Sering kita dibuat kesal dan marah oleh ulah si kecil yang tak disiplin. Padahal, dengan sikap tegas dan konsisten disertai kasih sayang, dijamin si kecil bakal kembali disiplin.
Sebenarnya, disiplin sudah bisa ditanamkan sejak si kecil usia bayi. Sadar atau tidak, kita pun telah melakukannya. Misal, kala memberi makan atau menyusuinya tiap 3 jam sekali. Itu, kan, sama dengan kita mendidiknya agar disiplin.
Bukan berarti sudah terlambat, lo, bila kita baru mulai melatih si kecil disiplin di usia ini. Soalnya, terang dra. Lucia R.M. Royanto, MSi, MSpEd., ia masih dalam masa kanak-kanak hingga lebih mudah dibentuk ketimbang di usia remaja. Dengan demikian, ketika ia menyimpang dari aturan yang berlaku, langsung terdeteksi hingga bisa diluruskan kembali.
Nah, jika kedisiplinan ini sudah jadi kebutuhan, kala dewasa ia akan selalu hidup berdisiplin. Itulah mengapa, para ahli selalu menganjurkan agar disiplin ditanamkan sejak dini karena lebih membekas dalam diri anak sampai ia dewasa. Tentu mendisiplinkannya harus dalam semua aspek siklus kehidupan anak, dari bangun tidur sampai tidur kembali.
HARUS KONSISTEN
Tapi, dalam mendisiplinkan anak tak bisa sekaligus, ya, Bu-Pak, melainkan harus bertahap. Kalau sekaligus, "ia akan merasa terpaksa alias terpenjara hingga ia pun akan selalu mencari jalan untuk bisa lolos dari penjara itu," terang Lusi, panggilan akrab staf pengajar di Fakultas Psikologi UI ini.
Selain itu, kita pun harus konsisten. Kalau tidak, "sia-sialah pendisiplinan yang kita lakukan," tandas Lusi. Karena dengan inkonsistennya melaksanakan disiplin pada si kecil, membuat ia makin lama makin melenceng dari jalur yang ditetapkan. Jadi, sedikit demi sedikit ia tak disiplin lagi dalam kehidupannya.
Tak hanya itu, ketakkonsistenan kita pun sama saja dengan memperlihatkan kelemahan kita pada si kecil, hingga ia bisa dengan mudah memanfaatkan kelemahan itu. Misal, kala kita mengingatkannya untuk berhenti bermain dan menyuruhnya pulang ke rumah karena sudah waktunya mandi, ia bisa saja menawar, "Nanti, ya, Ma, sebentar lagi." Begitu, kan, yang kerap terjadi?
Terlebih bila kita terima begitu saja penawarannya, "tak tertutup kemungkinan ia akan melakukan hal sama dengan berbagai trik yang berbeda." Apalagi anak-anak usia ini, kan, lagi "bandel-bandel"nya dan lincah-lincahnya, hingga ia senang sekali memanfaatkan kelemahan orang tuanya.
Itulah mengapa, tekan Lusi, dalam mendisiplinkan anak, kita sebaiknya menciptakan suasana yang kondusif di rumah. Jika sudah tiba waktu tidur, misal, kita dan anggota keluarga lain harus dapat menciptakan suasana hening, jangan malah ada yang masih menonton TV. Ingat, lo, anak usia ini masih dalam tahap modeling. Jadi, bagaimana ia mau disiplin bila kita tak pernah memberikan contoh yang baik kepadanya. Bukan begitu, Bu-Pak?
PENUH KASIH SAYANG
Tentunya, kita pun harus lihat situasi dan kondisi lingkungan, serta diri si anak sendiri. Jangan sampai, kala si kecil sakit, misal, kita tak mentolerir ketakdisiplinannya. Lain hal jika tanpa sebab atau alasan yang jelas ia melanggar aturan yang digariskan bersama dalam keluarga, "kita harus mengambil sikap untuk mengembalikan anak ke jalan yang benar," bilang Lusi.
Selain itu, dalam mendisiplinkan anak usia ini harus dilakukan dengan cara tegas namun penuh kasih sayang. Jika cuma tegas yang diterapkan, kita cenderung bersikap kasar. Tapi bukan berarti tegas itu kasar, lo. Justru bila kasar, berdampak pada emosi anak; ia bisa saja sakit hati. Kalau sudah begini, malah runyam, kan?
Itulah mengapa, ketegasan dalam menerapkan disiplin harus dibarengi kasih sayang hingga anak tak merasa dimusuhi atau malah dikasari. Dengan demikian, ia pun dengan senang hati akan menjalankan aturan yang berlaku. Tak hanya itu, ia juga tetap merasa dicintai orang tuanya.
HUKUM PERILAKUNYA
Bukan berarti kalau ia melanggar disiplin lantas kita tak boleh menghukumnya, lo. Justru hukuman juga perlu dalam mendisiplinkan anak bila ia melakukan sesuatu di luar aturan yang ditetapkan. Hanya saja, dalam menghukum, kita harus ingat diri. Maksudnya, yang dihukum haruslah perilakunya, bukan orangnya. Misal, sepanjang hari ia main melulu sampai lupa makan dan mandi. Nah, yang kita hukum adalah perilakunya yang lupa waktu atau yang membuatnya jadi tak disiplin.
Jadi, jangan malah melakukan hukuman fisik terhadap si kecil, ya, Bu-Pak. Hukuman fisik yang terlalu sering, terang Lusi, hanya membuat anak jadi tak takut lagi alias kebal. "Ia merasa sudah terbiasa jadinya." Lagi pula, si kecil juga akan sakit hati, lo. Soalnya, "perbuatan orang tua yang selalu menghukum secara fisik menjadi pengalaman traumatis buat anak dan akan membekas terus dalam dirinya. Bisa jadi akhirnya ia mendendam, tapi bisa jadi pula ia akan selalu merasa salah dalam melakukan sesuatu."
Yang terbaik, terapkan sanksi atau konsekuensi karena lebih bersifat mendidik. Misal, didenda tak boleh ikut jalan-jalan di hari Minggu atau dilarang menonton TV. "Bisa juga dengan orang tua membiarkan atau tak mengacuhkannya." Cara lain, buat perjanjian bersama dengannya tentang sanksi yang diberikan bila ia melanggar aturan yang ditetapkan.
Jikapun kita terpaksa menerapkan hukuman, beri tahu alasannya hingga ia tak selalu bertanya-tanya, "Aku berbuat begitu saja, kok, dihukum." Selain itu, tanpa penjelasan tak tertutup kemungkinan ia malah akan berbuat serupa lagi. Kalau sudah begitu, ia malah jadi enggak disiplin, kan?
Lain hal dalam keadaan darurat semisal anak mau lari ke jalan, tentu kita harus mengambil tindakan cepat dengan cara menariknya. Jadi, tanpa kompromi lagi. Kalau tidak, ia akan keburu melakukan hal-hal yang tak diinginkan; menyeberang jalan saat lalu lintas ramai, misal. "Tapi tindakan hukuman seperti ini cukup dilakukan dalam keadaan darurat saja, ya, tak boleh diterapkan sehari-hari." Soalnya, berdampak buruk buat perkembangan anak. "Ia akan selalu merasa salah atau tak mampu untuk melakukan segala hal."
BERI REWARD
Tapi jangan cuma memberi sanksi atau konsekuensi saja, ya, Bu-Pak. Si kecil juga perlu diberi reward atau hadiah bila ia taat aturan atau berdisiplin. Reward-nya bisa berupa barang, bisa pula kasih sayang semisal pelukan dan ciuman. Jadi, jangan melulu dikasih, misal, hadiah mainan, ya. "Justru reward berupa kasih sayanglah yang lebih berarti buat anak dan akan terus membekas dalam dirinya." Hingga, hubungan orang tua dan anak pun jadi lebih erat.
Sayangnya, ujar Lusi, pemberian reward kasih sayang jarang dilakukan orang tua di Indonesia. "Baik orang tua maupun anak cenderung risi melakukannya atau diperlakukan demikian." Selain itu, masih banyak orang tua menganggap, bila anak disiplin itu sudah seharusnya hingga tak usah diberi apa-apa. Itu sebab, kalau anak berbuat salah, orang tua langsung memberi ganjaran. Tapi coba kalau anak disiplin atau berprestasi, malah tak mendapat apa-apa. Padahal, anak, kan, juga butuh reward selain sanksi.
Jadi, Bu-Pak, jangan pelit memberi penghargaan kala si kecil disiplin, ya. Sebaliknya, jangan ingin menghukum terus kala ia melanggar aturan, karena disiplin bukanlah hukuman. Sering, kan, kita salah kaprah menyamakan hukuman dengan disiplin. Padahal, disiplin adalah aturan atau patokan yang harus dijalankan anak demi kebaikannya, hingga ia pun harus menerima konsekuensinya bila melanggar. Bukankah konsekuensi itu pula yang harus ia terima kala melanggar aturan sosial? Misal, dijauhkan teman-temannya. Sebaliknya, ia bisa diterima dalam pergaulan jika tahu aturan.
Indah/Gazali Solahuddin/nakita