaprah menyamakan hukuman dengan disiplin. Padahal, disiplin adalah aturan atau patokan yang harus dijalankan anak demi kebaikannya, hingga ia pun harus menerima konsekuensinya bila melanggar. Bukankah konsekuensi itu pula yang harus ia terima kala melanggar aturan sosial? Misal, dijauhkan teman-temannya. Sebaliknya, ia bisa diterima dalam pergaulan jika tahu aturan.

Indah/Gazali Solahuddin/nakita