Mengatur Kawin Campur Agar Tak Babak Belur

By nova.id, Minggu, 25 April 2010 | 17:38 WIB
Mengatur Kawin Campur Agar Tak Babak Belur (nova.id)

Apa, sih, enaknya kawin dengan pria/wanita asing? Betulkah problem perkawinan mereka lebih banyak?

Kalau mau memperbaiki keturunan, kawinlah dengan orang bule." Tentu saja, anjuran ini sekadar guyonan. Soalnya, keputusan untuk menikah dengan "siapa" tidaklah sesederhana itu. Banyak faktor yang harus dipertimbangkan. Bukan semata lantaran cinta, apalagi hanya sekadar untuk memperbaiki keturunan.

Banyak sekali pasangan yang berprinsip, "Pokoknya menikah dulu. Urusan lainnya, bagaimana nanti saja." Hal ini diakui oleh Dra. Nuke S. Arafah, Direktur Lembaga Konsultasi & Bantuan Hukum untuk Wanita dan Keluarga (LKBHuWK). Padahal, "Dengan siapa pun kita akan menikah, kita harus tahu dulu siapa pasangan kita. Kita juga harus mengerti apa artinya perkawinan. Jangan tahunya, gimana nanti sajalah. Ini yang berbahaya."

Apalagi dalam perkawinan campur, tegas Nuke, ada aturannya sendiri dari negara masing-masing. Nah, pasangan harus mengetahuinya, di samping tentunya menaati aturan tersebut agar tak ada masalah di kemudian hari.

TEKANAN KELUARGA

Sebagaimana kita pahami, menikah berarti menyatunya dua individu yang berbeda. Nah, dalam perkawinan campur, seperti dikatakan psikolog Dra. Zahrasari Lukita Dewi, masalahnya lebih dari sekadar perbedaan individual. Karena, "Mereka sudah membawa satu titipan pola asuh dari negara dan budaya masing-masing." Jadi, yang paling fundamental dalam perkawinan campur ialah pasangan harus siap menerima perbedaan.

Staf pengajar Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya Jakarta ini melihat, masalah spesifik yang biasanya muncul dalam perkawinan campur ialah komunikasi dan perbedaan budaya. "Biasanya karena ada tekanan keluarga. Terutama untuk negara yang memang kuat ikatan kekeluargaannya."

Di Indonesia, hubungan antar anggota keluarga masih sangat erat dan sangat dipengaruhi oleh adat-istiadat. Berbeda dengan negara-negara Barat, di mana kedekatan dengan keluarga besar tak terlalu dipengaruhi oleh adat. Makanya di Indonesia, kalau kita menikah berarti kita juga menikahi keluarganya, bukan cuma anaknya saja. Orang tua kita pun masih terus memonitor kehidupan rumah tangga kita. Sementara di Barat, orang tua pantang mencampuri urusan rumah tangga anaknya.

Hal-hal yang demikian, tentulah bisa memicu terjadinya konflik apabila tak ada pemahaman dari masing-masing pihak. Misalnya, si istri yang asli Indonesia tak mendapatkan sambutan hangat saat berkunjung ke rumah mertuanya. Dia lantas berpikir, "Wah, mertuaku rupanya nggak mengharapkan kedatanganku," atau, "Mertuaku rupanya nggak menyukai aku." Padahal, ujar Zahrasari, "Enggak benar begitu. Karena budaya mereka memang seperti itu."

Sementara dari pihak si pria Barat juga belum tentu mudah. Misalnya dalam berbicara dengan orang tua. Di Indonesia, memanggil, orang tua, kan, tak boleh hanya dengan menyebut namanya saja seperti di Barat. Kita pasti dibilang enggak sopan. Begitu juga jika gaya bicara kita tanpa tedeng aling-aling. Memang, mungkin si orang tua tak akan langsung menegur menantu. Tapi akibatnya, kita yang jadi sasaran. Biasanya, kita diminta untuk menegur suami agar ia mengikuti tata-krama yang berlaku di keluarga kita.

Tekanan (pressure) dari keluarga, menurut Zahrasari, tak jarang menyebabkan pasangan kawin campur bingung menentukan pilihan budaya mana yang akan diambil. "Hal ini bisa membuat pasangan menjadi rentan."

SOAL ANAK