Brak! Daun pintu pun jadi sasaran, dibanting, saat kemarahan pada pasangan memuncak. Si kecil yang ketakutan jadi menangis. Hati-hati, lo, bertengkar di depan anak.
Konflik atau pertengkaran merupakan hal yang wajar terjadi dalam kehidupan berumahtangga. "Suami atau istri, kan, manusia juga. Nah, sebagai manusia, emosi bisa datang kapan saja, termasuk saat anak berada di depan kita," ujar psikolog dari Unika Atma Jaya Jakarta, Dra. Catherine D.M. Limansubroto, MSc.
Secara garis besar ada dua macam pertengkaran. Pertama, pertengkaran yang menguatkan perkawinan. Pertengkaran ini bisa membantu perkawinan menjadi lebih baik, karena bisa menyalurkan perasaan, memperjelas fakta, membuka tabir perbedaan secara jujur, yang kemudian didiskusikan dan diselesaikan.
Pertengkaran jenis kedua adalah pertengkaran yang merusak perkawinan. Biasanya, pertengkaran semacam ini adalah pertengkaran yang mengulang-ulang hal yang sama. Tak ada fakta, mengungkit-ungkit hal yang sudah lama, dan saling menuduh tanpa bukti. Bertengkar hanya untuk bertengkar adalah cara yang paling tidak efisien untuk menyelesaikan konflik.
ANAK TAKUT
Lantas, bagaimana jika pertengkaran terjadi di depan anak? Pertengkaran orangtua biasanya akan membuat anak gelisah. Jangan salah, bayi pun bisa merasakan ada sesuatu yang tak beres di antara orangtuanya. Kadang-kadang perasaan itu diungkapkannya dengan menjadi rewel.
Bahkan, ada balita yang menunjukkan rasa empatinya kepada ibunya dengan memeluk erat-erat atau menggeser-geserkan kepalanya ke dada ibunya. Tergantung kepada siapa ia lebih dekat. Tetapi, biasanya anak usia balita lebih dekat kepada ibunya.
Ada beberapa batasan yang dapat membantu agar anak tak terlalu gelisah melihat pertengkaran orangtua. Anak usia balita seringkali berpikir dan percaya bahwa merekalah biang penyebab pertengkaran orangtua. Akibatnya anak akan merasa bersalah. Wajar saja jika mereka langsung berpikiran seperti itu. Pasalnya, daya pikir balita memang belum terlalu berkembang.
Mungkin saja, saat itu mereka sedang rewel, misalnya susah makan. Kebetulan, pada saat bersamaan, orangtuanya bertengkar. Akibatnya anak akan berpikir, "Oh, gara-gara saya susah makan, Papa dan Mama jadi bertengkar."
Bagi anak yang lebih besar, misalnya usia SD atau remaja, yang muncul biasanya adalah perasaan cemas kalau-kalau orangtuanya bercerai, sesuatu yang menakutkan bagi mereka. Mereka tak bisa membayangkan harus memilih ikut siapa, nanti bagaimana, dan sebagainya.
TOPIK TABU
Untuk menghindari hal tersebut di atas, saat bertengkar sebaiknya orangtua menghindari argumen yang bisa membuat anak-anak ketakutan atau gelisah. Tapi juga jangan berpura-pura, karena anak akan melihat kepura-puraan orangtua.
Jadi, pasangan sebaiknya mencoba mengembangkan pola adu argumentasi sedemikian rupa, sehingga mereka dapat melampiaskan apa yang mereka rasakan, tanpa membuat anak gelisah atau ketakutan. Ini sekaligus menjadi pelajaran bagi anak untuk tak perlu menahan perasaan, yang akhirnya justru bisa merugikan mereka sendiri. "Memang sulit, tapi bisa dilatih, kok," ujar Catherine.
Yang jelas, orangtua harus bisa menanamkan pengertian bahwa kemarahan dan pertengkaran itu tak merusak seorang pun. Termasuk tidak merusak kemitraan ayah dan ibu, sekaligus mengajarkan tentang arti perkawinan yang baik pada anak. Ini penting, agar anak tahu bahwa orangtuanya merupakan mitra yang baik. "Artinya, mengajarkan pada anak-anak bahwa perkawinan itu terdiri dari dua individu yang kadang-kadang berbeda pendapat dan pandangan, tapi punya relasi yang cukup kuat dan fleksibel," terang Catherine.
Nah, dimensi-dimensi inilah yang sebetulnya akan disampaikan kepada anak. Dengan begitu, anak-anak juga melihat ayah ibunya sebagai manusia biasa yang kadang-kadang dapat marah atau jengkel, tapi mereka juga tahu bahwa tali perkawinan ayah dan ibunya kuat. Dengan begitu, anak akan belajar bagaimana beradu argumentasi yang baik.
Bisa saja pertengkaran tak diselesaikan saat itu juga. Yang penting, anak-anak melihat bahwa pertengkaran orangtuanya tak menggelisahkan mereka. Pasangan perlu melatih diri dan meyadari, di depan anak mereka boleh bertengkar, tapi jangan keterlaluan. Untuk anak-anak yang punya rasa ingin tahu yang besar, tak ada salahnya orangtua menjelaskan kenapa dan mengapa mereka bertengkar.
Orangtua juga perlu berhati-hati saat bertengkar di depan anak. Topik-topik tertentu, seperti topik yang sangat serius tentang relasi perkawinan atau topik tentang kecemburuan, sebaiknya tak dipertengkarkan di depan anak. Pasalnya, anak bisa mempunyai persepsi yang salah tentang ayahnya. Misalnya, istri menuduh sang suami selingkuh. "Lantas, bagaimana penghargaan anak terhadap ayahnya? Pasti akan berkurang, kan," ujar Catherine.
Jika perlu, argumennya saja yang dilampiaskan saat itu, tapi isi pertengkaran dibicarakan di saat lain. Topik yang terus menerus dipertengkarkan juga akan membuat anak memiliki asosiasi menetap bahwa orangtuanya tidak cocok. Akibatnya, akan timbul kecemasan yang lebih mendalam pada anak.
Bertengkar sambil menggebrak meja, misalnya, juga tak baik bagi anak. Pasalnya, anak akan belajar dari apa yang dilihatnya. Ia pun akan meniru menggebrak meja ketika marah.
TEMPAT YANG PAS
Yang juga perlu diperhatikan adalah waktu dan tempat bertengkar. Waktu yang paling buruk untuk bertengkar adalah here and now, sekarang dan di sini. Pasalnya, itu berarti pertengkaran harus diselesaikan ketika emosi sedang tinggi-tingginya.
Saat yang juga kurang baik untuk bertengkar adalah sepulang dari kantor, atau saat makan. Saat yang paling tepat untuk bertengkar adalah saat dimana pasangan dapat memfokuskan pikiran dan energi pada masalah yang ada. Tempatnya tentu pasangan sendirilah yang tahu. Bisa saja di tempat tidur, di teras belakang rumah, atau di tempat-tempat lain di mana mereka bisa bicara sepenuhnya.
Upaya untuk menurunkan emosi juga bisa dilakukan dengan berbagai cara, tergantung masing-masing pasangan. Bisa dengan berkebun, main game di komputer, atau pergi dari rumah untuk sementara waktu. Tapi, pergi dari rumah (purik) untuk menghindari dan menyelesaikan konflik bukan hal yang tepat.
Ini juga sama tak efisiennya dengan diam seribu bahasa atau bersikap acuh tak acuh, dengan harapan suatu saat pertengkaran akan hilang sendiri. Diam berarti hilangnya komunikasi dan itu justru akan menggerogoti kelangsungan perkawinan.
Harus diingat, perkawinan adalah bertemunya dua individu dengan latar belakang, sejarah, pengalaman, dan keinginan yang berbeda. Nah, keinginan-keinginan, atau mungkin juga luka-luka lama yang perlu disembuhkan inilah yang perlu dikomunikasikan pasangan dalam ikatan perkawinan.
Menangis mungkin bisa menghentikan pertengkaran untuk sementara waktu, tapi tak akan menyelesaikan konflik. Menangis hanya akan menimbulkan rasa kasihan sebentar, sementara potensi konfliknya tetap ada. Ibaratnya, seperti hujan yang datang dan pergi. Sekarang reda, tapi suatu ketika pasti akan turun lagi. Yang paling tepat adalah, tetap harus berkomunikasi untuk menyelesaikan masalah.
Hasto Prianggoro