Menjalankan ibadah puasa pada musim panas di negara-negara Eropa menjadi tantangan tersendiri bagi umat Islam. Sebab, saat musim panas, negara-negara Eropa mengalami siang hari lebih panjang sehingga otomatis durasi puasa lebih lama.
Alhasil, rata-rata Muslim di Eropa menjalani puasa di atas 18 jam sehari. Bahkan, di beberapa tempat, mereka harus berpuasa hingga 20 jam sehari. Durasi puasa yang lebih panjang tentu membuat tantangan pun lebih besar.
Nah, lebih dari itu, tantangan lebih berat harus dialami 700 umat Islam yang tinggal di kota Kiruna, Swedia.
Kota ini berjarak 145 kilometer dari lingkar kutub dan dikelilingi gunung-gunung bersalju meski di musim panas.
Sebagian besar Muslim di Kiruna adalah para pencari suaka yang ditampung di kota itu sembari menunggu klaim mereka diproses.
Pada bulan Ramadhan tahun ini, mereka menjalani ibadah puasa dengan penuh tantangan. Sebab, antara 28 Mei hingga 16 Juli, matahari terbit 24 jam di kota Kiruna.
Artinya, selama separuh dari bulan puasa ini, umat Islam di Kiruna menjalaninya dalam suasana terang benderang. Lalu, bagaimana umat Muslim menjalankan ibadah puasa mereka?
"Saya mulai santap sahur pada pukul 03.30 dini hari. Saat itu, matahari sudah bersinar terang. Saat akan tidur, saya pasang dua tirai di jendela, tetapi tetap saja cahaya matahari masuk," kata Ghassan Alankar, pencari suaka asal Suriah.
Karena tak ada otoritas tunggal Islam Sunni yang bisa memberikan fatwa soal puasa saat matahari bersinar 24 jam, umat Islam di belahan bumi sebelah utara setidaknya menggunakan empat jadwal berbeda untuk berbuka.
Dalam hal ini, Ghassan menggunakan jadwal di Mekkah, Arab Saudi. "Saya menggunakan jadwal Mekkah karena kota itu adalah tempat lahirnya Islam. Namun, saya juga khawatir apakah ibadah puasa saya diterima Tuhan," ujar Ghassan. "Saya tak tahu apakah saya sudah menjalankan ibadah dengan benar. Saya akan tahu jika saya masuk surga kelak," ujar Ghassan gamang. Ia tiba di Swedia tujuh bulan lalu setelah melakukan perjalanan panjang lewat Lebanon, Turki, dan Yunani. Sebagian umat Islam di Swedia mengikuti jadwal puasa yang berlaku di ibu kota Stockholm yang berjarak 1.240 kilometer sebelah selatan Kirun
Mereka menggunakan jadwal itu mengikuti saran dari Dewan Riset dan Fatwa Eropa (ECFR), sebuah lembaga swasta beranggotakan para ulama yang berbasis di Dublin, Irlandia. "Di Stockholm, masih ada siang dan malam," kata Sekjen ECFR Hussein Halawa kepada Al Jazeera.
Hussein secara khusus diundang ke wilayah utara Swedia untuk melihat langsung durasi siang hari di wilayah tersebut, dan kemudian memberikan solusi soal puasa saat matahari bersinar 24 jam.
Salah satu umat Muslim yang mengikuti saran EFCR adalah Idris Abdulwahab asal Eritrea. Artinya, Idris berpuasa paling lama 20 jam sehari.
"Tak masalah berapa lama durasi puasa selama kami meyakini apa yang kami lakukan. Namun, sebagai manusia terkadang memang sangat berat," ujar Idris.
Sementara itu, Fatima Kaniz memilih mengikuti jadwal puasa di Pakistan. Pada pukul 20.30, Fatima sudah mulai memasak untuk persiapan berbuka. Perempuan yang sudah lima tahun berada di Kiruna itu mengenang puasa pertamanya di Swedia.
"Saat itu, saya menunggu matahari terbenam sehingga saya bisa menjalankan salat Maghrib. Saya menunggu hingga pukul 03.00 dini hari hingga teman sekamar saya asal China menjelaskan bahwa tak ada gunanya menunggu. Saat itu, saya berpikir betapa anehnya tempat ini," kata Fatima sambil tertawa.
Selama dua pertiga masa Ramadan, dengan mengikuti jadwal puasa di Pakistan, berarti Fatima berpuasa selama 18 jam sehari. Namun, akibat pergerakan matahari, dalam salah satu hari, Fatima harus berpuasa selama 23 jam. "Saya berada di Kiruna dan saya menjalankan ibadah berdasarkan waktu Kiruna. Lalu, mengapa tahun ini saya harus mengubah jadwal puasa saya dengan mengikuti waktu Stockholm?" kata perempuan itu. Namun, jika Ramadan jatuh di bulan Desember, kondisi sebaliknya terjadi di Kiruna.
Dalam dua pekan, matahari bahkan tidak pernah terbit sehingga pada saat itu umat Muslim "terpaksa" membuat aturan sendiri saat berpuasa. Seorang pria Somalia, Abdulnasser Mohammed, mengatakan, pada musim dingin, dia berpuasa hanya sekitar lima jam sehari.
Abdulnasser yang kini menjadi Ketua Asosiasi Umat Islam Kiruna mengatakan, pada musim panas, dia mengikuti jadwal puasa Turki karena negeri itu adalah negeri Muslim paling dekat dengan Swedia. Namun, dia menegaskan setiap umat Muslim bebas untuk memilih cara menjalankan ibadah puasa. "Ramadan tak bertujuan membuat seseorang kelaparan atau sakit sehingga umat bisa memilih cara yang terbaik bagi mereka," ujar Abdulnasser.
Ervan Hardoko/Kompas.com, Sumber: Al Jazeera