Namun begitu, menurut Wieka, orang tua yang punya anak "manis" akan lebih banyak diuntungkan. "Maksudnya, orang tua tak perlu terlalu banyak berusaha." Bahkan, dalam kondisi yang tak terlalu ekstrem pun, tambah Wieka, anak tetap bisa berkembang dengan baik. "Kecuali bila lingkungannya begitu buruk mempengaruhi anak." Misalnya, di lingkungan kumuh yang orang-orangnya suka ngomong kasar dan tak ada aturan yang jelas.
ORANG TUA PEMEGANG KENDALI
Kendati demikian, Bapak-Ibu tak perlu khawatir. Sekalipun si kecil bukan termasuk anak "manis", tak berarti selamanya ia akan menjadi anak sulit atau malah jadi pembangkang sampai besar. "Justru anak-anak yang memiliki kemauan kuat akan memiliki peluang untuk menjadi orang-orang besar," ujar Wieka.
Misalnya, jadi pemimpin. "Rata-rata pemimpin, kan, memang orang yang bertipe seperti ini, yang memiliki keinginan kuat dan ingin menguasai orang lain." Tapi tentu saja, anak harus diarahkan dengan benar agar potensinya bisa dioptimalkan. Misalnya, mengembangkan keterampilan dan hobi yang menguntungkan bagi anak. "Anak seperti ini, kan, energinya banyak. Kalau tak diarahkan, energinya bisa ke mana-mana yang enggak sesuai dengan apa yang kita harapkan," lanjut Wieka. Disamping itu, anak juga harus tahu bahwa yang memegang kendali adalah orang tua. Dengan begitu, anak akan merasa bahwa dia memang memerlukan seseorang yang memegang kendali atas situasi yang dialaminya.
Meskipun di satu sisi ada keinginan untuk mencoba dan bisa mengikuti kehendaknya, namun terkadang anak juga merasa tak berdaya dan merasa bahwa sebetulnya ia membutuhkan orang yang bisa memegang kendali. Itulah mengapa, Wieka menekankan, orang tua seyogyanya sudah tahu bahwa sejak awal merekalah yang harus memegang kendali. "Orang tua yang punya anak seperti ini harus sadar, mereka perlu menunjukkan pada anak bahwa merekalah yang memegang otoritas dan kontrol." Semakin dini malah semakin bagus, karena semakin anak besar akan semakin susah menghadapinya.
KONSISTEN DAN SEPAKAT
Tentu saja, untuk mengatasi sikap menentang pada anak, tak cukup hanya dengan menunjukkan siapa yang memegang kendali tapi juga penanaman disiplin. Soalnya, kata Wieka, sikap menentang juga berkaitan dengan cara orang tua mendisiplinkan anak. "Kalau orang tua enggak konsisten, misalnya, hari ini dibolehkan tapi besok dilarang, ya, anak juga enggak akan mau menurut."
Jadi, kalau tak ingin si kecil terus-menerus menentang, Bapak-Ibu harus konsisten terhadap aturan yang dibuat. Kalau memang tak boleh, ya, tak boleh. Kalau dia melanggar, berikan konsekuensinya. Jangan lupa, anak masih suka mencoba-coba, "Ah, kalau di rumah pasti dihukum. Kalau di mal dimarahin enggak, ya?" Akhirnya anak pun membuat ulah saat berada di mal. Nah, orang tua, kan, kadang mikir kalau harus memarahi anak ditengah keramaian. Akhirnya, ini dipakai jadi senjata oleh anak. Setiap diajak ke mal, ia lantas berulah. Untuk itu, kerja sama antara ayah dan ibu sangat diperlukan.
"Orang tua harus sepakat dalam menerapkan aturan. Jangan sampai ibu melarang, bapak malah membiarkan; atau sebaliknya. Karena pola pengasuhan yang tak konsisten hanya akan merusak anak," tutur Wieka. Akibat lain, anak akan tahu siapa pembelanya pada situasi-situasi tertentu. "Anak itu, kan, cepat belajar. Jika orang tua tak pernah sepakat, maka untuk urusan A, misalnya, anak akan 'lari' ke ayah atau untuk urusan B ia akan 'lari' ke ibu," lanjutnya.
Jadi, Bu-Pak, sejak awal Anda berdua sudah harus sepakat. Prinsip yang ingin diterapkan harus sama, karena anak akan cepat memanfaatkan apa yang dilihatnya. Hati-hati, lo, kecenderungan menentang bisa menetap sampai anak beranjak remaja. Jika sejak anak masih kecil, Bapak-Ibu sudah tak mampu mengontrolnya, maka akan lebih susah lagi waktu dia masuk usia remaja.
Hasto Prianggoro
MENGHINDARI AMUKAN SI KECIL DI MAL
Sebelum mengajak si kecil ke mal, saran Wieka, Bapak-Ibu sebaiknya membuat janji lebih dulu. Misalnya, "Kalau Ade menangis di mal, Ade harus tinggal di mobil." Dengan demikian, bagi anak tak ada area yang bebas untuk melakukan aksinya.
JANGAN ASAL MENGHUKUM
Kendati hukuman atau konsekuensi dibolehkan dalam rangka mengarahkan anak, namun Wieka minta agar orang tua tak asal memberikan hukuman, melainkan harus cukup signifikan. Artinya, perbuatan yang dilakukan anak dan konsekuensi yang diterimanya harus seimbang. "Jadi, anak bisa melihat langsung dampak perbuatannya dengan hukuman yang dia terima, sehingga hukuman pun menjadi efektif." Misalnya, si kecil terlalu lama menonton TV, lalu dihukum masuk kamar. "Ini nggak akan berpengaruh dibanding jika orang tua menghukum anak nggak boleh nonton TV selama seminggu, misalnya. Ia melihat bahwa konsekuensi dari perbuatannya berdampak tak mengenakkan baginya." Selain itu, orang tua juga harus membedakan antara menghukum dengan melampiaskan kemarahan. "Anak harus tahu bahwa orang tua menghukum karena ia memang malakukan sesuatu yang perlu hukuman, bukan karena orang tua marah atau membencinya," lanjut Wieka. Orang tua juga harus menunjukkan bahwa mereka tetap sayang pada anak walaupun anak dihukum. Begitu pula penjelasan kenapa anak dihukum, sangat perlu. Untuk itu, orang tua perlu menyadari, apakah hukuman tersebut sebagai pelampiasan kemarahannya atau upaya mendisiplinkan anak. Namun begitu, lanjut Wieka, orang tua juga perlu bersikap luwes untuk hal-hal yang tak begitu prinsip dan tak terlalu membahayakan anak. Artinya, konsekuensi yang diberikan tak begitu berat. "Orang tua perlu fleksibel agar enggak capek. Orang tua, kan, juga perlu mengatur energi untuk mengatur anak." Jadi, kalau enggak terlalu melanggar atau berbahaya, orang tua masih bisa kompromi. Ya, tarik-ulurlah, Bu-Pak, supaya enggak tegang terus.