Pada pria, terapi ini dilakukan bila spermanya abnormal. Sedangkan untuk wanita, jika tak ada ovulasi.
Belakangan ini marak dibicarakan di kalangan artis, penggunaan terapi hormon dalam upaya mereka untuk mendapatkan momongan. Keberhasilan artis Dewi Gita, misal, yang katanya setelah melakukan terapi ini, memicu sejumlah rekan seprofesinya untuk meniru langkahnya.
Memang, ungkap dr. Tri Bowo Hasmoro, terapi hormon dilakukan untuk mengatasi gangguan ketidaksuburan dengan cara penambahan hormon dari luar, bila hormon yang mengatur fungsi reproduksi dalam tubuh manusia mengalami gangguan. Adapun kasus yang menyebabkan dilakukannya terapi ini bila hormon yang menghasilkan FSH (Follicle Stimulating Hormone) dan LH (Luteinezing Hormone) di dalam tubuh kurang. Soalnya, kekurangan hormon ini membuat infertilitas (tak subur), baik pada pria maupun pada wanita. Pada pria akan mempengaruhi jumlah sperma, sedangkan pada wanita menyebabkan gangguan pembentukan ovulasi/sel telur.
Dengan demikian, terapi hormon bukan hanya dilakukan pada wanita, tapi juga pria. Bukankah andil untuk memiliki anak, 50 persen berasal dari wanita dan 50 persen berasal dari pria? "Jadi, bila tak kunjung punya anak, bisa saja yang punya masalah infertilitas itu hanya pada si pria atau si wanita, atau malah kedua-duanya," tambah androlog dari RSIA Hermina Jatinegara ini.
SPERMA ABNORMAL
Seperti diketahui, fungsi reproduksi manusia berada dalam kendali hormon. Kelenjar hipotalamus yang berada dalam otak kita menghasilkan hormon GnRH (Gonadotrophin Releasing Hormone) yang merangsang hipofisa untuk menghasilkan hormon FSH dan LH.
Pada wanita, FSH dan LH akan merangsang indung telur (ovarium) hingga terjadi pertumbuhan dan pematangan folikel (kantung telur), yang akhirnya diikuti ovulasi atau keluarnya sel telur. Pada pria, FSH merangsang sel sertoli yang terdapat dalam buah zakar/testis. Sel sertoli inilah yang memberikan makanan pada bakal sperma/germ sel supaya sperma berkembang normal. Sementara LH merangsang sel leydig untuk menghasilkan hormon testosteron yang berguna bagi perkembangan seks sekunder, seperti pertumbuhan bulu kemaluan, rambut, kumis, dan lainnya. Selain juga berfungsi untuk mematangkan sperma.
Nah, sperma pada pria dan sel telur pada wanita diperlukan untuk terjadinya pembuahan. Sperma berada dalam air mani. Sperma yang normal mempunyai kepala, ekor, dan bergerak sangat cepat; jumlahnya ada 2-5 ml atau 40-100 juta sperma, pH-nya antara 7-8, viskositas/kekentalannya normal, tak kental tapi encer seperti air biasa, dan warnanya putih seperti mutiara. Dengan demikian, bila jumlah sperma kurang dari jumlah normal, misal, hanya 10 atau 5 juta, maka yang bersangkutan perlu diperiksa hormon FSH, LH, atau testosteronnya untuk mengetahui normal-tidaknya. Bila benar spermanya abnormal, barulah dilakukan terapi hormon.
Pada wanita, terapi hormon dilakukan bila tak ada ovulasi (anovulasi). "Hormon FSH pada wanita berfungsi merangsang pertumbuhan dan pematangan folikel yang terdapat di indung telur. Folikel ini akan membesar hingga berdiameter 18-20 mm, yang selanjutnya akan dirangsang oleh LH untuk pecah dan mengeluarkan sebuah telur yang siap dibuahi," papar dr. Andon Hestiantoro, SpOG dari RSUPN Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Jadi, bila folikelnya tetap kecil, perlu campur tangan dari luar, berupa pemberian hormon FSH atau LH agar kerja hormon kembali normal dan folikelnya bisa tumbuh kembang dengan baik. "Sebab, folikel tak tumbuh bisa karena hormonnya mengalami kekurangan atau kerja hormonnya kurang baik,"
DIPERIKSA DAHULU
Meski terapi ini dilakukan bagi yang ingin punya anak, tak berarti semua kasus infertilitas bisa diatasi dengan terapi hormon, lo. Bukankah penyebab infertilitas amat banyak? "Terapi hormon hanya dilakukan bila koordinasi atau produksi hormonnya kurang baik," tegas Andon.
Pun untuk pria, sambung Tri Bowo, "harus diyakini benar bahwa memang betul diagnosanya karena adanya gangguan hormon, bukan karena kerusakan testis yang permanen semisal testis kena tumor atau bekas operasi. Kalau hal ini yang terjadi, tak ada gunanya diberikan terapi hormon."
Jadi, begitu datang untuk program hamil, si wanita akan diperiksa kandungannya oleh dokter ahli kebidanan dan kandungan: apakah siklus haidnya mengeluarkan telur atau tidak? Pemeriksaan bisa dilakukan lewat USG serial (paling tidak 3 kali), yaitu pada hari ke-12, 14, dan 16 siklus haidnya, untuk dilihat perkembangan telurnya. Bila tak ada berarti tak berovulasi.
Cara lain dengan mengukur suhu basal tubuh. Bila polanya menunjukkan grafik bifastik atau melewati 2 puncak, berarti ada ovulasi. "Pagi hari, sebelum bangkit dari tempat tidur ukur suhu badan tubuh. Sebelum masa subur, progesteron akan naik, setelah masa subur dia turun. Bila polanya memperlihatkan dua bukit turun naik, berarti menunjukkan pola bifastik," tutur Andon.
Bisa juga dengan mengambil lapisan dalam rahim lewat biopsi endometrium, yaitu mengambil jaringan endometrium untuk dilihat apakah sudah ada tanda-tanda fase sekresi/ovulasi atau belum.
Sementara untuk pria, akan diperiksa kadar spermanya di laboratorium oleh dokter androlog. Bila spermanya ada masalah, misal, jumlahnya kurang, akan dilakukan pemeriksaan hormon dan jaringan testis dengan cara biopsi. "Jika testisnya normal, artinya ada sel sperma yang bisa berkembang, hanya kadarnya rendah atau kurang hormonnya, maka akan dilakukan terapi hormon," bilang Tri Bowo pula.
DENGAN PEMICU KESUBURAN
Setelah yakin hormonnya terganggu, terapi mulai dijalankan. Pada wanita, diawali dengan diberikan obat anti hormon estrogen atau obat pemicu kesuburan, untuk memicu pengeluaran FSH. "Obat ini dimakan pada hari ke-3, 4, dan 5 siklus haidnya, karena hormon baru tinggi setelah hari ke-3. Saat inilah hormon FSH dipicu," jelas Andon. Cara ini dicoba selama 6 kali siklus.
Jika dengan pemicu kesuburan ini tetap tak manjur, berarti dosisnya kurang tinggi dan perlu distimulus dengan hormon dari luar. Meski, dalam menggunakan obat pemicu kesuburan ini pun, dosisnya selalu dinaikkan. "Pertama akan diberikan 1 x 50 mg selama 2 bulan. Bila tak ada perkembangan, diberikan lagi 2x50 mg pada dua bulan berikutnya. Bila tak berhasil juga, 2 bulan kemudian dinaikkan lagi jadi 3x50 mg. Jika selama 6 bulan itu belum juga terbentuk ovulasi, barulah diputuskan untuk diberikan hormon dari luar."
Suntikan hormon ini dilakukan pada hari ke-6 sampai ke-10 siklus haid, yaitu berupa suntikan hormon FSH atau gabungan antara FSH-LH. "Tergantung dokternya mau pakai yang mana. Namun yang paling sering hanya suntikan hormon FSH. Sebab, diketahui hormon LH tak boleh tinggi-tinggi karena malah menyebabkan folikel tak pecah-pecah, hingga tak usah dipakai LH." Suntikan hormon ini dilakukan setiap hari. "Itulah yang menyusahkan kaum ibu, karena harus datang untuk suntik tiap hari. Belum lagi harganya yang cukup mahal," tutur Andon.
Pada hari ke-10 akan dievaluasi perkembangan folikelnya, apakah sudah membesar atau belum. Diameter folikel yang hampir pecah biasanya mencapai 18-20 mm. Jika ternyata belum juga membesar, terapi diulang lagi pada siklus haid berikutnya dengan dosis yang ditambah. Di awal terapi, dosis yang diberikan adalah 75 IU. Pada terapi yang kedua, dosisnya dinaikkan jadi 150 IU.
Bila folikelnya sudah membesar, akan disuntik hormon lagi, yaitu hormon hCG (human Chorionic Gonadotropin), dengan harapan folikelnya bisa pecah. "Kita harapkan folikel itu pecah dalam waktu 36 jam. Itulah mengapa, saat pecah ini, diharapkan sperma suami juga siap diinseminasi."
Jika dengan terapi hormon ini juga gagal, maka terapi akan dilakukan dengan cara benar-benar dimanipulasi dari awal. "Jadi, hormon alamiahnya dihilangkan sama sekali atau diblok dulu, kemudian baru dimanipulasi dari luar dengan diberikan hormon GnRH yang benar-benar mirip hormon yang ada dalam tubuh. Setelah itu dilihat perkembangan pertumbuhan folikelnya," lanjut Andon.
DARI AIR KENCING
Pada pria pun hormon diberikan melalui suntikan. Hormonnya tergantung kebutuhan, mana yang kurang. Namun umumnya diberikan kombinasi hormon FSH dan LH. "Selain hormon tersebut sebetulnya ada hormon prolaktin, yang bila produksinya tinggi, pada pria akan berpengaruh terhadap hormon gonadrotopin, hingga secara tak langsung akan menghambat pembentukan sperma. Nah, untuk kasus ini akan diberikan obat anti prolaktinnya, yaitu bromocriptine," tutur Tri Bowo.
Sedangkan untuk FSH dan LH, karena obat-obatan untuk suntikan hormon ini tak ada yang murni mengandung FSH atau LH, digunakanlah hCG/ human Chorionic Gonadotropin (berasal dari air kencing ibu hamil) yang punya efek seperti LH atau hMG/human Menopouse Gonadrotopin (berasal dari air kencing wanita pasca menopouse) sebagai pengganti FSH.
Suntikan hormon pada pria bisa dilakukan kapan saja, tak seperti pada wanita yang harus diberikan saat siklus haidnya. Umumnya, suntikan diberikan 2 hari sekali, tergantung dari konsentrasi kerja hormon yang diberikan. "Masa kerja suntikan hormon ini, kan, umumnya antara 3-7 hari. Jadi, sebelum hormon ini turun, kita harus berikan lagi. Dengan demikian, bila hCG-nya diberikan Senin, Rabu, Jumat, maka hMG-nya diberikan Selasa-Kamis."
Setiap 1-1,5 bulan akan dievaluasi adakah perkembangannya atau tidak. Bila setelah 3 bulan masih minimal juga, akan diteruskan untuk satu siklus lagi (1 siklus pembentukan sperma = 3 bulan). "Untuk mengetahui sudah bagus atau tidak, bisa melalui pemeriksaan sperma atau ditambah pemeriksaan hormon. Pemeriksaan sperma harganya lebih murah dibanding pemeriksaan hormon. Pemeriksana hormon bisa mencapai Rp 500-600 ribu. Kalau pemeriksaan sperma paling hanya Rp 50 ribu."
Biasanya pemeriksaan sperma dilakukan 2 kali selang dua minggu, supaya didapat pemeriksaan yang akurat apakah benar atau tidak sperma yang didapat memang segitu. Juga untuk menyiapkan buah zakar agar berproduksi kembali. "Syarat untuk pemeriksaan sperma, tak boleh berhubungan selama minimal 3 hari dan maksimal 7 hari," lanjut Tri Bowo.
INSEMINASI
Setelah terapi berhasil, yaitu sperma atau sel telurnya bagus, akan berlanjut ke program inseminasi. "Jika terapi ini hanya dilakukan pada suami, maka saat spermanya sudah bagus, sel telur si istri harus sudah siap. Jika tidak, sayang sekali, sudah susah payah diobati, eh, istrinya tak siap," tutur Tri Bowo.
Pun sebaliknya, jika yang menjalani terapi ini sang istri, maka saat folikel membesar dan mengeluarkan sel telur, sperma suami juga sudah harus dalam keadaan siap. Tentunya syarat bisa dilakukan program inseminasi adalah saluran telur si istri dalam keadaan bagus dan tak ada sumbatan.
Jika program inseminasi tak bisa dilakukan semisal ada sumbatan di saluran telur, akan dilanjutkan dengan program bayi tabung. Sel telur dan sperma diambil dan dipertemukan di luar, setelah tumbuh dimasukkan ke dalam tabung. "Itulah mengapa sering dikatakan, terapi hormon ini adalah langkah awal dari program bayi tabung."
Baik Andon maupun Tri Bowo menyarankan, sebaiknya terapi dilakukan sedini mungkin. "Kalau masih muda, fungsi dari sel-sel tubuh masih bagus, hingga responnya juga masih bagus."
Jadi, setelah setahun menikah dengan hubungan yang teratur, tak menggunakan kontrasepsi, dan tak ada masalah dengan siklusnya, tapi belum juga kunjung hamil, sebaiknya suami-istri periksa ke dokter dan jangan ditunda lagi. Selama dilakukan terapi, tak ada larangan untuk melakukan hubungan seks.
KEHAMILAN GANDA
Menyoal dampaknya, menurut kedua dokter ini, dalam jangka pendek ialah alergi. "Bila alerginya sangat berat, biasanya dosisnya akan dikurangi atau terapinya dihentikan." Walau begitu, pasien tak perlu takut karena kemungkinan ini sangat kecil.
Untuk wanita, hasil terapi ini juga bisa mengakibatkan kehamilan ganda/kembar. Kadang juga bisa membawa efek samping berupa sindrom hiperstimulasi ovarium dengan gejala: perut tegang, rasa mual, diare, atau ada cairan asites/cairan perut yang sangat banyak hingga terasa kembung. Bila tingkatnya sangat berat, bisa membuat darah jadi kental, gagal ginjal, serta faktor pembekuan darah terganggu. Jika sudah berat demikian, terapi sebaiknya dihentikan.
Sementara itu, karena terapi hormon sama saja dengan memanipulasi ovarium, maka bila manipulasi berlebihan dan dalam jangka panjang akan menyebabkan kanker ovarium. "Walaupun hal ini masih jadi perdebatan di beberapa ahli," bilang Andon.
Kalau untuk pria, imbuh Tri Bowo, perlu diwaspadai masalah prostat, terutama bagi yang memakai hormon testosteron. Soalnya, bila PSA-nya (prostat spesipik antigene) tinggi, akan membuat prostatnya membesar.
Hati-Hati Dengan Buah Zakar Kambing
Konon, makan buah zakar kambing amat bermanfaat untuk keperkasaan pria. "Ah, itu cuma mitos!" ujar Tri Bowo, "Justru hal itu berbahaya buat produksi hormon kita."
Menurutnya, orang sering makan buah zakar kambing karena di situ mengandung testosteron. Padahal, asupan testosteron dari luar justru membuat feedback negatif terhadap produksi LH, hingga tubuh tak memproduksi testosteron secara maksimal. Dengan demikian, justru malah mempengaruhi produksi sperma juga.
Jadi, tegasnya, hormon hendaknya diberikan memang kalau ada dasarnya. Kalau tidak, ya, jangan diberikan karena bisa memberikan feedback negatif.
Indah Mulatsih