Mengatasi Anak Cengeng

By nova.id, Senin, 7 Juni 2010 | 17:07 WIB
Mengatasi Anak Cengeng (nova.id)

Anak menangis tentu boleh. Tapi kalau sedikit-sedikit menangis,siapa, sih yang enggak jengkel. Tapi apa sebetulnya penyebabnya dn bagaimana mengatasinya?

"Heran, deh, ini anak. Sedikit-sedikit nangis, sedikit-sedikit nangis. Apa, sih, maunya!" tukas seorang ibu dengan nada kesal sambil menggendong putranya yang berusia 2 tahun.

Memang, tak jarang kita jumpai anak usia batita yang gampang sekali mengeluarkan air mata. Entah karena ditinggal pergi ibu, permintaannya tak dituruti, atau bahkan tanpa alasan yang jelas dan kuat (cuma kesenggol atau jatuh sedikit). "Nah, anak yang demikian kerap kali dibilang anak cengeng," ujar Dra. Rose Mini Adi Prianto, MPsi atau kerap disapa Romy dari Fakultas Psikologi UI.

Menangis, terang Romy, merupakan salah satu bentuk ekspresi. Jadi, boleh-boleh saja anak menangis asalkan sesuai dengan permasalahannya. Misalnya ia jatuh lalu menangis. "Itu logis dan wajar, karena sesuai stimulusnya. Mana ada, sih, anak batita yang jatuh dan berdarah tapi nggak menangis?" tutur staf pengajar di jurusan Psikologi Pendidikan ini.

Tapi kalau sedikit-sedikit menangis? "Ya, orang tua harus mencari duduk permasalahannya dan mengubah atau memperbaiki penyebabnya. Bukan cuma menghilangkan tangisnya saja!" tegas Romy.

MANJA

Sebetulnya, lanjut Romy, masalah utama mengapa anak menjadi cengeng adalah karena ia tak punya cara lain untuk mengungkapkan perasaannya atau dirinya. "Biasanya karena ia tak punya atau tak diberi keahlian dalam berbicara." Itulah mengapa anak harus diajarkan keterampilan berbicara, yakni dengan cara mengajaknya berbicara. "Kadang memang ada orang tua yang menganggap hal ini tak perlu. Dipikirnya, anak, toh, tak mengerti apa-apa. Padahal sebetulnya anak itu kalau diajak bicara akan bisa, meskipun kemampuan otaknya belum optimal."

Faktor lain, lanjut direktur utama ESSA Consulting Group ini, anak menjadi cengeng lantaran ingin mendapatkan perhatian orang tua atau lingkungan sekitarnya. "Kalau dia nangis, otomatis orang di dekatnya akan meliriknya. Orang tua akan segera menghampirinya. Begitu, kan?" Meskipun orang tua juga tak tahu apa yang sebetulnya diinginkan si anak. Karena pada saat menangis, si anak tentu akan sulit bicara untuk mengekspresikan apa yang diinginkannya.

Selain itu, tambah Romy, anak yang biasa dimanja juga bisa menjadi cengeng. Soalnya, apa yang diinginkan selalu dituruti. Nah, begitu kemauannya tak dituruti, mulailah ia merengek-rengek dan menangis. "Mestinya orang tua tetap konsisten. Kalau memang tidak boleh, ya, tidak boleh, kendati si anak menangis." Bila anak terbiasa diberikan segala sesuatu yang diinginkan, maka akan sulit mengubahnya. "Semua yang diinginkan harus cepat ada dan instan. Anak tak tahu cara lain kecuali menangis. Orang tua pun tak mendidik anaknya untuk matang." Itulah mengapa anak yang cengeng dapat dikatakan immature atau tidak matang.

HINDARI PUKULAN

Kalau anak sudah cengeng, yang kemudian terjadi adalah orang tua jadi tak sabaran. Akibatnya, si anak dimarahi atau bahkan dicubit atau dipukul. Mendapat perlakuan seperti itu, tangis si anak bukannya reda malah semakin "seru". Menurut Romy, saat dicubit atau dipukul, "Anak mungkin bisa berhenti menangis. Tapi kali lain, jika tingkah laku itu muncul lagi dan ia mendapat cubitan atau pukulan lagi, tangis anak akan lebih keras lagi."

Dengan kata lain, ada peningkatan dalam perilaku menangisnya dan bukan malah mereda. Mengapa begitu? Sebab anak akan belajar, kalau dia menangis dan dicubit, maka tangisnya harus lebih keras. Akibatnya, orang tua memberinya hukuman yang lebih berat lagi. Cubitan atau pukulan orang tua menjadi semakin keras.