"Goblok Bener, Sih, Mama Ini"

By nova.id, Selasa, 7 Desember 2010 | 17:00 WIB
Goblok Bener Sih Mama Ini (nova.id)

Kata-kata kasar, umpatan jorok, bahkan perilaku kasar kadang dibawa anak sebagai oleh-oleh dari pergaulan- nya di luar. Tak perlu panik bila hal ini menimpa putra-putri Anda. Ada kiatnya, kok, untuk mengatasinya.

Punya anak usia prasekolah, Bapak-Ibu mungkin akan terkaget-kaget. Pasalnya, dari mulut sang buah hati yang sudah lancar berbicara ini, tak jarang terlontar kata-kata yang membikin merah telinga kita. Ambil contoh pengalaman Ny. Baskoro (34) berikut ini.

Suatu kali Dina, putrinya yang berusia 4,5 tahun, tengah mengerjakan PR melipat dan menempel. Seperti biasa, Ny. Baskoro mendampinginya sambil memperhatikan apa yang dikerjakan Dina dan membantunya kala mengalami kesulitan. Tak jarang Ny. Baskoro ikut mengerjakan PR anaknya itu. Nah, pada hari itu, ketika Ny. Baskoro membantu Dina melipat, tiba-tiba si kecil berteriak,

"Goblok bener, sih, Mama ini. Bikinnya gini, lo, Ma!" sambil merampas kertas tersebut dari tangan ibunya. "Saya sempat shock mendengarnya. Kok, bisa-bisanya dia ngomong begitu? Padahal, selama ini saya dan ayahnya selalu mengajarinya sopan-santun, kalau ngomong juga enggak boleh teriak-teriak. Eh, tiba-tiba, kok, dia omong begitu dan perilakunya juga kasar, main rampas begitu. Dari mana, ya, dia mendapatkan kata-kata kasar seperti itu?" tutur Ny. Baskoro dengan nada bingung.

BELUM TAHU

Sebenarnya, bila kita paham bahwa anak seusia Dina mulai gemar bersosialisasi, maka kita tak akan terkaget-kaget apalagi sampai shock seperti halnya Ny. Baskoro. Pasalnya, ketika anak mulai gemar bersosialisasi, maka ia pun akan menyerap segala hal dari lingkungannya, termasuk hal-hal buruk semisal omong kasar.

Jadi, sekalipun kita yakin tak pernah mengajarinya berkata-kata maupun berkelakuan buruk, namun bisa saja hal demikian terjadi pada si kecil. Anak usia prasekolah, seperti dikatakan Dra. Rostiana, sedang dalam masa perkembangan senang melakukan imitasi. Selain itu, "taraf berpikirnya masih praoperasional, belum sampai taraf operasional. Jadi, anak masih berpikir konkret sekali," jelasnya.

Anak juga mulai mengembangkan konsep-konsep; konsep tentang teman, tentang baik-buruk, benar-salah, dan sebagainya. "Tapi justru disinilah bahayanya," ujar Pembantu Dekan III Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara, Jakarta ini.

Soalnya, dalam perkembangannya yang demikian, apa yang ada di luar dan menarik perhatiannya, bisa langsung terserap olehnya tanpa ia tahu benar apakah kata-kata maupun perilaku itu buruk atau tidak. Dalam bahasa lain, karena anak belum tahu, maka akhirnya banyak hal yang tak diinginkan orang tua dan sebenarnya juga tak diajarkan, ternyata dilakukan anak. Termasuk memaki-maki seperti yang dilakukan Dina ataupun berkata-kata jorok, dan sebagainya.

SUMBER PENGARUH

Jadi, Bu-Pak, betapa besar pengaruh lingkungan terhadap buah hati tercinta yang sedang dalam masa tumbuh-kembang ini. Misalnya, si kecil tengah bermain bersama teman-temannya, lalu ia melihat seorang temannya merebut mainan anak lain dan menang.

 "Bagi anak yang melihat, hal ini sangat mengasyikkan, walaupun anak yang direbut mainannya itu menangis. Karena ia berpikir, dengan merebut, ternyata mendapat sesuatu. Akhirnya ditirulah perilaku itu," jelas Rostiana. Bukan berarti yang menjadi sumber pengaruh buruk ini hanya melulu terbatas pada teman mainnya, lo. "Sumbernya bisa datang dari siapapun juga dan dari mana pun si anak berada atau melihat."

Misalnya, saat sedang jalan-jalan bersama Anda, si kecil melihat orang dewasa berantem sambil memaki-maki dengan kata-kata kasar maupun jorok. Ternyata, kejadian itu ditonton banyak orang dan bahkan disoraki.

Baginya, hal ini sangat exciting karena perbuatan itu mendapat perhatian banyak orang dan mendapat dukungan pula dengan cara disoraki. Nah, karena ia belum bisa menangkap sebagai hal baik atau buruk, maka ditirulah. "Jadi, hanya sekadar imitasi."

Namun, dalam imitasi tersebut, anak hanya akan meniru hal-hal yang exciting buatnya. Terlebih lagi bila ada faktor reinforcement-nya (penguat). Jadi, kalau ada anak memaki temannya dengan kata-kata, "Goblok, lu!", misalnya, lalu ada yang menyoraki, berarti ada reinforcement-nya. Ia pun tergerak untuk menirunya karena dengan cara itu, ia akan mendapat perhatian dari orang lain berupa sorakan teman-temannya. Dengan demikian, perilaku buruk akan tertanam pada anak bila ada model atau faktor pencetusnya da

n ada faktor penguatnya. "Apalagi kalau saat ia mencoba meniru, ia juga diberi penguat oleh orang lain, dielu-elukan sebagai yang paling hebat, misalnya, maka makin kuatlah perilaku itu melekat padanya," tutur Rostiana.

Selain itu, bila anak mengalami sendiri, misalnya, ia yang dikatai "goblok", maka akan lebih membekas dibanding bila ia hanya menyaksikan orang lain yang dikatai seperti itu. Akibatnya pun lebih "parah", bisa menimbulkan agresivitasnya. Saat di rumah, ia bisa melontarkan kata tersebut dengan sangat kasar, semacam pelampiasan dendam.

Perlu diketahui, pengaruh buruk ini biasanya lebih banyak diadopsi oleh anak perempuan. Soalnya, perkembangan verbal anak perempuan lebih cepat dibanding anak lelaki. "Kalau anak lelaki, justru perkembangan motoriknya yang lebih cepat," jelas Rostiana. Namun demikian, bukan berarti anak lelaki tak bisa mendapat pengaruh buruk ini, lo. Jadi, sekalipun Bapak-Ibu hanya memiliki si Buyung, namun tetap perlu waspada.

REAKSI YANG TEPAT

Nah, dengan mengetahui bagaimana proses terjadinya pengaruh buruk tersebut, menurut Rostiana, yang paling penting dalam upaya mengatasinya adalah reaksi dari sekeliling anak. Bukankah tanggapan dari orang-orang di sekelilingnya ikut menentukan, apakah perilaku buruknya akan semakin buruk ataukah berubah baik?

"Bila lingkungan rumah si anak tak paham terhadap proses belajar anak usia ini, maka yang terjadi bisa macam-macam," kata Rostiana. Bisa jadi tanggapan orang rumah malah menguatkan tingkah laku anak. Misalnya, ia mengatai kakaknya "goblok", lantas kakaknya juga balas mengatai "goblok". Berarti, hal ini saling menguatkan, kan?

Maka, perilaku itu pun akan lebih intens lagi. Itulah mengapa, tanggapan atau reaksi yang tepat dari sekeliling sangat penting. Termasuk pula, tak menanggapi dengan larangan, "Eh, nggak boleh ngomong begitu, tidak sopan!" Jikapun melarang, sebaiknya orang tua juga menjabarkan tentang omongannya itu. Saat anak melontarkan kata "goblok", misalnya, tanyakan, "Kak, goblok itu artinya apa, sih?" "Seringkali, jawaban yang diberikan anak tak sama dengan persepsi kita. Ia tak tahu apakah goblok itu. Ia hanya asal omong saja," tutur Rostiana.

Bisa jadi jawabannya adalah, "Itu, lo, Ma, tadi si Ani nungging-nungging, terus Anto bilang, 'goblok'." Nah, salah, kan, arti goblok yang dimengertinya?

Lagi pula, bila anak tak dijelaskan, ia hanya tahu, omong "goblok" itu tak boleh karena itu sesuatu yang buruk. Sehingga, saat ia menjumpai kata "goblok" dalam konteks yang lain, ia pun akan kaget. Bukankah dalam konsep lain, kata "goblok" belum tentu buruk? Jadi, tandas Rostiana, tugas orang tualah menjelaskan arti sebenarnya dari kata tersebut dan menerapkannya sesuai konteksnya.

Misalnya, "Kata 'goblok' itu artinya bahwa orang itu belum mempunyai kemampuan untuk melakukan sesuatu. Misalnya, Ani belum bisa berhitung. Tapi bukan berarti ia goblok karena ia belum mencoba. Tapi kalau ia sudah berkali-kali nyoba dan tetap saja enggak bisa, itu memang kategorinya goblok." Dengan demikian, anak akan punya pertimbangan kapan kata itu diterapkan. Selain itu, anak pun perlu diberi tahu apa dampaknya bila ia melontarkan kata tersebut. Misalnya, "Temanmu bisa sakit hati. Nanti dia enggak mau lagi main sama kamu. Kamu jadi enggak punya teman. Nggak enak, kan, kalau nggak punya teman?"

ARAHKAN TERUS

Begitupun kala anak menunjukkan perilaku buruk, orang tua harus memperlihatkan dampak dari perbuatannya itu. "Memberi tahu anak akan lebih efektif jika ia tahu konsekuensi dari tindakannya," kata Rostiana. Selama anak cuma dilarang tak boleh, baginya masih abstrak karena ia tak tahu konsekuensinya. Jadi, misalnya, ia ngejorokin dan meludahi adiknya, katakan, "Tadi Kakak lihat, kan, bagaimana Adik sewaktu Kakak jorokin dan ludahi?

Nah, bagaimana rasanya kalau Kakak yang dibegitukan?" Jadi, orang tua mengajari anak pada pola pikir yang konsisten bahwa kalau ada aksi pasti ada reaksi. "Dengan menggali reaksi anak, orang tua bisa mengarahkannya bila tak benar." Yang justru jadi masalah bila ia malah bilang, "Biarin saja. Wong, Adik jahat sama aku, kok."

Hal ini berarti, orang tua mesti lebih banyak lagi persuasifnya untuk memperlihatkan bahwa dampak dari perbuatannya itu buruk sekali sehingga tak boleh lagi dilakukan. Namun tentunya, pengarahan yang demikian tak hanya cukup sekali dilakukan. "Yang namanya anak, harus terus-menerus diingatkan sampai kebiasaan itu hilang."

Jikapun kebiasaan itu tak kunjung hilang, jangan putus asa. Kita boleh, kok, menerapkan punishment. "Dulu anak saya punya kebiasaan mencubit. Nah, saat kami sedang bermain, seolah tanpa sengaja, ia saya cubit. Wah, ia kaget sekali dan sangat marah. Lantas saya bilang, 'Rasanya bagaimana, Dik? Sakit, kan?

Itu pula yang dirasakan orang jika kamu cubit. Nggak enak, kan, dicubit? Begitu juga orang lain.' Dengan cara ini, sekaligus anak ditunjukkan dampaknya, juga tanpa sadar sebenarnya ia di-punish," tutur Rostiana. Selain itu, memperlihatkan dampak yang besar padanya pun, menurut Rostiana, sudah merupakan punishment buat anak. Misalnya, ia memaki-maki dan memukul anak lain hingga anak itu menangis.

Nah, perlihatkan hal ini padanya bahwa akibat perbuatannya maka anak itu menangis tak henti-henti. "Coba, deh, kamu bayangin, ia akan menangis terus semalaman. Nanti akibatnya akan haus, tenggorokannya sakit, dan mungkin jadi tak bisa makan."

Tentu saja bila ia bisa berkelakuan baik, bisa menahan diri untuk tak melontarkan kata-kata kotor atau perilaku buruk lainnya dalam jangka waktu tertentu, maka orang tua pun perlu memberikan rewards buatnya. "Rewards-nya tak perlu berupa es krim, misalnya, tapi pujian juga sudah sangat berarti buatnya." Nah, Bu-Pak, sekarang sudah tahu, kan, bagaimana sebaiknya menghadapi si kecil yang suka melontarkan kata-kata ataupun berperilaku buruk?

KERJA SAMA DENGAN GURU

  

Alangkah baiknya bila Bapak-Ibu juga bekerja sama dengan guru si kecil di "sekolah". Saran Rostiana, sering-seringlah bertandang ke "sekolah" anak, sekadar say hello sama gurunya. Dengan demikian, kita jadi tahu bagaimana perilaku anak di "sekolah"nya. Juga, kalau ada pengaruh buruk dari temannya, kita bisa bekerja sama dengan guru dalam rangka menghilangkannya. Tak hanya itu, si guru pun bisa membantu untuk menghilangkan kebiasaan buruk tersebut pada sumbernya. Rostiana lantas menuturkan, betapa teman anaknya yang semula jadi trouble maker di "sekolah" bisa berubah baik berkat bantuan guru.

"Tadinya anak itu senang mengganggu anak-anak lain hingga menangis. Nah, oleh gurunya, si anak diminta jadi ketua kelas. Ia diberi tanggung jawab untuk mengatur teman-temannya dan menjaga mereka; pokoknya, enggak boleh ada yang menangis atau bertengkar. Karena rasa tanggung jawabnya, malah ia yang menjaga teman-temannya, menolong temannya jika kesusahan, bahkan selalu mendahulukan teman-temannya agar main duluan dan dia yang menjaga. Tanggung jawabnya tumbuh dan akhirnya ia tak jadi trouble maker lagi. Nah, ada hasilnya, kan, jika kerja sama dengan guru?" Jadi, Bu-Pak, jangan sungkan untuk "beramah-tamah" dengan guru si kecil, ya.

BIARKAN SI KECIL TETAP BERGAUL

  

Jangan mentang-mentang lingkungan bisa memberikan pengaruh buruk, maka Bapak-Ibu lantas melarangnya bergaul. Bahkan, sekalipun kita tahu dari mana atau siapa yang jadi sumbernya. Pasalnya, anak butuh sosialisasi. Selain itu, "sumber buruk ini, kan, enggak cuma dari temannya, tapi juga bisa dari tetangga atau orang di jalanan. Nah, dengan demikian, kita tak bisa melarang anak untuk bermain bersama teman-temannya," tutur Rostiana.

Indah Mulatsih