Baik Buruk Menyetrap Anak

By nova.id, Rabu, 29 Desember 2010 | 17:02 WIB
Baik Buruk Menyetrap Anak (nova.id)

Kita boleh saja menyetrap anak sebagai hukuman kala ia "nakal" atau melanggar disiplin. Tapi nyetrapnya jangan kelamaan, lho. Perhatikan pula tempat menyetrap dan perilaku Anda usai penyetrapan.

Mungkin dulu pun Bapak-Ibu pernah mengalami disetrap orang tua atau malah guru. Hukuman berupa penyetrapan atau dikenal juga dengan istilah time-out, menurut dra. Suhati Kurniawati dari Lembaga Psikologi Terapan UI, sebenarnya dilakukan orang tua sebagai alternatif hukuman fisik. Biasanya berupa anak diminta berdiri atau duduk di pojok ruangan, tak boleh menonton TV, atau bahkan diminta masuk ke kamar. Tapi, apapun bentuk penyetrapannya, "hukuman jenis ini baru akan efektif bila dilakukan buat anak yang sudah biasa diajak bicara, yaitu antara usia 2,5 sampai 5 tahun."

Tentu saja, sebagaimana pemberian hukuman model lain, penyetrapan juga harus ada sisi edukatifnya dan manfaatnya buat anak. Kalau tidak, bukan hanya hasilnya tak akan efektif, anak pun bisa merasa tak dihukum. Tak hanya itu, si kecil juga bisa mengalami trauma, lho. Untuk itu, dalam memberlakukan hukuman time-out atau penyetrapan, ada beberapa hal yang harus diperhatikan.

JANGAN DI KAMAR GELAP

Hati-hati bila menyetrap anak dengan menyuruhnya masuk ke kamar, jangan sampai kamarnya gelap. "Dikhawatirkan anak akan trauma." Misal, kalau selama ini ia takut gelap, maka menyetrapnya di kamar yang gelap hanya akan membuatnya semakin ketakutan. "Jadi, bukannya ia 'menikmati' hukumannya, tapi sudah panik duluan. Nah, ini, kan enggak efektif."

Tapi jangan pula ia disetrap di kamar yang banyak mainannya karena ia malah akan senang dihukum seperti itu. Bukankah di kamar itu ia bisa bebas bermain dan asyik sendiri? Ingat, lho, inti dari hukuman ada 2 hal, yaitu memberikan sesuatu yang enggak enak atau mengambil sesuatu yang enak darinya. Nah, kalau ia dihukum di kamar yang banyak mainnya sama juga dengan memberinya yang enak, kan?

Juga tak disarankan menyetrap anak di kamar mandi karena lebih banyak bahayanya. Misal, anak terpeleset dan kepalanya terbentur tanpa kita mengetahui. Tentunya kita tak ingin si kecil mengalami bahaya, kan?

Jadi, pilihlah tempat penyetrapan di tempat yang bisa membuatnya bosan dan merasakan bahwa ia dihukum. Misal, menyetrapnya berdiri atau duduk di pojok atau di lorong.

TAK BOLEH TERLALU LAMA

Mengenai waktu menyetrap, tak ada patokan pasti karena tiap anak akan berbeda-beda. Pokoknya, jangan terlalu lama. "Lima menit pun sebenarnya sudah cukup lama bagi anak usia ini untuk berdiam diri, tak boleh melakukan apa-apa." Ingat, lho, anak pada dasarnya senang bermain dan bergerak. Apalagi buat anak yang modelnya hiperaktif, "5 menit saja diminta diam di pojok sudah terasa menghukum sekali."

Selain itu, kalau kelamaan, anak juga sudah mulai memunculkan mekanisme pertahanan dirinya. "Pertahanan diri manusia itu, kan, akan bekerja bila dirinya sudah sampai dalam posisi tak nyaman." Bukankah kalau kita kelamaan merasa tak nyaman, kita akan mencari-cari cara untuk menyenangkan diri?

Nah, begitu juga anak. Ia akan cari-cari cara untuk menghabiskan waktu hukumannya; entah dengan melamun, memainkan kancing baju, asyik memperhatikan iring-iringan semut, dan sebagainya. "Akhirnya, ia enggak merasa dihukum lagi tapi asyik sendiri, kan? Berarti hukuman itu tak lagi ada gunanya." Jangan lupa, hukuman akan efektif bila dirasakan tak enak oleh anak.

TETAP DIAWASI

Selama penyetrapan berlangsung, orang tua harus tetap mengawasi anak tapi bukan berarti menemani. "Karena merasa kasihan, maka si anak ditemani, ya, enggak ada gunanya." Cukup awasi dari jauh saja dan nada bicara kita dilakukan dengan agak formal. Misal, ibu sedang masak di dapur dan anak disetrap duduk di sofa.

Pengawasan ini berguna agar anak tak malah main sendiri atau melakukan hal-hal yang membahayakan dirinya dan lingkungannya. Bisa juga kala si ibu meleng, ia meleletkan lidahnya ke arah ibunya, meledek-ledek ibunya. Iya, kan? Nah, dengan diawasi, ia tak punya kesempatan untuk melakukan itu semua.

USAI MENYETRAP

Sebaiknya orang tua kembali bersikap normal agar hukuman tak membuat anak merasa dibuang. "Jangan juga tetap bersikap menakutkan karena hanya akan membuat anak takut terus dalam menghadapi orang tuanya." Jadi, bersikaplah biasa saja. Misal, tetap menawarinya makanan, mengajaknya bermain, dan sebagainya. Dengan demikian, anak pun akan mengerti bahwa orang tuanya sudah biasa saja.

Sebaliknya, jangan malah timbul rasa kasihan sampai anak diberi perhatian ekstra, dipeluk-peluk, dan sebagainya. "Ini malah akan mengacaukan apa yang sudah didapat anak." Ia juga bisa berpikir bahwa ia akan mendapat perhatian yang lebih baik setelah perbuatan jeleknya. Akhirnya, lain kali ia akan melakukan hal jelek terus agar dihukum lagi, karena ia tahu setelah itu ibunya akan lebih memperhatikan dirinya. Runyam, kan? Misi dari hukuman tersebut juga tak berhasil.

Indah Mulatsih/nakita