Salah satu umat Muslim yang mengikuti saran EFCR adalah Idris Abdulwahab asal Eritrea. Artinya, Idris berpuasa paling lama 20 jam sehari.
"Tak masalah berapa lama durasi puasa selama kami meyakini apa yang kami lakukan. Namun, sebagai manusia terkadang memang sangat berat," ujar Idris.
Sementara itu, Fatima Kaniz memilih mengikuti jadwal puasa di Pakistan. Pada pukul 20.30, Fatima sudah mulai memasak untuk persiapan berbuka. Perempuan yang sudah lima tahun berada di Kiruna itu mengenang puasa pertamanya di Swedia.
"Saat itu, saya menunggu matahari terbenam sehingga saya bisa menjalankan salat Maghrib. Saya menunggu hingga pukul 03.00 dini hari hingga teman sekamar saya asal China menjelaskan bahwa tak ada gunanya menunggu. Saat itu, saya berpikir betapa anehnya tempat ini," kata Fatima sambil tertawa.
Selama dua pertiga masa Ramadan, dengan mengikuti jadwal puasa di Pakistan, berarti Fatima berpuasa selama 18 jam sehari. Namun, akibat pergerakan matahari, dalam salah satu hari, Fatima harus berpuasa selama 23 jam. "Saya berada di Kiruna dan saya menjalankan ibadah berdasarkan waktu Kiruna. Lalu, mengapa tahun ini saya harus mengubah jadwal puasa saya dengan mengikuti waktu Stockholm?" kata perempuan itu. Namun, jika Ramadan jatuh di bulan Desember, kondisi sebaliknya terjadi di Kiruna.
Dalam dua pekan, matahari bahkan tidak pernah terbit sehingga pada saat itu umat Muslim "terpaksa" membuat aturan sendiri saat berpuasa. Seorang pria Somalia, Abdulnasser Mohammed, mengatakan, pada musim dingin, dia berpuasa hanya sekitar lima jam sehari.
Abdulnasser yang kini menjadi Ketua Asosiasi Umat Islam Kiruna mengatakan, pada musim panas, dia mengikuti jadwal puasa Turki karena negeri itu adalah negeri Muslim paling dekat dengan Swedia. Namun, dia menegaskan setiap umat Muslim bebas untuk memilih cara menjalankan ibadah puasa. "Ramadan tak bertujuan membuat seseorang kelaparan atau sakit sehingga umat bisa memilih cara yang terbaik bagi mereka," ujar Abdulnasser.
Ervan Hardoko/Kompas.com, Sumber: Al Jazeera