Hemat Anggaran Kesehatan! (1)

By nova.id, Rabu, 17 Maret 2010 | 17:09 WIB
Hemat Anggaran Kesehatan! 1 (nova.id)

Hemat Anggaran Kesehatan! 1 (nova.id)

""

Siapa pun, pasti tersentak dengan naiknya harga BBM (bahan bakar minyak). Tak hanya di kawasan perkotaan saja, di pedesaan pun pasti merasakan imbas dari kenyataan ini. Baik secara langsung maupun tidak, anggaran rumah tangga tentu akan terpengaruh juga. Sementara penghasilan belum tentu bertambah, pengeluaran terus membengkak.

Dan satu-satunya langkah yang dapat dilakukan untuk mengantisipasi efek kenaikan harga BBM adalah memangkas beberapa pos anggaran rumah tangga. Salah satunya, pada pos anggaran kesehatan. "Sikap cerdas dan tindakan ekonomis perlu diambil untuk menyikapi kenaikan kenaikan harga BBM. Salah satunya, penghematan di segala bidang, termasuk bidang kesehatan," tegas dr. Widodo Judarwanto Sp.A, spesialis anak dari RS Bunda Jakarta, mengekspresikan keprihatinannya terhadap kesulitan yang tengah dihadapi masyarakat saat ini.

Padahal, dengan kemampuan pembiayaan hidup yang minim, orang akan sulit mendapatkan kualitas hidup yang baik pula. Ujung-ujungnya, tentu bisa memperbesar risiko terkena gangguan kesehatan. Lalu, bagaimana cara memangkas anggaran kesehatan secara bijak? Rasanya, hal ini akan menjadi dilema, yang tampaknya sulit dilakukan.

MINIMALISASI PEMBOROSANMemang benar, satu ungkapan yang mengatakan, kesehatan itu mahal harganya. Sayangnya, terkadang ungkapan ini disikapi secara berlebihan di kalangan masyarakat. Oleh karena takut jatuh sakit, maka seseorang menganggap dirinya harus mengonsumsi suplemen dan vitamin tambahan secara berkala.

Belum lagi, gencarnya iklan dan promosi di berbagai media yang menyebabkan sampainya informasi yang keliru ke masyarakat. Seperti, suplemen tertentu ditengarai bisa meningkatkan kekebalan tubuh dan stamina.

Padahal, suplementasi seharusnya dipahami sebagai langkah darurat yang perlu diambil, ketika asupan gizi seseorang tak terpenuhi dari makanan sehari-hari. Menurut Widodo, dengan gaya hidup dan pola makan yang benar, suplementasi tak mutlak diperlukan.

Selain itu, pemberian antibiotik (non-resep) secara irasional yang sering terjadi di masyarakat juga merupakan pemborosan bidang kesehatan yang harus diminimalisasi. Pahamilah, kata Widodo, tidak semua penyakit membutuhkan antibiotik. Bahkan, pemberian antibiotik dosis tinggi tanpa pertimbangan medis, bisa menyebabkan resistansi kuman terhadap antibiotik. Sebaiknya, untuk menyembuhkan penyakit tertentu, konsultasikan dulu dengan dokter.

Untuk mendapatkan diagnosa yang tepat pada penyakit yang diderita, orang memang perlu berkonsultasi pada ahlinya. Spesialisasi dokter yang dijadikan tempat berkonsultasi, sangat berpengaruh pada ketepatan hasil diagnosa. Namun sayangnya, tidak semua orang paham dengan spesialisasi dokter. Atau, tak tahu harus berkonsultasi ke dokter yang mana. Jika memang belum mengetahui penyakit yang diderita, konsultasikan dulu dengan dokter umum yang bertugas.

Setelah didapat dugaan sementara, baru Anda bisa memilih apakah ingin mendapatkan layanan dokter spesialis atau tidak. Intinya, setiap pengeluaran bagi upaya memperbaiki kualitas kesehatan, sebaiknya benar-benar diputuskan berdasarkan pertimbangan logis dan informasi yang benar.

PAHAMI HAK PASIENKunci untuk melakukan efisiensi anggaran kesehatan juga bisa dilakukan dengan memahami hak sebagai pasien. Memang, dokter memiliki hak untuk menentukan setiap pengobatan dan jenis tindakan medis yang diperlukan, dengan mengutamakan kepentingan dan kesembuhan pasien.

Tetapi, tindakan yang diambil pun perlu didasari pertimbangan latar belakang pasien, misalnya disesuaikan dengan kondisi, kebutuhan, dan kemampuan ekonomi pasien. Oleh karena itu, pasien berhak mendapatkan informasi yang sebenar-benarnya dari dokter, berkaitan dengan kondisi dan pelayanan kesehatan yang dilakukan.

Misalnya, pasien perlu mengetahui kemungkinan biaya yang tinggi selama proses pengobatan, mengetahui pertimbangan dokter melakukan tindakan medis, meminta pertimbangan untuk diberikan alternatif pengobatan yang lebih murah, dan mendapatkan second opinion.

"Untuk menghindari biaya tinggi, pasien tak perlu ragu mendapatkan second opinion dari dokter lain. Dan sebaiknya, didapatkan dari dokter dengan kompetensi yang sama dengan dokter sebelumnya," Widodo memberikan alternatif.

Paling tidak, sebagai pengguna jasa kesehatan, Anda tak akan merasa 'dibohongi' dengan biaya tinggi yang dikenakan pihak rumah sakit. Karena, anggaran itu sudah merupakan keputusan terbaik yang diambil.

"Hal terpenting lainnya, tidak usah ragu untuk terbuka dan jujur kepada dokter Anda jika memang biaya obat-obatan, pemeriksaan laboratorium, dan tindakan medis yang dilakukan terasa memberatkan dari segi ekonomi," Widodo menginformasikan.

BERSIKAP REALISTISSeringkali, masyarakat tak menyadari jika keputusan yang diambilnya kurang realistis soal kesehatan. Misalnya, terlalu mudah memutuskan pergi ke dokter meski hanya menderita sakit ringan. Atau, beranggapan jika berobat ke luar negeri akan lebih baik daripada di dalam negeri.

Padahal, untuk mendapatkan layanan kesehatan yang terbaik, tak selalu harus ke luar negeri. Menurut Widodo, "Dokter di Indonesia juga mengikuti perkembangan ilmu dan teknologi bidang kedokteran melalui pendidikan secara berkala dan juga pelatihan profesional."

Oleh karena itu, secara kompetensi dan kemampuan, tak kalah dengan dokter luar negeri. Justru, kebanyakan orang mencari pelayanan kesehatan hingga keluar negeri hanya karena tak paham dan memiliki masalah komunikasi dengan dokter di dalam negeri. Sehingga, mereka tak mengerti alasan dokter mengambil tindakan medis tertentu. Atau, tak mengerti mengapa kemudian timbul gejala tertentu, yang sebetulnya merupakan hal yang normal terjadi.

Laili Damayanti