Kita kaget, kan, kala si kecil bicara sambil teriak. Padahal, jaraknya dengan kita tak terlalu jauh. Mengapa ia bersikap demikian?
Jangan keburu panik dan bingung dulu, Bu-Pak. Karena, menurut Evi Sukmaningrum, wajar, kok, bila anak usia prasekolah bicara sedikit berteriak-teriak. "Pada usia 3-4 tahun, anak, kan, sudah lancar bicara. Ngomongnya sudah sempurna, seperti kalimat per kalimatnya mengalir lancar. Karena itu mereka sedang senang-senangnya bereksperimen lewat bahasa," jelas staf pengajar Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya, Jakarta, ini. Semisal ia menemukan kosa kata baru, lalu dikomunikasikan pada lingkungannya. "Jadi, ibaratnya ucapannya yang keras atau berteriak itu sebagai ungkapan keinginannya agar semua orang tahu kalau dirinya sudah bisa ngomong."
Kecuali itu, Bu-Pak, kita tahu, kan, sifat dasar paling melekat pada anak usia prasekolah adalah egosentris. Ia ingin semua berpusat pada dirinya, hingga bicara keras-keras bisa dikatakan perwujudan egosentrisnya. "Ia hanya ingin orang lain dengar apa yang dikatakannya. Sementara ia belum mampu merasakan apa yang dirasakan orang lain. Jadi, ia merasa tak mengganggu orang lain dengan berteriak-teriak."
Di usia ini pun anak tengah asyik bereksplorasi, apalagi dengan sesuatu yang baru. "Kala ia menjumpai, oh, berbicara keras-keras atau berteriak itu enak, maka ia berbicara dengan cara serupa terus."
MENIRU ORANG TUA
Selain persoalan egosentris yang sedang berkembang, hal lain yang menyebabkan ia bicara keras bisa jadi karena mendapat model serupa yang bicara keras, semisal dari orang tua. "Pada saat anak mulai belajar ngomong, maka pola orang tuanyalah yang akan ditirunya. Kalau orang tuanya selalu bicara dengan volume keras, selalu teriak-teriak, maka anak pun akan belajar demikian." Hingga, kala ia bisa ngomong dengan lancar, pola itu melekat pada dirinya, maka ia pun ngomongnya kencang.
Jadi, Bu-Pak, jika ingin anak tak berlaku seperti itu, ya, kita pun harus mengubah pola bicara kita. "Kita harus mengubah diri sendiri dulu sebelum mengubah anak, supaya bisa jadi contoh buat anak."
Tapi, peniruan tak selalu dari orang tua, lo. Bisa juga dari lingkungan rumah atau "sekolah". Anak prasekolah, kan, sudah cukup bersosialisasi, baik di lingkungan rumah maupun "sekolah". "Jadi mungkin saja orang tua tak bicara keras, namun anaknya bicara keras karena meniru teman, pengasuh, dan orang-orang terdekat di sekitar rumah."
Bisa jadi juga kebiasaan bicara sambil teriak karena lingkungan sekitar yang memang mempengaruhi masyarakatnya untuk berbuat demikian. Misal, masyarakat yang hidup di pantai tentu cenderung lebih keras suaranya saat bicara dibanding masyarakat yang hidup di pegunungan. "Hal ini karena pengaruh faktor alam, hingga suara yang diterima kurang jelas. Akibatnya, orang harus bicara lebih keras agar bisa didengar orang lain."
Tentu tak masalah bila anak berada di lingkungan seperti itu. Baru jadi masalah kala ia harus berada di lingkungan yang cenderung bicara dengan nada suara pelan. "Kesannya, ia jadi heboh sendiri, kan?"
MINTA PERHATIAN
Adakalanya, anak bicara keras justru untuk menarik perhatian orang tua. "Apalagi bila ia pernah punya pengalaman tak diperhatikan saat bicara dengan orang tua." Misal, ia minta sesuatu dengan cara baik-baik atau sedang berusaha mengekspresikan kebutuhannya, tapi orang tua diam saja. Nah, karena orang tua tak terlalu peduli, ia pun mencoba menarik perhatian dengan berteriak saat menyampaikan keinginannya. "Habis, kalau ngomong pelan, saya enggak pernah didengerin. Jadi, saya harus teriak atau bicara keras-keras," begitu alasannya.