Jangan-jangan Ibu-Bapak yang justru mengenalkan mi sebagai makanan yang dikonsumsi setiap hari. Hati-hati, lo, karena mi bisa mengakibatkan obesitas
"Dok, repot saya, anak saya maunya makan mi terus. Sulit sekali kalau saya kasih nasi dan lauk pauk. Saya pernah dengar, mi itu bahaya buat anak kecil. Sebetulnya yang berbahaya itu minya atau bumbunya, sih, Dok? Jika benar, apa bahayanya buat anak, Dok?"
Pertanyaan demikian dilontarkan oleh banyak pembaca untuk rubrik Tanya Jawab Gizi nakita. Barangkali hal senada pun kerap menjadi pertanyaan kita, ya, Bu-Pak. Orang tua mana, sih, yang tak khawatir ketika putra-putrinya sulit makan nasi dengan lauk pauk bergizi karena mereka lebih memilih mi sebagai menu sehari-seharinya. Menurut dr. Victor Tambunan, M.S., boleh-boleh saja anak mengkonsumsi mi, karena pada dasarnya mi terbuat dari tepung terigu (gandum) sehingga bisa dijadikan makanan pengganti nasi. Kita tahu, kan, nasi maupun mi termasuk bahan makanan sumber hidrat arang yang berfungsi sebagai sumber energi utama bagi manusia; sekitar 50-70 persen dari total energi.
KANDUNGAN SERATNYA NOL
Kendati demikian, mi memiliki perbedaan dengan nasi dalam soal pengolahan. "Kalau mi, kan, bahannya terbuat dari tepung terigu. Sementara tepung terigu boleh dibilang seratnya hampir enggak ada karena sudah mengalami proses di pabrik dan biasanya ditambah dengan bahan pengembang seperti bahan karbonat," jelas ahli gizi dari bagian Ilmu Gizi FKUI RSUPN Cipto Mangunkusumo, Jakarta ini. Akibatnya kandungan seratnya nol atau enggak ada. Sedangkan nasi, kendati mengalami proses penggilingan, kandungan seratnya masih banyak.
Padahal, kita tahu, ya, Bu-Pak, makanan berserat jauh lebih baik bagi pencernaan anak dibandingkan makanan tak berserat. Bila makanan yang sedikit kandungan seratnya diabsorpsi (diserap) akan cenderung diubah menjadi energi yang akan diubah lagi menjadi lemak. Efeknya, anak bisa saja mengalami overweight (obesitas), yaitu suatu gangguan yang terjadi karena adanya penimbunan lemak yang berlebihan di dalam tubuh. Nah, bila sudah terjadi obesitas, bahayanya bisa macam-macam, dari diabetes sampai jantung.
Artinya, tentu saja nasi jauh lebih baik dibandingkan mi. "Namun bukan berarti mi enggak bergizi sama sekali, lo, karena kebanyakan mi yang ada sekarang sudah ditambahkan tepung telor, sehingga ada sedikit kandungan protein." Tapi, tandas Victor, anak hanya boleh mengkonsumsi mi sejauh yang dianjurkan oleh ahli. Tentu saja sebaiknya, sih, anak baru diperkenalkan dengan mi saat usianya sudah mencapai 2 tahun ke atas. Alasannya, karena di bawah usia 2 tahun, pencernaannya belum kuat dan enzim-enzimnya belum mencukupi.
BISA TIMBULKAN ALERGI
Yang harus diwaspadai, kandungan protein glutane yang terdapat pada bahan pembuat makanan bergandum/tepung terigu. Di Amerika pernah ditemukan kasus anak yang mengalami celiac (kerusakan pada usus) lantaran alergi terhadap bahan pembuat makanan bergandum/tepung terigu yang mengandung protein glutane. Nah, bila Bapak-Ibu sudah tahu si kecil alergi terhadap protein glutane, ya, jangan mengkonsumsi mi instan. Sebaiknya, arahkan anak untuk mengkonsumsi makanan yang terbuat dari tepung beras, misalnya, kwetiau, bihun, atau misoa. Di Indonesia memang belum ditemukan kasus serupa. Yang terbanyak justru alergi terhadap bumbu-bumbu penyedapnya, misalnya, MSG.
Alergi semacam ini, jelas Mohamad Harli, kerap ditemukan pada anak-anak yang memang suka sekali mengkonsumsi makanan seperti mi remas (mi kering yang diremas langsung dimakan). "Kasusnya, si anak mengalami gatal-gatal bahkan sampai korengan, karena pada mi jenis ini bumbu MSG-nya mengandung unsur zat pengawet." Sampai saat ini MSG sendiri masih kontroversial dan masih dalam penelitian. "Ada yang bilang bisa timbulkan kanker, ada yang bilang tak apa-apa."
Tapi sebagai langkah aman, tentu saja lebih baik menghindari, ya, Bu-Pak, daripada ada apa-apa kelak di kemudian hari. Dengan demikian, sebaiknya saat anak mengkonsumsi mi instan, hindari aneka bumbu penyedapnya, seperti MSG, merica, chili powder (bubuk cabai), dan vegetable oil (minyak sayur) atau cooking oil (minyak untuk memasak). "Gunakan seperlunya atau bahkan tidak sama sekali karena semua bahan tersebut akan merangsang pencernaan anak," anjur Harli.
Jadi, lebih baik menggunakan bumbu olahan sendiri. Selain aman, rasanya pun bisa lebih enak dan sesuai selera. Memang, sih, para ibu akan lebih repot karena harus menyiapkan bumbu sendiri. Tapi nggak masalah, kan, Bu, demi kesehatan si kecil. Kemudian, untuk lebih menarik selera, masaklah mi dengan campuran sayuran, seperti sawi, kol, wortel, caisim, maupun lauk pauk, seperti bakso, telor, daging sapi, daging ayam, dan lainnya.