Misalnya, "Kata 'goblok' itu artinya bahwa orang itu belum mempunyai kemampuan untuk melakukan sesuatu. Misalnya, Ani belum bisa berhitung. Tapi bukan berarti ia goblok karena ia belum mencoba. Tapi kalau ia sudah berkali-kali nyoba dan tetap saja enggak bisa, itu memang kategorinya goblok." Dengan demikian, anak akan punya pertimbangan kapan kata itu diterapkan. Selain itu, anak pun perlu diberi tahu apa dampaknya bila ia melontarkan kata tersebut. Misalnya, "Temanmu bisa sakit hati. Nanti dia enggak mau lagi main sama kamu. Kamu jadi enggak punya teman. Nggak enak, kan, kalau nggak punya teman?"
ARAHKAN TERUS
Begitupun kala anak menunjukkan perilaku buruk, orang tua harus memperlihatkan dampak dari perbuatannya itu. "Memberi tahu anak akan lebih efektif jika ia tahu konsekuensi dari tindakannya," kata Rostiana. Selama anak cuma dilarang tak boleh, baginya masih abstrak karena ia tak tahu konsekuensinya. Jadi, misalnya, ia ngejorokin dan meludahi adiknya, katakan, "Tadi Kakak lihat, kan, bagaimana Adik sewaktu Kakak jorokin dan ludahi?
Nah, bagaimana rasanya kalau Kakak yang dibegitukan?" Jadi, orang tua mengajari anak pada pola pikir yang konsisten bahwa kalau ada aksi pasti ada reaksi. "Dengan menggali reaksi anak, orang tua bisa mengarahkannya bila tak benar." Yang justru jadi masalah bila ia malah bilang, "Biarin saja. Wong, Adik jahat sama aku, kok."
Hal ini berarti, orang tua mesti lebih banyak lagi persuasifnya untuk memperlihatkan bahwa dampak dari perbuatannya itu buruk sekali sehingga tak boleh lagi dilakukan. Namun tentunya, pengarahan yang demikian tak hanya cukup sekali dilakukan. "Yang namanya anak, harus terus-menerus diingatkan sampai kebiasaan itu hilang."
Jikapun kebiasaan itu tak kunjung hilang, jangan putus asa. Kita boleh, kok, menerapkan punishment. "Dulu anak saya punya kebiasaan mencubit. Nah, saat kami sedang bermain, seolah tanpa sengaja, ia saya cubit. Wah, ia kaget sekali dan sangat marah. Lantas saya bilang, 'Rasanya bagaimana, Dik? Sakit, kan?
Itu pula yang dirasakan orang jika kamu cubit. Nggak enak, kan, dicubit? Begitu juga orang lain.' Dengan cara ini, sekaligus anak ditunjukkan dampaknya, juga tanpa sadar sebenarnya ia di-punish," tutur Rostiana. Selain itu, memperlihatkan dampak yang besar padanya pun, menurut Rostiana, sudah merupakan punishment buat anak. Misalnya, ia memaki-maki dan memukul anak lain hingga anak itu menangis.
Nah, perlihatkan hal ini padanya bahwa akibat perbuatannya maka anak itu menangis tak henti-henti. "Coba, deh, kamu bayangin, ia akan menangis terus semalaman. Nanti akibatnya akan haus, tenggorokannya sakit, dan mungkin jadi tak bisa makan."
Tentu saja bila ia bisa berkelakuan baik, bisa menahan diri untuk tak melontarkan kata-kata kotor atau perilaku buruk lainnya dalam jangka waktu tertentu, maka orang tua pun perlu memberikan rewards buatnya. "Rewards-nya tak perlu berupa es krim, misalnya, tapi pujian juga sudah sangat berarti buatnya." Nah, Bu-Pak, sekarang sudah tahu, kan, bagaimana sebaiknya menghadapi si kecil yang suka melontarkan kata-kata ataupun berperilaku buruk?
KERJA SAMA DENGAN GURU
Alangkah baiknya bila Bapak-Ibu juga bekerja sama dengan guru si kecil di "sekolah". Saran Rostiana, sering-seringlah bertandang ke "sekolah" anak, sekadar say hello sama gurunya. Dengan demikian, kita jadi tahu bagaimana perilaku anak di "sekolah"nya. Juga, kalau ada pengaruh buruk dari temannya, kita bisa bekerja sama dengan guru dalam rangka menghilangkannya. Tak hanya itu, si guru pun bisa membantu untuk menghilangkan kebiasaan buruk tersebut pada sumbernya. Rostiana lantas menuturkan, betapa teman anaknya yang semula jadi trouble maker di "sekolah" bisa berubah baik berkat bantuan guru.
"Tadinya anak itu senang mengganggu anak-anak lain hingga menangis. Nah, oleh gurunya, si anak diminta jadi ketua kelas. Ia diberi tanggung jawab untuk mengatur teman-temannya dan menjaga mereka; pokoknya, enggak boleh ada yang menangis atau bertengkar. Karena rasa tanggung jawabnya, malah ia yang menjaga teman-temannya, menolong temannya jika kesusahan, bahkan selalu mendahulukan teman-temannya agar main duluan dan dia yang menjaga. Tanggung jawabnya tumbuh dan akhirnya ia tak jadi trouble maker lagi. Nah, ada hasilnya, kan, jika kerja sama dengan guru?" Jadi, Bu-Pak, jangan sungkan untuk "beramah-tamah" dengan guru si kecil, ya.
BIARKAN SI KECIL TETAP BERGAUL
Jangan mentang-mentang lingkungan bisa memberikan pengaruh buruk, maka Bapak-Ibu lantas melarangnya bergaul. Bahkan, sekalipun kita tahu dari mana atau siapa yang jadi sumbernya. Pasalnya, anak butuh sosialisasi. Selain itu, "sumber buruk ini, kan, enggak cuma dari temannya, tapi juga bisa dari tetangga atau orang di jalanan. Nah, dengan demikian, kita tak bisa melarang anak untuk bermain bersama teman-temannya," tutur Rostiana.
Indah Mulatsih