Menghadapi kasus yang Anda alami, saya selalu merasa tak nyaman dalam menawarkan solusi, karena ada konflik internal (dalam diri saya) antara nilai-nilai yang saya yakini tentang perkawinan dengan kenyataan yang ada dalam permasalahan yang dihadapi oleh Jeng S.
Saya percaya, perkawinan adalah sebuah ikatan emosional yang legal dan sah di mata ALLAH, yang makin lama makin terbukti merupakan pula sebuah wadah paling "sehat" bagi orang-orang yang terikat di dalamnya.
Sehat dalam arti mampu memberi peluang bagi suami dan istri untuk mengembangkan diri secara independen, tapi juga sekaligus memberi peluang kebersamaan yang kokoh yang senantiasa meberi kekuatan untuk mengatasi masalah, tidak sendirian, namun berdua.
Maka, inginnya sebisa mungkin mereka yang menikah itu tidak bercerai. Di sisi lain, memang ada kasus yang ditelaah dari sisi manapun, harapan untuk mempertahankan kelangsungan perkawinan sudah sangat tipis atau malah tak terlihat, seperti yang Anda alami.
Tentu saja, saya tidak memakai pendekatan seperti "ketik reg spasi..." yang bisa menerawang dari jauh. Tetapi, dengan 3 pertanyaan saja rasanya sudah cukup untuk itu.
Pertanyaan pertama, apakah Anda dan suami pernah duduk bersama membahas apa yang ingin dicapai bersama melalui perkawinan ini? Bahasa kerennya, apa visi yang ingin dicapai? Visi ini adalah sebuah cita-cita yang dijadikan satui tujuan untuk dicapai bersama.
Cinta? Sebenarnya cinta adalah faktor perekat yang pada awalnya berfungsi untuk mempercepat lekatnya dua orang yang pada dasarnya punya banyak perbedaan, sebanyak persamaan yang ada pada keduanya. Tetapi, cinta tak pernah cukup untuk bisa menjawab masalah perekawinan, Sayangku.
Setelah VISI, hal ke-2 yang harus ada adalah MISI, yakni cara yang disepakati akan membawa kita ke tujuan tadi. Bentuknya adalah batasan-batasan yang dibuat dan kemudian dihormati sehingga kita nyaman, dipahami, diperhatikan, demikian pula sebaliknya.
Supaya suami-istri bisa mengawal sikap dan perilakunya sesuai batasan yang dibuat, dibutuhkan komitmen sebagai landasan utamanya. Komitmen bukan sekedar janji, tetapi lebih merupakan kesediaan memikul konsekuensi daripada pilihan yang telah diambil
Anda pilih suami macam gitu, mestinya disertai kesediaan memikul tanggung jawab atas keputusan memilihnya. Jadi, bila ia sudah berkomitmen untuk memilih Anda sebagai istri, mestinya tak ada perempuan lain yang dia hamili, bukan?
Hal ke-3, adalah kejujuran dan keterbukaan yang akan melahirkan rasa hormat. Sayangnya, tanpa komitmen tak ada kebutuhan untuk memelihara kejujuran dan keterbukaan terhadap pasangannya. Respek tidak terbentuk, yang ada rasa takut saja, sehingga di belakangnya, apa-apa yang tak disukai pasangannya pasti akan didahulukan
Ayo kita lihat sejenak, saat menikah dengan Anda ternyata di hari yang sama pacarnya sedang aborsi. Mana mungkin ia akan jujur bercerita kepada Anda?
Dan telah kita ketahui, satu kebohongan harus selalu ditutupi oleh kebohongan lain yang kelak akan memunculkan kebutuhan untuk tidak ingin terlalu dekat dengan pasangannya, agar kebohongan tidak terbongkar. Tidak heran bila suami lalu tidak nyaman tinggal sekota dengan Anda, bukan?
Orang yang membaca kisah Anda mungkin akan bertanya setengah menyalahkan, kok, sudah tahu suami begitu, Jeng Sulung tetaaap saja mau berhubungan dengan suami?
Inilah masalahnya. Orang yang berniat positif, punya penghayatan peran sebagai suami atau istri yang juga berlandaskan nilai-nilai agama yang benar, tentu akan mencoba berlaku baik dan benar. Tapi, itulah rumitnya manusia, karena wadah yang namanya perkawinan ini pada hakekatnya harus dibina dua orang, tak akan berjalan bila hanya satu pihak saja yang berusaha.
Nah, di sinilah yang namanya penalaran harus segera kita jadikan hal utama dalam melihat seluruh permasalahan dan menekan emosi, apalagi rasa cinta (jika masih ada).
Harus dan harus Jeng Sulung akui, bila terus menjadikan emosi Anda sebagai panglima, maka suami akan mampu terus mengaduk kehidupan dan ketenangan batin. Jelas, sebagai laki-laki, dia punya citra diri yang buruk. Ciri utamanya adalah dia sendiri yakin, dirinya tidak punya kelebihan-kelebihan sehingga dia perlu melakukan hal-hal buruk agar tetap nyaman dengan dirinya.
Kok bisa? Ya, memang demikian adanya. Bila seseorang punya gambaran diri yang buruk, dia secara tidak sadar akan melakukan hal-hal buruk, agar lingkungan punya anggapan yang sama dengannya bahwa dia tidaklah pantas dihormati dan dihargai. Kemasannya yang lalu terlihat, bagaikan orang yang bertindak ngawur dan tidak berfikir panjang.
Perlu kesabaran dan kesediaan untuk membimbing pasangan seperti ini dan ingin kita bantu untuk berubah. Nah, ini yang pada hemat saya, tidak perlu Anda usahakan lagi, Jeng. Makin cepat Anda bisa memutuskan hubungan secara emosional, makin baik. Bila hati sudah bisa tertata rapih untuk tidak memberi celah lagi bagi bercokolnya suami di benak Anda, pasti lebih tenang dan dapat menyusun langkah yang lebih matang untuk kelak lepas dari ikatan perkawinan ini.
Salam sayang!