Si Kecil Yang Pasif

By nova.id, Minggu, 12 September 2010 | 17:09 WIB
Si Kecil Yang Pasif (nova.id)

Jangan sepelekan kepasifan pada diri anak. Segera cari tahu penyebabnya. Salah satunya ialah kesalahan orang tua juga. 

Usia batita kadang menjadi masa "menjengkelkan" bagi orang tua. Karena di usia ini umumnya si kecil banyak tingkah, suka mengganggu, berlarian ke sana ke mari, dan susah diatur. Nag, bagaimana jika yang terjadi sebaliknya? Dengan kata lain, si kecil bukannya aktif, tapi malah cenderung pasif.

Menurut Dra. Betty D.K. Zakianto, Mpsi dari Fakultas Psikologi UI, aktif tidaknya seorang anak sangat dipengaruhi oleh perkembang emosi yang terjadi pada dirinya. Perkembangan emosi ini akan berpengaruh pada bagaimana anak menyesuaikan diri terhadap lingkungan sosialnya. "Anak akan belajar, emosi mana yang bisa diterima oleh lingkungannya dan mana yang tidak. Jika ia memiliki pengalaman emosi yang tak menyenangkan, maka biasanya ia tak akan mengulanginya," terangnya. \

KEMATANGAN DAN PROSES BELAJAR

Pada usia batita, tutur Betty, emosi yang timbul adalah perasaan takut dan marah. Bentuk ketakutan pun bisa bermacam-macam seperti perasaan khawatir, malu,cemas, menarik diri, maupun pasif dan pendiam. "Perasaan takut bisa disebabkan oleh lingkungan rumah yang tak pernah memberi kesempatan padanya, sehingga akhirnya ia tak mau mencoba. Sedangkan perasaan marah biasanya ada kaitannya dengan sikap agresivitas, impulsife, ataupun meledak-ledak. Biasanya perekmabang emosi dikendalikan oleh kematangan dan proses belajar.

"Semakin bertambah usia anak, diharapkan ia semakin bertambah matang dan mengerti apa yang diharapkan lingkungan," lanjut staf pengajar di bagian psikologi pendidikan ini. Sedangkan dalam gal belajar, anak belajar melalui 4 cara. Yang pertama, lewat uji coba atau trial and error. Berikutnya melalui imitasi atau modeling. Misalnya mencontoh perilaku orang tua, kakak, atau teman. Selanjutnya, melalui identifikasi. Anak berperilaku seperti orang yang ia sukai. Misalnya ibu, atau ayah. Disamping, anak juga belajar melalui conditioning. Ini berkaitan dengan asosiasi. Misalnya ibu akan marah kalau saya berperilaku tak baik. Yang terakhir, anak belajar melalui training atau latihan.

CARI PENYEBABNYA

Nah, pada anak yang pasif, pendiam atau menarik diri, saran Betty, sebaiknya ditelusuri, "jangan-jangan ada perkembangan emosi yang tak sehat." Karena anak yang pasif atau penurut bisa saja disebabkan karena ada hal yang berhubungan dibaliknya. Misalnya, ada kekhawatiran pada suatu hal. Masalah kesehatan yang dialami anak juga bisa membuatnya bersikap menarik diri ataupun pasif.

"Bila ia kurang gizi, maka ia cenderung akan menjadi pasif dan tak ingin bereksplorasi," ujar Betty. Iklim rumah pun bisa menjadi salah satu penyebab, yaitu yang berkaitan dengan hubungan antara anak dan orang tua atau orang lain yang dekat dengannya. "Apakah hubungannya cukup harmonis? Kalau tidak, misalnya terlalu dikekang atau overprotective, maka bisa saja anak menjadi pemalu atau pendiam." Sebaliknya, anak yang terlalu ditelantarkan biasanya akan menjadi agresif. Penyebab lainnya adalah aspirasi orang tua yang terlalu tinggi. "Kadang hal ini membuat anak jadi serba salah. Ia selalu merasa feeling guilty. Apa yang dilakukannya dirasakan salah karena orang tuanya selalu mengkritik apa yang ia lakukan. Akhirnya anak pun akan diam atau menjadi pemurung. Kurangnya bimbingan dari orang tua atau orang-orang yang dekat dengan anak pun bisa menjadi penyebab lain. Misalnya, anak tak tahu bagaimana menghadapi teman atau memakai baju, sehingga membuatnya kerap frustasi.

MENJADI TAK POPULER

Emosi yang tidak muncul, seperti menarik diri dari lingkungan ataupun pendiam, menurut Betty, merupakan gangguan penyesuaian diri dan social yang dialami anak. "Anak yang selalu tampak sedih atau grief biasanya karena ia ditinggal ibunya atau orang-orang yang dekat dengannya." Ekspresi sedih ini bisa kelihatan, bisa juga tidak.

"Kalau kelihatan biasanya ia akan sering menangis.Namun, kalau tidak, akan muncul dalam gejala tak nafsu makan, tak bisa tidur atau cuek dengan lingkungannya." Anak yang pemalu, pasif atau menarik diri akibat penyesuaian diri yang kurang, nantinya cenderung tak akan memiliki achievement yang tinggi. Prestasinya di bawah potensinya, ia juga takut mencoba sesuatu yang baru. Buntutnya, ia menjadi anak yang tak popular. Anak juuga akan menjadi takut berbicara kepada orang lain, sehingga orang pun akan malas bicara kepadanya. Ia juga akan menjadi rendah diri. "Ini berkaitan dengan adanya penilaian orang lain pada si anak. Misalnya, 'Kok anak ini diam terus.' Akibatnya, ia pun akan menilai dirinya sendiri tak mampu.

EKSPLORASI SANGAT PENTING

Kondisi yang turut menyumbang sehat-tidaknya perkembangan emosi anak adalah lingkungan. Walaupun sebenarnya setiap anak membawa karakter masing-masing, namun lingkungan pun bisa membentuk anak. Jika lingkungan tersebut membantu anak menumbuhkan emosi yang sehat, misalnya dengan memberi kesempatan anak bereksplorasi, maka anak juga akan berkembang sesuai yang diharapkan lingkungan. Demikian sebaliknya, kalau lingkungan tak mendukung, maka berakibat anak tak mau mencoba sesuatu yang baru. Setiap anak, tutur Betty, punya tugas perkembangan.

"Pada anak batita, salah satunya adalah perkembangan emosi. Perkembangan tersebut dilalui, misalnya, dengan eksplorasi dan eksploitasi." Nah, agar anak tumbuh sesuai dengan pertumbuhan yang diharapkan, ia harus menjalani tugas perkembangan tersebut. Jika tugas perkembangannya terhambat, dikhawatirkan akan berpengaruh bagi perkembangan anak selanjutnya. Eksplorasi, terang Betty, penting bagi perkembangan emosi anak karena membantu anak mencapai tugas perkembangannya. Itulah mengapa anak harus diberi kesempatan untuk bereksplorasi. Apalagi di usia ini, rasa ingin tahu anak sedang tinggi. "Yang terjadi, kadang-kadang justru orang tua melarang anaknya melakukan sesuatu hal dengan alasan khawatir anaknya jatuh atau cedera."

TERGANTUNG FREKUENSINYA

Soal wajar-tidaknya perkembangan emosi anak bisa dilihat dari intensitas dan frekuensi kejadiannya. "Kalau anak terus menerus diam atau murung atau tak pernah membangkang padahal di usia ini seharusnya keiingintahuannya besar, maka harus dipertanyakan." Namun demikian tak bisa dipukul rata. "Kalau cuma satu atau dua kali kejadiannya, bisa saja karena ia sedang capek." Lain halnya jika kejadian ini menetap. Hanya, yang juga perlu diketahui, perpindahan emosi anak di usia ini biasanya berlangsung cepat.

"Bisa terjadi anak yang baru saja menangis, sesaat kemudian sudah tertawa-tawa." Hal ini masih dinilai wajar karena kematangan intelegensia anak memang belum matang. Namun demikian, orang tua tetap bisa mendeteksi karakter atau emosi yang sedang terjadi pada anak melalui perilakunya. Misalnya, emosi yang tak langsung tapi menggambarkan anak sedang sedih atau ada sesuatu yang ia pikirkan bisa ditunjukkan dengan suka melamun, malas, gagap, gugup, atau sering mengisap jempol.

Sekali lagi, tandas Betty, itu harus dilihat frekuensinya, sehingga stimulus dan respon pun harus sesuai. "Kadang stimulus nya sederhana, tapi responnya berlebihan. Ini yang harus dikhawatirkan. Untuk mengantisipasi hal itu, yang harus dilakukan orang tua adalah memberi rasa aman pada anak. Selain tentunya memberi kesempatan pada anak untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi dunianya.

"Memang, banyak orang tua yang khawatir, takut anaknya jatuh atau cedera. Tapi orang tua tentu juga tahu batas-batasnya. Kalau yang membahayakan, ya, tak usah diperbolehkan." Yang dibutuhkan adalah bagaimana membuat anak seimbang, yakni menciptakan kondisi lingkungan yang benar-benar membuat anak siap dan tahu bagaimana harus bersikap supaya diterima oleh lingkungannya. Sebab, terkadang orang tua tak sabar. Mereka lebih senang kalau anak melakukan sesuatu seperti yang mereka harapkan, tapi tak selalu siap untuk memberi kesempatan anak mengembangkan minatnya. "Umumnya orang tua cenderung lebih senang hasilnya daripada prosesnya." Nah, Bu-Pak, sudah tahu, kan, apa yang harus dilakukan jika si kecil bersikap pasif?  

 Hasto Prianggoro/nakita