Orang tua adalah pemegang kendali. Nah, bagaimana jika si kecil justru berusaha mengendalikan kita dengan aksi-aksinya yang menentang?
Bisa-bisa Bapak dan Ibu akan sering mengalami "perang urat saraf" dengannya. Entah lantaran si kecil menolak makan, ogah mandi, maunya main terus, sampai mengamuk di mal karena permintaannya tak dipenuhi. Pendeknya, si kecil bertentangan terus dengan apa yang kita inginkan dia lakukan, sehingga amarah kita pun jadi terpancing. Tak jarang kita sampai kewalahan menghadapi sikap "melawan"nya itu.
Menurut Wieka Dyah Partasari, S.Psi., tingkah anak yang sepertinya menentang wibawa kita sebagai orang tua, lebih banyak disebabkan faktor bawaan. "Temperamen dasarnya si anak memang begitu. Biasanya disebut anak yang memiliki kemauan kuat atau juga anak sulit. Sejak bayi memang sudah nyusahin," tutur dosen pada Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya, Jakarta, ini. Jadi, tak heran bila anak tipe ini cenderung menentang otoritas ibu-bapaknya. "Orang tua akan selalu dihadapkan pada situasi dimana mereka seperti selalu dicoba oleh anak," lanjut Wieka. Anak juga punya kecenderungan besar untuk melihat, apakah ia bisa mengontrol situasi dan orang tua, bisa bertindak sesuai keinginannya atau tidak.
BUKAN CUMA SI SULIT
Biasanya, anak tipe sulit bisa dikenali dari pola tidur dan makannya. "Jika sejak kecil pola tidur dan makannya jelek, ke depannya biasanya menjadi anak yang sulit," tutur Wieka. Jika hal ini dibiarkan, maka tingkah anak akan semakin menjadi-jadi. Di usia 2 tahun, misalnya, ia bisa bertingkah hebat sampai orang tua tak bisa mengendalikannya. Sebaliknya, jika anak punya kebiasaan tidur atau makan yang baik, biasanya perilaku menentang baru mulai kelihatan saat anak berusia sekitar 15 bulan."
Namun jika orang tua tak segera menyadari, akibatnya sama saja, anak bisa menjadi raja atau ratu kecil di rumah." Bahkan, di usia 3 tahun, tingkahnya bisa sangat menyusahkan. Jadi, bukan hanya anak tipe sulit saja yang punya kecenderungan menentang otoritas orang tua, anak yang "manis" pun bisa. Pasalnya, terang Wieka, setiap orang memiliki need of power, yaitu suatu kebutuhan atau dorongan untuk berkuasa, untuk melakukan apa yang ia inginkan, dan menguasai orang lain. Nah, pada anak, ada saat dimana ia menjadi seperti raja atau ratu kecil. "Di masa ini, ada dorongan dalam diri anak untuk melakukan apa yang ia inginkan."
SENANG MENCOBA
Selain itu, anak sebetulnya juga ingin tahu siapa yang memegang peranan. "Bila orang tua kalah dan menyerah, maka anak bisa menjadi tak terkendali dan seenaknya sendiri," lanjut Wieka. Bahkan, potensi untuk merusak diri sendiri juga besar sehingga dapat membahayakan diri sendiri. "Kelak ia akan menjadi anak yang tak diterima di lingkungan sosialnya." Selain karena teman-temannya takut, juga karena memang tak ada yang mau main sama dia lantaran tingkahnya yang nyebelin. Di usia ini, anak juga lagi senang-senangnya mencoba-coba orang tua. Kalau kepada ibu tak bisa, maka ia akan "lari" kepada ayahnya.
Sebaliknya, ia akan "lari" kepada ibu karena kepada ayahnya enggak bisa. Misalnya, ia bisa mengamuk habis-habisan sama ibunya, tapi sama ayahnya, baru dilihat saja sudah takut. "Mungkin si ayah lebih punya cara yang efektif untuk menghentikannya. Misalnya, kalau menghukum, ya, betul-betul menghukum; sementara ibu mungkin cuma mengomel saja."
Tentunya faktor imitasi atau peniruan juga tak bisa diabaikan, karena di usia ini anak sedang berada dalam tahap meniru. "Ada, lo, anak kecil yang cukup peka melihat strata," ujar Wieka. Misalnya, anak melihat ibunya memerintah pembantu, "Oh, begitu cara Ibu menyuruh Mbak." Apalagi anak, kan, cepat belajar. Nah, bila reaksi pembantu tak setegas si ibu, anak akan melihat, "Wah, ini bisa dicoba, nih." Akibatnya, kepada pembantu pun, ia akan bersikap sama, menjadi raja/ratu kecil.
SI"MANIS" YANG MENGUNTUNGKAN
Faktor lingkungan juga bisa berpengaruh, lo," sambung Wieka. Memang, di usia ini sosialisasi anak masih lebih banyak di rumah, tapi dia, kan, bisa melihat dan meniru. Apalagi dalam proses peniruan, anak akan cenderung meniru dari figur yang ia kagumi atau figur yang ia tiru itu mendapat konsekuensi/ganjaran yang menguntungkan. "Anak juga akan melihat, kalau saya bereaksi begini maka akibatnya bagaimana." Jadi, bila anak yang cenderung "manis" berada di lingkungan kurang bagus, tapi orang tua tak mendidik dan tak punya disiplin yang konsisten, maka ia bisa berkembang tak optimal.