Jarak Kelahiran Berdekatan Bikin Anak Gemar Bertengkar

By nova.id, Rabu, 14 April 2010 | 17:50 WIB
Jarak Kelahiran Berdekatan Bikin Anak Gemar Bertengkar (nova.id)

Dalam memberi sesuatu, berilah juga untuk perorangan. Artinya, disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing anak pada saat itu. Misalnya si adik dibelikan sepatu karena sepatunya sudah rusak, tak berarti si kakak harus pula dibelikan. Begitu juga dalam soal mainan. Jangan hanya karena kakak dan adik sering berebut mainan, orang tua lalu membelikan mainan yang sama untuk mereka. Yang bijaksana, anjur anggota American Art Therapy Association ini, "Ajarkan pada anak untuk berbagi dengan cara bergantian. Atau tawarkan pada salah satu dari mereka untuk memilih mainan yang lain."

Hal sama juga berlaku jika salah satu diberi hadiah. "Beri kesempatan dalam satu waktu tertentu si anak menjadi istimewa bagi orang tua," ujar Monty. Misalnya, karena si kakak rajin ia diberi hadiah di bulan tersebut. Kali lain, adiknya yang dapat giliran diberi hadiah. Hadiahnya pun harus disesuaikan dengan kesukaan mereka.

Dengan demikian, anak akan belajar menjadi dirinya sendiri. Bukan meniru orang lain. Bukan memiliki sesuatu karena orang lain punya tapi karena ia sendiri memang membutuhkannya. Lagipula, dengan orang tua mengakui perbedaan-perbedaan yang ada antara si kakak dan si adik, tapi tanpa membanding-bandingkannya, anak juga akan saling menghargai perbedaan masing-masing.

MENJADI TERGANTUNG

Lantas bagaimana dengan jarak kelahiran yang terlalu jauh? Kata para ahli, sih, hubungan mereka lebih ramah dan kooperatif. Tapi bukan berarti tak ada persoalan, terutama bagi si adik. Anak yang sudah terlalu lama jadi anak tunggal, misalnya, "Bisa membuat orang tua memberi perhatian berlebih pada anak kedua. Alasannya, sudah lama tak memiliki bayi," tutur Monty.

Akibatnya, si adik tumbuh menjadi si kecil yang dimanja, selalu jadi pusat perhatian keluarga. Situasi ini jelas tak bagus untuk perkembangan si adik. Ia bisa menjadi tergantung pada seluruh keluarga besarnya. Hal ini lebih disebabkan si adik tak memperoleh kesempatan untuk mandiri. "Karena selalu menjadi pusat perhatian, praktis ia selalu dibantu oleh seluruh anggota keluarga besarnya. Baik ayah, ibu, kakak, atau yang lainnya."

Saat ia beranjak besar pun ia tetap dianggap sebagai si kecil yang menggemaskan, sehingga ia memiliki kesulitan dalam perkembangannya. Padahal, "Orang tua sungguh salah jika selalu menganggap anak yang lahir belakangan ini sebagai anak kecil sekalipun ia sudah dewasa."

Sebagai orang tua, tegas Monty, "Jangan sekali-kali menekan anak yang lebih besar untuk selalu menolong yang kecil dan si kecil harus selalu ditolong." Melainkan, "Ciptakanlah situasi tolong-menolong satu sama lain." Jadi, tak ada salahnya sesekali adik menolong kakak, karena hal itu bukan berarti si kakak tak mampu.

KECEMASAN BERLIPAT

Kita pun jadi bertanya-tanya, bagaimana, sih, ukuran jarak kelahiran yang ideal? "Sulit sekali untuk menentukannya," jawab Monty. Karena, "Yang terpenting ialah kesiapan ibu dan ayah menjalani semuanya. Kesiapan ini bisa diwujudkan dengan komitmen yang jelas tentang konsep memiliki anak."

Itu sebabnya kehamilan perlu direncanakan. Kehamilan bukan cuma penantian memiliki anak semata, tapi juga sesuatu yang harus diperhitungkan segala sesuatunya. Dari segi ekonomi, misalnya, kehamilan tidaklah murah. "Dari kehamilan sampai kelahiran perlu biaya tak sedikit. Apalagi jika melahirkan dengan operasi."

Yang jelas, pertama-tama kehamilan harus diinginkan oleh baik ibu maupun ayah. Bukan cuma oleh salah satu, kendati yang hamil memang wanita. Karena jika terjadi hal-hal yang tak diinginkan, maka tak akan menimbulkan saling menyalahkan.

Kedua, secara finansial juga harus "memadai". Jangan sampai salah perhitungan yang ujung-ujungnya membuat runyam hubungan suami-istri. Bayangkan saja, saat si sulung masih menguras dana dengan keperluan susu setiap bulan, misalnya, si ibu kemudian hamil lagi. "Pastilah itu akan menimbulkan masalah bagi si ibu maupun ayah." Dan, masalah itu pasti akan berdampak pada kehamilannya.

Itu baru dari segi keuangan. Mengurus anak kecil juga memerlukan energi. Nah, apakah si ibu mampu berbagi perhatian antara kehamilan dengan si anak yang sudah lahir? Sementara si anak sendiri masih kecil, masih membutuhkan banyak perhatian.

Kesiapan ayah pun memegang peranan penting. Apakah ayah cukup siaga menerima kehamilan berikutnya? Apakah ia juga mau terlibat dengan pengasuhan anak yang sudah ada? "Jadi, bisa dibayangkan betapa besarnya kecemasan si ibu yang hamil ini akan berlipat-lipat jika tak dibarengi dukungan dari suaminya," terang Monty yang menyelesaikan program master di Emporia State University, Emporia, Kansas.

Seperti kita tahu, kehamilan itu sendiri sudah menimbulkan kecemasan. Apalagi jika ditambah kekhawatiran yang ditimbulkan dari faktor-faktor di atas. Padahal, "Kecemasan ibu hamil bisa berdampak pada bayi yang dikandungnya. Juga berdampak terhadap anak yang dibesarkannya."

Otomatis dengan adanya kecemasan berlipat-lipat itu, si ibu hamil akan kesulitan berkonsentrasi pada kehamilannya maupun dalam mengasuh si sulung yang masih kecil. Dampaknya juga akan dirasakan pada si sulung. Antara lain, ibunya jadi kurang perhatian.

Hal ini bisa terbawa terus setelah si bayi lahir. Apalagi bayi baru lahir butuh perhatian lebih. Mau tak mau, perhatian si ibu akan tersedot untuk si bayi. Akibatnya, si sulung akan merasa "ditelantarkan" dan berperangai yang tidak-tidak demi menarik perhatian orang tuanya. Salah satunya, misalnya, dengan menjahili sang adik lalu si adik marah. Nah, tak perlu heran bila akhirnya mereka kerap bertengkar.

Julie Erikania/Riesnawiati Soelaeman