Bicara Sambil Teriak

By nova.id, Kamis, 13 Januari 2011 | 17:00 WIB
Bicara Sambil Teriak (nova.id)

YANG BISA DITOLERIR

Toh, kenyataannya memang tak semua perilaku bicara berteriak harus memperoleh teguran. Dikatakan wajar bila teriakan itu berupa teriakan spontan yang menunjukkan exciting. "Jadi sebagai ungkapan perasaan, baik kegembiraan, keterkejutan, atau rasa marah, hingga ngomongnya pakai teriak segala." Misal, "Mama, tadi aku lihat gajah di kebun binatang!" Itu, kan, ungkapan emosi yang meledak-ledak. Dengan demikian, bicara keras anak tak perlu dikhawatirkan. Apalagi, "teriakan sebagai ungkapan perasaan pun berguna sebagai pelepas ketegangan."

Lain hal jika setiap kali bicara, yang seharusnya bisa diungkapkan dengan volume suara normal, ternyata ia keterusan selalu bicara keras hingga teriak. Kalau ini, sih, sudah tak wajar lagi, karena kapan pun dan di mana pun berada, ia akan ngomong keras hingga terdengarnya teriak. "Kalau didiamkan saja bisa-bisa jadi kebiasaan."

PUNISHMENT DAN REWARDS

Rewards sebaiknya diberikan orang tua, terutama berupa pujian bila ia dapat memelankan suaranya. Sedangkan punishment diberikan bila suara keras anak sudah mengarah, bukan cuma teriakan, tapi ke arah membentak-bentak.

Saran Evi, sebaiknya kita jangan dulu ikuti apa yang dimaui anak kala ia bersuara keras dan cenderung teriak. Katakan, "Tak usah teriak-teriak. Mama bisa dengar, kok, apa yang kamu katakan. Kalau kamu tetap berteriak, Mama justru tak mau dengar." Nah, kalau ia menurunkan volume suaranya dan bersikap lebih baik, barulah kita kabulkan apa maunya.

Pokoknya, tekan Evi, bila anak sedang melakukanya "aksi"nya bersuara keras, orang tua sebaiknya mengabaikan saja. "Jangan turuti apa maunya. Barulah kalau ia bisa bersikap sebaliknya, kita turuti. Jadi, pada saat kita tak mengindahkan atau tak mengacuhkan, sebenarnya itu merupakan punishment tersendiri buat anak."

Nah, Bu-Pak, kita tak perlu menanganinya dengan berteriak lagi, ya!

 PADA ORANG TERTENTU

Perhatikan, tukas Evi, kepada siapa kebiasaan berteriak dilakukan anak. Bila ia bicara sambil teriak hanya pada babysitter-nya, misal, "jangan buru-buru beranggapan ada sesuatu dengan baby sitter. Tapi, kita justru harus introspeksi diri. Jangan-jangan saat kita bicara dengan babysitter memang cenderung keras. Akhirnya anak merasa boleh berbicara seperti itu bila sama babysitter."

Bila kita tak merasa memberi contoh, segera cari tahu dengan mengajak anak ngobrol. Bisa jadi ia merasa dicuekin oleh pengasuhnya. "Nah, tugas kitalah menegur pengasuhnya untuk tak berperilaku demikian, hingga anak pun tak perlu teriak-teriak mencari perhatian pengasuhnya."

TAK TERJADI PADA ANAK PEMALU

Kendati sedang dalam masa peniruan, tak semua anak usia prasekolah meniru perilaku bicara keras, terutama bila pada dasarnya ia memang pemalu. "Suara anak pemalu cenderung tak keras, kan?" ujar Evi. "Lain hal pada anak-anak yang lebih spontan, berani, dan aktif, suaranya biasanya juga lepas dan keras."

Jadi, kendati teman-temannya suka teriak-teriak, anak pemalu, sih, tetap saja dengan gayanya. Toh, memang ia tak mungkin meniru sesuatu yang tak bisa dilakukannya. Tapi, bukan berarti anak lambat melebur dengan teman-temannya, lo.

Indah Mulatsih/nakita