"Kok, Diam Aja, Sih? Lawan, Dong!"

By nova.id, Minggu, 2 Januari 2011 | 17:01 WIB
Kok Diam Aja Sih Lawan Dong! (nova.id)

Menghadapi anak yang diam saja atau malah menangis kala "dinakali" temannya kerap bikin kita gemas sekaligus geram. Tapi memarahi anak atau si teman bukanlah solusinya. Anak perlu diberi rasa aman.

Tak jarang kita saksikan, seorang anak diam saja atau cuma menangis kala mainan yang tengah dimainkannya tiba-tiba direbut oleh temannya atau bekal "sekolah"nya dicomot begitu saja. Begitupun kala ia hendak meminjam sesuatu dari si teman dan tak diperbolehkan, ia juga tak protes.

Biasanya, tutur psikolog Farida Kurniawati, anak diam saja atau tak berani melawan atas perlakuan tak adil yang diterimanya bila ia kalah gertak dari si teman. "Mungkin fisik si teman lebih besar darinya sehingga membuatnya takut untuk melawan." Jangan lupa, ingat dosen pada Fakultas Psikologi UI ini, anak balita kadang lebih memperhatikan fisik, sehingga kalau badannya kecil, ia tak akan berani "berhadapan" sama teman yang badannya lebih besar.

Selain itu, anak tipe-tipe tertentu juga kerap dijadikan "korban" perlakuan tak adil. Misal, agak cengeng atau penakut. "Coba, deh, kalau dia agak berani, mungkin temannya juga tak akan berani menjahili dia." Tipe lain yang juga kerap jadi "sasaran" adalah anak yang cenderung selalu menghindari konflik. "Tipe seperti ini, kan, cenderung menghindar dan tak melawan. Jadi, bukannya tak berani, tapi memang ia tak suka kekerasan. Baginya, tak nyaman berdekatan dengan teman seperti itu." Celakanya, tipe seperti ini sering disalahartikan teman-temannya sebagai penakut sehingga ia pun terkena jahilan teman-temannya.

KEPALA DINGIN

Tentu tak ada orang tua yang ingin anaknya diperlakukan tak adil oleh teman-temannya, hingga tak jarang terjadi, orang tua malah memarahi anaknya lantaran gemas sekaligus geram melihat si anak sama sekali tak melawan. Sebaliknya, tak sedikit pula orang tua yang justru turun-tangan "membela" anaknya dan memarahi si teman. Bahkan, ada, lo, yang sampai berantem dengan orang tua teman anaknya. Padahal, cara-cara demikian bukanlah solusi yang tepat.

Soalnya, dalam kehidupan bermasyarakat nanti, anak pasti akan menjumpai segala macam karakter manusia; termasuk perlakuan tak adil ini pun akan dijumpainya di masa-masa ia dewasa nanti. "Nah, bagaimana anak akan siap menghadapi perlakuan itu, tergantung bagaimana orang tua membimbingnya," jelas Farida.

Jadi, anjurnya, orang tua sebaiknya mendudukkan segala sesuatu pada tempatnya dan berkepala dingin. "Kalau memang yang salah atau penyebabnya adalah anak kita sendiri, ya, harus disampaikan." Misal, "Kamu enggak bilang, sih, kalau mainan kamu enggak boleh dipinjam karena mau dipakai main sendiri, sehingga kamu diperlakukan begitu." Begitu pula jika yang salah adalah temannya, kita juga harus menyampaikannya, "Sebenarnya kamu enggak salah, kok. Dia saja yang memang suka merebut."

Dengan demikian, self image anak akan berkembang wajar. "Penghargaan terhadap dirinya juga tepat; tak merasa dibela terus, juga tak disalahkan melulu."

BERIKAN RASA AMAN

Orang tua, lanjut Farida, juga harus melihat kondisi seperti apa yang tengah dialami anak. "Kalau anak lagi tak berdaya, maka tugas orang tua adalah memberikan dukungan." Soalnya, bukan tak mungkin perlakuan tak adil yang terus menimpa anak bisa mengganggu perkembangan pribadinya. Misal, ia jadi minder atau self image-nya jadi negatif. Adapun yang pertama harus kita lakukan ialah memberinya rasa aman. Misal, dengan memeluknya atau melakukan aktivitas yang disukainya. "Hal ini untuk menetralkan perasaannya." Jadi, walau di luar ia diperlakukan tak adil, tapi masih ada, lho, orang tua yang sayang padanya.

Kemudian, secara bertahap barulah kita mendorongnya agar berani dan tak diperlakukan seperti itu lagi. "Disamping tentunya orang tua juga harus memberi penjelasan bahwa inilah hidup, karena di masa datang ia juga akan menghadapi banyak rintangan." Hal ini bisa dilakukan lewat dongeng. Misal, dari cerita rakyat Bawang Putih dan Bawang Merah yang menggambarkan dua sisi karakter manusia. "Jelaskan padanya bahwa di dunia ini ada saja orang yang mempunyai watak seperti Bawang Merah, bahwa perlakuan tak adil seperti itu pasti ada." Jelaskan pula konsekuensi yang harus diterima dari sikap tersebut, misal, Tuhan akan menghukumnya, dan sebagainya. Dengan begitu, kita menyiapkan mental anak bahwa dirinya tak boleh takut atau mundur kala mendapat perlakuan demikian, tapi harus mengatasinya.

Selanjutnya, agar perlakuan tak adil itu tak mengganggu perkembangan anak, Farida menganjurkan agar orang tua mencoba mencari alternatif lingkungan pergaulan buat anak. "Libatkan ia pada lingkungan berbeda dan teman yang lebih variatif, yang bisa memberikan alternatif perlakuan berbeda pula." Misal, memasukkan si kecil ke klub tertentu yang memungkinkan ia mengembangkan bakatnya hingga mendapat prestasi atau penghargaan. "Tujuannya agar apa yang ia lakukan memberikan konsekuensi berbeda-beda. Kalau di 'sekolah', ia mendapat perlakuan yang tak adil, jadi 'korban' terus; sedangkan di klub, ia malah mendapat penghargaan, misal." Ini, kan, juga menambah pengalaman hidupnya, jadi lebih bervariasi, dan penghargaan dirinya pun akan lebih baik lagi.

HILANGKAN SIKAP CENGENGNYA

Bila anak kita ternyata cengeng atau penakut, lain lagi solusinya. Tugas kita adalah menghilangkan sikap tersebut. Dengan baik-baik katakan padanya, misal, "Lain kali kalau pensil Kakak diambil, Kakak bilang saja kalau Kakak mau pakai, tak usah pakai menangis segala." Jadi, tandas Farida, sikap cengengnya dulu yang dihilangkan. Ingat, dudukkan permasalahan pada tempatnya. Jelaskan pada anak, bahwa ia mendapat perlakuan seperti itu karena ia cengeng. "Kalau Kakak nggak mau diperlakukan begitu, ya, Kakak harus berani." Tapi untuk mengubah sikapnya agar berani bukan hal yang mudah, lho, Bu-Pak. "Harus sedikit demi sedikit dan butuh waktu."

Kita pun harus menumbuhkan sikap pada diri anak agar anak lain respek kepadanya. Ini juga butuh waktu, lho, Bu-Pak. Mula-mula bisa dengan memberi pengertian dan pendampingan saat ia bermain bersama teman-temannya, karena kehadiran orang tua bisa membuatnya lebih berani. Sering, kan, anak-anak yang masih TK, kalau lihat ibunya, walaupun si ibu duduk jauh di luar kelas, tapi dirinya sudah merasa aman? "Ada perasaan yang memberi kekuatan dengan kehadiran ibu walaupun si ibu sebenarnya enggak ngapa-ngapain."

Selain itu, umumnya anak yang sering membuat masalah atau ulah pada teman-temannya di kelas, biasanya ia juga akan mendapatkan respon negatif dari teman-temannya. "Seringkali anak-anak itu sendiri akan mengembangkan pertahanan diri secara alami. Mereka biasanya akan berkelompok dan menjauhi teman yang bermasalah ini sehingga akhirnya anak yang bermasalah ini tak punya teman. Guru pun akan memberi konsekuensi pada si anak." Lewat penjelasan ini, tutur Farida, orang tua memberikan pengertian pada anak bahwa dirinya tak sendiri; ada orang tua, guru, dan teman-teman lainnya yang membela.

Perlu diketahui, perlakuan tak adil bergradasi dari yang sekadar pinjam sesuatu benda dan lama tak dikembalikan hingga perlakuan fisik seperti menarik-narik rambut, dan sebagainya. Nah, bila kita lihat sudah dalam membahayakan, barulah kita boleh turun tangan. Tapi bila dirasa tak membahayakan atau hanya iseng belaka, "biarkan anak mengatasi permasalahannya sendiri. Kalau tidak, kapan ia bisa fight dalam menghadapi kehidupan nantinya. Bukankah ia akan menghadapi kehidupan yang sedemikian peliknya di kemudian hari? Ia jadi tak bisa mengatasi konflik, dong."

Jadi, Bu-Pak, bila si kecil pulang "sekolah" atau bermain sambil menangis, evaluasilah dengannya apa yang terjadi. "Orang tua harus memberikan masukan dua arah; bukan cuma membela atau menyalahkan anak, tapi membenahi sikapnya sekaligus memberi rasa aman." Bukakan mata anak bahwa kalau ia cengeng dan penakut, ia akan mendapat perlakuan tak adil terus dari teman-temannya, bahkan mungkin sampai ia besar; lalu doronglah ia agar lebih berani.

Indah Mulatsih/nakita