Jarak Kelahiran Berdekatan Bikin Anak Gemar Bertengkar

By nova.id, Rabu, 14 April 2010 | 17:50 WIB
Jarak Kelahiran Berdekatan Bikin Anak Gemar Bertengkar (nova.id)

Banyak orang tua percaya, jarak usia kakak-adik yang terlalu berdekatan, membuat mereka kerap bertengkar. Padahal, kuncinya tetap pada cara orang tua memperlakukan mereka.

"Pusing saya. Tiap hari ada saja yang jadi bahan pertengkaran mereka. Dari rebutan mainan sampai rebutan saya, ibunya," keluh Liana, ibu dua anak usia 3 tahun dan 2 tahun 1 bulan.

Lain lagi keluhan Ranti, ibu dua anak perempuan usia 3 dan 4 tahun. "Mereka selalu menuntut harus dapat yang sama dalam segala hal. Mulai dari makanan sampai waktu dan perhatian kami. Kalau tidak, mereka pasti protes," tuturnya.

Apa yang dikeluhkan Liana dan Ranti, boleh jadi dialami pula oleh orang tua lain yang memiliki dua anak dengan jarak usia tak terlalu jauh. Karena menurut para ahli, perbedaan usia yang terlalu dekat cenderung meningkatkan perselisihan antara kakak-adik lantaran mereka lebih banyak berkontak satu sama lain.

Kendati demikian, kedekatan usia juga bisa menciptakan banyak kebersamaan. "Layaknya teman, satu sama lain bisa saling sharing, baik pengalaman maupun materi," tutur Drs. Monty P. Satiadarma, MS/AT,MCP/MFCC dari Fakultas Psikologi Universitas Tarumanegara. Kebersamaan ini semakin didukung jika jenis kelaminnya sama. Misalnya, anak laki-laki main bola bersama dan main rumah-rumahan untuk anak perempuan.

Hal ini bisa terbawa sampai mereka menjadi dewasa. Sering, kan, kita menjumpai kakak-adik seperti sahabat. Bahkan, "Mereka bisa terbuka satu sama lain melebihi keterbukaan mereka terhadap orang tua."

Yang penting, lanjut Monty, jangan sampai kebersamaan itu justru "membungkam" kebutuhan mereka akan pergaulan dengan teman sebaya. "Anak-anak harus tetap diperkenalkan dengan dunia pergaulan di luar rumah. Misalnya, dengan anak tetangga yang sebaya, sepupu yang seusia, dan lainnya."

PEMICU PERSAINGAN

Apa sebenarnya yang memicu perselisihan di antara kakak-adik dengan usia berdekatan? Menurut pakar psikologi perkembangan anak, Elizabeth Hurlock, penyebab utamanya adalah cara orang tua memperlakukan si kakak dan si adik yang cenderung sama.

Sementara di sisi lain, orang tua tetap berharap, si kakak menjadi contoh yang baik bagi adiknya. Sebaliknya, si adik diharapkan meniru sang kakak dan mematuhinya.

Dalam diri anak sendiri, jelas Monty, ada perasaan bahwa mereka sama karena perbedaan fisik antara mereka tak terlalu jauh. Si kakak merasa tak perlu mengalah pada adiknya. Ia beranggapan, toh, adik sama besar dengan dirinya. Si adik pun merasa, "Ah, saya, kan, sama dengan kakak. Jadi, kenapa harus berlaku seperti seorang adik?" Akibatnya, "Mereka saling bersaing dengan ketat."

Menurut Monty, tak ada yang perlu dikhawatirkan oleh orang tua selama persaingan kakak dan adik berlangsung sehat. Sehat tidaknya persaingan, lagi-lagi kembali pada peran orang tua. "Persaingan sehat sudah harus dikembangkan orang tua sejak dini. Jangan sampai yang terjadi malah saling iri satu sama lain."

Rasa iri, bisa muncul jika orang tua "hobi" membanding-bandingkan anak yang satu dengan lainnya. Kala memarahi si kakak, misalnya, jangan sekali-sekali mengatakan, "Kenapa, sih, kamu susah sekali kalau disuruh sikat gigi. Tidak seperti adik. Dia selalu menurut." Lebih baik katakan, "Lihat, deh, adikmu giginya jadi bersih karena ia rajin sikat gigi. Kakak juga bisa, kok, punya gigi yang bersih bila mau sikat gigi."

Lewat cara ini, akan tumbuh keinginan anak untuk "melebihi" saudaranya tanpa harus "menjatuhkan" si saudara. Soalnya, terang Dekan Fakultas Psikologi Universitas Tarumanegara ini, "Mereka bersaing untuk menunjukkan kelebihan atau prestasi."

Jangan pernah pula menciptakan citra pada salah satu anak bahwa ayah atau ibu tak sayang lagi padanya. "Bukan berarti orang tua tak boleh marah pada kakak atau adik. Yang penting, jangan pernah beri kesan padanya, kita marah karena lebih sayang pada kakak/adiknya."

Membanding-bandingkan atau pilih kasih hanya akan menimbulkan rasa dendam pada anak yang dibandingkan atau merasa tak disayang. Akibatnya, pertengkaran akan lebih sering terjadi. Biasanya si anak tersebutlah yang memulai pertengkaran. Bukan lantaran si anak benci atau marah pada saudaranya, tapi lebih merupakan ungkapan protes terhadap orang tua atas perlakuan tak adil yang diterimanya.

PAHAMI POSISI

Ingatlah, si sulung yang masih usia balita tetap seorang anak kecil, kendati "predikat"nya kakak. Tak realistis kalau orang tua mengharapkan si kakak bersikap sebagai 'orang dewasa'. Buat si anak sendiri, akan jadi beban berat jika ia harus berperan sebagaimana layaknya seorang kakak.

Monty mengingatkan, jangan menuntut si kakak untuk selalu mengalah dengan alasan ia jauh lebih besar. Ataupun menuntutnya selalu bersikap "baik dan benar" agar dicontoh si adik. "Soalnya bisa terjadi, si kakak akan menyesali kelahiran adiknya yang sudah menjauhkan ia dari limpahan kasih sayang orang tua," tuturnya.

Sebaliknya, tak perlu berlebihan memanjakan sang adik dengan anggapan ia masih kecil. Ia tetap harus diajarkan apa yang boleh dan tidak, mana yang benar dan salah. Jangan mentang-mentang ia lebih kecil maka ia boleh seenaknya merebut mainan si kakak, misalnya. Atau, karena ia lebih kecil, maka dialah yang harus didahulukan sementara si kakak mendapatkan "sisa"nya.

Yang terbaik, menurut Monty, tetap "menghukum" si anak berdasar porsi kesalahannya tanpa memandang usia maupun posisinya sebagai kakak atau adik. Jadi, "Kalau adik yang salah, ya, si adiklah yang harus mendapatkan teguran." Sebaliknya, jika si kakak yang salah, beri ia kesempatan untuk minta maaf. "Tanamkan padanya, sekalipun ia paling besar, jangan segan untuk meminta maaf jika salah."

PRIBADI BERBEDA

Yang juga sering dilupakan orang tua, kendati usia mereka berdekatan, tak berarti mereka harus diperlakukan secara sama. Bagaimanapun, setiap anak adalah pribadi yang berbeda. Tak ada dua anak yang sama. Bahkan anak yang kembar identik pun tetap memiliki perbedaan. Jadi, perlakukan kakak dan adik sesuai dengan karakteristiknya masing-masing. "Biarkan anak menjadi dirinya sendiri. Biarkan mereka punya pilihan masing-masing," nasihat Monty.

Kalau si kakak lebih senang main bola, biarkan ia main bola. Tak perlu memaksa adiknya untuk ikut senang. Kalau adiknya lebih suka menggambar, ya, belikan buku dan alat gambar.

Dalam memberi sesuatu, berilah juga untuk perorangan. Artinya, disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing anak pada saat itu. Misalnya si adik dibelikan sepatu karena sepatunya sudah rusak, tak berarti si kakak harus pula dibelikan. Begitu juga dalam soal mainan. Jangan hanya karena kakak dan adik sering berebut mainan, orang tua lalu membelikan mainan yang sama untuk mereka. Yang bijaksana, anjur anggota American Art Therapy Association ini, "Ajarkan pada anak untuk berbagi dengan cara bergantian. Atau tawarkan pada salah satu dari mereka untuk memilih mainan yang lain."

Hal sama juga berlaku jika salah satu diberi hadiah. "Beri kesempatan dalam satu waktu tertentu si anak menjadi istimewa bagi orang tua," ujar Monty. Misalnya, karena si kakak rajin ia diberi hadiah di bulan tersebut. Kali lain, adiknya yang dapat giliran diberi hadiah. Hadiahnya pun harus disesuaikan dengan kesukaan mereka.

Dengan demikian, anak akan belajar menjadi dirinya sendiri. Bukan meniru orang lain. Bukan memiliki sesuatu karena orang lain punya tapi karena ia sendiri memang membutuhkannya. Lagipula, dengan orang tua mengakui perbedaan-perbedaan yang ada antara si kakak dan si adik, tapi tanpa membanding-bandingkannya, anak juga akan saling menghargai perbedaan masing-masing.

MENJADI TERGANTUNG

Lantas bagaimana dengan jarak kelahiran yang terlalu jauh? Kata para ahli, sih, hubungan mereka lebih ramah dan kooperatif. Tapi bukan berarti tak ada persoalan, terutama bagi si adik. Anak yang sudah terlalu lama jadi anak tunggal, misalnya, "Bisa membuat orang tua memberi perhatian berlebih pada anak kedua. Alasannya, sudah lama tak memiliki bayi," tutur Monty.

Akibatnya, si adik tumbuh menjadi si kecil yang dimanja, selalu jadi pusat perhatian keluarga. Situasi ini jelas tak bagus untuk perkembangan si adik. Ia bisa menjadi tergantung pada seluruh keluarga besarnya. Hal ini lebih disebabkan si adik tak memperoleh kesempatan untuk mandiri. "Karena selalu menjadi pusat perhatian, praktis ia selalu dibantu oleh seluruh anggota keluarga besarnya. Baik ayah, ibu, kakak, atau yang lainnya."

Saat ia beranjak besar pun ia tetap dianggap sebagai si kecil yang menggemaskan, sehingga ia memiliki kesulitan dalam perkembangannya. Padahal, "Orang tua sungguh salah jika selalu menganggap anak yang lahir belakangan ini sebagai anak kecil sekalipun ia sudah dewasa."

Sebagai orang tua, tegas Monty, "Jangan sekali-kali menekan anak yang lebih besar untuk selalu menolong yang kecil dan si kecil harus selalu ditolong." Melainkan, "Ciptakanlah situasi tolong-menolong satu sama lain." Jadi, tak ada salahnya sesekali adik menolong kakak, karena hal itu bukan berarti si kakak tak mampu.

KECEMASAN BERLIPAT

Kita pun jadi bertanya-tanya, bagaimana, sih, ukuran jarak kelahiran yang ideal? "Sulit sekali untuk menentukannya," jawab Monty. Karena, "Yang terpenting ialah kesiapan ibu dan ayah menjalani semuanya. Kesiapan ini bisa diwujudkan dengan komitmen yang jelas tentang konsep memiliki anak."

Itu sebabnya kehamilan perlu direncanakan. Kehamilan bukan cuma penantian memiliki anak semata, tapi juga sesuatu yang harus diperhitungkan segala sesuatunya. Dari segi ekonomi, misalnya, kehamilan tidaklah murah. "Dari kehamilan sampai kelahiran perlu biaya tak sedikit. Apalagi jika melahirkan dengan operasi."

Yang jelas, pertama-tama kehamilan harus diinginkan oleh baik ibu maupun ayah. Bukan cuma oleh salah satu, kendati yang hamil memang wanita. Karena jika terjadi hal-hal yang tak diinginkan, maka tak akan menimbulkan saling menyalahkan.

Kedua, secara finansial juga harus "memadai". Jangan sampai salah perhitungan yang ujung-ujungnya membuat runyam hubungan suami-istri. Bayangkan saja, saat si sulung masih menguras dana dengan keperluan susu setiap bulan, misalnya, si ibu kemudian hamil lagi. "Pastilah itu akan menimbulkan masalah bagi si ibu maupun ayah." Dan, masalah itu pasti akan berdampak pada kehamilannya.

Itu baru dari segi keuangan. Mengurus anak kecil juga memerlukan energi. Nah, apakah si ibu mampu berbagi perhatian antara kehamilan dengan si anak yang sudah lahir? Sementara si anak sendiri masih kecil, masih membutuhkan banyak perhatian.

Kesiapan ayah pun memegang peranan penting. Apakah ayah cukup siaga menerima kehamilan berikutnya? Apakah ia juga mau terlibat dengan pengasuhan anak yang sudah ada? "Jadi, bisa dibayangkan betapa besarnya kecemasan si ibu yang hamil ini akan berlipat-lipat jika tak dibarengi dukungan dari suaminya," terang Monty yang menyelesaikan program master di Emporia State University, Emporia, Kansas.

Seperti kita tahu, kehamilan itu sendiri sudah menimbulkan kecemasan. Apalagi jika ditambah kekhawatiran yang ditimbulkan dari faktor-faktor di atas. Padahal, "Kecemasan ibu hamil bisa berdampak pada bayi yang dikandungnya. Juga berdampak terhadap anak yang dibesarkannya."

Otomatis dengan adanya kecemasan berlipat-lipat itu, si ibu hamil akan kesulitan berkonsentrasi pada kehamilannya maupun dalam mengasuh si sulung yang masih kecil. Dampaknya juga akan dirasakan pada si sulung. Antara lain, ibunya jadi kurang perhatian.

Hal ini bisa terbawa terus setelah si bayi lahir. Apalagi bayi baru lahir butuh perhatian lebih. Mau tak mau, perhatian si ibu akan tersedot untuk si bayi. Akibatnya, si sulung akan merasa "ditelantarkan" dan berperangai yang tidak-tidak demi menarik perhatian orang tuanya. Salah satunya, misalnya, dengan menjahili sang adik lalu si adik marah. Nah, tak perlu heran bila akhirnya mereka kerap bertengkar.

Julie Erikania/Riesnawiati Soelaeman