Jadi, begitu datang untuk program hamil, si wanita akan diperiksa kandungannya oleh dokter ahli kebidanan dan kandungan: apakah siklus haidnya mengeluarkan telur atau tidak? Pemeriksaan bisa dilakukan lewat USG serial (paling tidak 3 kali), yaitu pada hari ke-12, 14, dan 16 siklus haidnya, untuk dilihat perkembangan telurnya. Bila tak ada berarti tak berovulasi.
Cara lain dengan mengukur suhu basal tubuh. Bila polanya menunjukkan grafik bifastik atau melewati 2 puncak, berarti ada ovulasi. "Pagi hari, sebelum bangkit dari tempat tidur ukur suhu badan tubuh. Sebelum masa subur, progesteron akan naik, setelah masa subur dia turun. Bila polanya memperlihatkan dua bukit turun naik, berarti menunjukkan pola bifastik," tutur Andon.
Bisa juga dengan mengambil lapisan dalam rahim lewat biopsi endometrium, yaitu mengambil jaringan endometrium untuk dilihat apakah sudah ada tanda-tanda fase sekresi/ovulasi atau belum.
Sementara untuk pria, akan diperiksa kadar spermanya di laboratorium oleh dokter androlog. Bila spermanya ada masalah, misal, jumlahnya kurang, akan dilakukan pemeriksaan hormon dan jaringan testis dengan cara biopsi. "Jika testisnya normal, artinya ada sel sperma yang bisa berkembang, hanya kadarnya rendah atau kurang hormonnya, maka akan dilakukan terapi hormon," bilang Tri Bowo pula.
DENGAN PEMICU KESUBURAN
Setelah yakin hormonnya terganggu, terapi mulai dijalankan. Pada wanita, diawali dengan diberikan obat anti hormon estrogen atau obat pemicu kesuburan, untuk memicu pengeluaran FSH. "Obat ini dimakan pada hari ke-3, 4, dan 5 siklus haidnya, karena hormon baru tinggi setelah hari ke-3. Saat inilah hormon FSH dipicu," jelas Andon. Cara ini dicoba selama 6 kali siklus.
Jika dengan pemicu kesuburan ini tetap tak manjur, berarti dosisnya kurang tinggi dan perlu distimulus dengan hormon dari luar. Meski, dalam menggunakan obat pemicu kesuburan ini pun, dosisnya selalu dinaikkan. "Pertama akan diberikan 1 x 50 mg selama 2 bulan. Bila tak ada perkembangan, diberikan lagi 2x50 mg pada dua bulan berikutnya. Bila tak berhasil juga, 2 bulan kemudian dinaikkan lagi jadi 3x50 mg. Jika selama 6 bulan itu belum juga terbentuk ovulasi, barulah diputuskan untuk diberikan hormon dari luar."
Suntikan hormon ini dilakukan pada hari ke-6 sampai ke-10 siklus haid, yaitu berupa suntikan hormon FSH atau gabungan antara FSH-LH. "Tergantung dokternya mau pakai yang mana. Namun yang paling sering hanya suntikan hormon FSH. Sebab, diketahui hormon LH tak boleh tinggi-tinggi karena malah menyebabkan folikel tak pecah-pecah, hingga tak usah dipakai LH." Suntikan hormon ini dilakukan setiap hari. "Itulah yang menyusahkan kaum ibu, karena harus datang untuk suntik tiap hari. Belum lagi harganya yang cukup mahal," tutur Andon.
Pada hari ke-10 akan dievaluasi perkembangan folikelnya, apakah sudah membesar atau belum. Diameter folikel yang hampir pecah biasanya mencapai 18-20 mm. Jika ternyata belum juga membesar, terapi diulang lagi pada siklus haid berikutnya dengan dosis yang ditambah. Di awal terapi, dosis yang diberikan adalah 75 IU. Pada terapi yang kedua, dosisnya dinaikkan jadi 150 IU.
Bila folikelnya sudah membesar, akan disuntik hormon lagi, yaitu hormon hCG (human Chorionic Gonadotropin), dengan harapan folikelnya bisa pecah. "Kita harapkan folikel itu pecah dalam waktu 36 jam. Itulah mengapa, saat pecah ini, diharapkan sperma suami juga siap diinseminasi."
Jika dengan terapi hormon ini juga gagal, maka terapi akan dilakukan dengan cara benar-benar dimanipulasi dari awal. "Jadi, hormon alamiahnya dihilangkan sama sekali atau diblok dulu, kemudian baru dimanipulasi dari luar dengan diberikan hormon GnRH yang benar-benar mirip hormon yang ada dalam tubuh. Setelah itu dilihat perkembangan pertumbuhan folikelnya," lanjut Andon.
DARI AIR KENCING