Mengatur Kawin Campur Agar Tak Babak Belur

By nova.id, Minggu, 25 April 2010 | 17:38 WIB
Mengatur Kawin Campur Agar Tak Babak Belur (nova.id)

Itu baru satu soal. Belum lagi masalah pengasuhan anak. "Budayanya berbeda sekali," ujar Nuke. Misalnya, di budaya Barat, anak yang sudah berusia 17 tahun harus pergi dari rumah. Sementara di Indonesia, jangankan anak umur 17 tahun, yang sudah menikah pun sering masih tinggal sama orang tua, kok.

Tak jarang terjadi, si ayah yang Barat menginginkan anaknya bersekolah di luar negeri kendati usia si anak masih kecil. Si ibu tentu tak sampai hati melepas anaknya, meski di sana ada Opa dan Omanya. Hati seorang ibu biasanya tak ingin jauh-jauh dari anaknya, bukan?

Menurut Zahrasari, ada dua kemungkinan yang bisa terjadi pada anak dari pasangan kawin campur ini. "Bisa jadi anak akan bingung apabila mendapatkan ayah-ibunya sama-sama ngotot dengan pola asuh yang mereka bawa." Atau malah sebaliknya, anak menjadi kuat karena sudah biasa dengan perbedaan dan kaya pengetahuan serta nilai-nilai sehingga lebih fleksibel. "Lantaran si anak melihat, perbedaan antara ayah dan ibunya ternyata justru membawa keharmonisan dalam rumah tangga."

Itulah mengapa Zahrasari menganjurkan, pasangan kawin campur harus mengajarkan masalah perbedaan pada anak. Kelak si anak akan memiliki rasa percaya diri yang besar, disiplin, dan bisa bergaul. Anak pun tahu bahwa ia dididik oleh orang tuanya agar mandiri tapi tetap masih di bawah kontrol orang tua.

Tapi tentunya hal ini hanya bisa terjadi apabila si ayah dan ibu yang berbeda budaya ini mau menjadi model yang baik bagi anak-anak mereka. Jadi, meski si ayah terbiasa hidup dengan budaya Barat, ia juga harus bisa bergaul dengan keluarga istrinya dan lingkungannya. Begitupun sebaliknya dengan si ibu yang asli Indonesia. Sehingga anak akan tahu, "Oh, meski Papaku orang Barat dan Mama orang Indonesia, tapi mereka bisa, kok, menyesuaikan diri dengan negara pasangannya."

KOMITMEN

Harap dipahami, kata Nuke, pasangan kawin campur akan bisa menghadapi lingkungan sosialnya yang seperti apa pun apabila pasangan sudah bisa menyelesaikan masalah internal di antara mereka. Tapi kalau tidak, "Jangan harap pasangan akan bisa tenang. Masalah justru akan lebih besar."

Karena itulah, baik Nuke maupun Zahrasari sepakat, pasangan harus tahu dulu "hutan"nya masing-masing dan menghormatinya, sebelum memutuskan untuk saling mengikat diri dengan tali perkawinan. Masing-masing keluarga besar juga harus sudah diberi pemahaman tentang latar belakang pasangan, termasuk budayanya. "Apalagi jika keluarganya sangat konservatif dan sulit menerima perkawinan campuran," kata Zahrasari.

Jadi, baik pasangan maupun keluarganya harus mau membuka diri untuk mengenali keluarga pasangannya. Misalnya, bagaimana keluarga memperlakukan anggota keluarga baru, bagaimana ipar menerima kehadiran iparnya, bagaimana mereka melihat suatu nilai keluarga, dan sebagainya.

Setelah diketahui dan dipahami, bicarakanlah hal-hal yang dirasakan sangat berbeda sehingga dicapai kesepakatan. Misalnya tentang anak. Apakah pasangan berniat punya anak atau tidak, berapa jumlah yang diinginkan, dan bagaimana cara mengasuhnya. Apalagi, seperti kata Nuke, tak semua orang asing mau memiliki anak.

Komitmen pasangan sebelum menikah, menurut Nuke dan Zahrasari, sangatlah penting. Dengan adanya komitmen berarti pasangan bersedia menerima perbedaan-perbedaan di antara mereka dan harapan-harapan/keinginan pasangannya. "Bila komitmen ini sudah disepakati, maka biasanya tidak akan timbul masalah," kata Nuke.

TEMPAT TINGGAL