Hobi Aborsi Karena Takut Ditinggal Suami

By nova.id, Kamis, 20 Agustus 2009 | 00:11 WIB
Hobi Aborsi Karena Takut Ditinggal Suami (nova.id)

Ibu Rieny yang baik,Saya seorang ibu rumah tangga (30), istri kedua dengan 2 orang putri, serta 1 anak dariperkawinan terdahulu. Alhamdulillah, hubungan saya dengan istri tua tidak ada masalah. Boleh dibilang, akur-akur saja. Istri tua juga memiliki anak perempuan yang sudah besar-besar dan sudah kuliah.

Usia perkawinan saya dengan suami, sebut saja R, sudah berjalan hampir 9 tahun. Dari hasil perkawinan dengan R, kalau dihitung-hitung, anak saya sebetulnya ada 5 orang. Selain 2 anak perempuan, saya juga sudah 3 kali aborsi, Bu! Suami pernah bilang, ingin punya anak banyak, apalagi kalau dapat anak laki-laki dari saya, wah bahagia sekali.

Bu Rieny mungkin bingung, kok saya tega dan kenapa sampai 3 kali melakukan aborsi? Bu, entah kenapa, setiap hamil, ngidam saya parah. Setiap hari muntah-muntah terus.

Minum air putih saja keluar lagi, apalagi makanan. Tidak mau mandi, tidak mau lihat matahari, pusing, benci lihat suami, inginnya marah-marah terus, kesal, dan sebagainya. Pokoknya seperti orang stres, mikirin banyak hal, termasuk merasa takut mati!

Kenapa ya Bu, setiap hamil, saya selalu seperti itu? Padahal, suami sayang bukan main bila saya hamil. Tidak hamil pun suami memang sayang kok. Apapun keinginan saya, selalu diturutinya. Tapi, setiap hamil, saya selalu menangis-nangis, minta diperbolehkan aborsi saja. Tadinya suami tidak mau, tetapi karena saya orangnya keras, akhirnya suami menuruti juga keinginan saya itu. Bahkan sampai 3 kali. Keterlaluan ya, Bu.

Belum lama ini, tepatnya bulan Agustus kemarin, saya melakukan aborsi yang ke-3. Memang, ada rasa menyesal dan berdosa dan mungkin Tuhan tidak bakal mengampuni saya, Bu. Ibu pasti bertanya, kenapa tidak KB saja. KB apa pun sudah saya coba, cuma spiral yang belum, karena saya takut Bu. Tapi, saya tetap saja hamil.

Dan setiap kali hamil, saya selalu dihantui pikiran yang aneh-aneh. Bagaimana kalau anak saya banyak, rumah Cuma ngontrak, simpanan uang di bank tidak punya, suami punya penyakit jantung koroner, menikah di bawah tangan, dan sebagainya. Umur memang di tangan Tuhan, ya Bu. Tapi, kalau bisa, jangan sampai suami meninggal mendadak. Duh kiamat deh Bu, kalau itu terjadi. Kemana saya mesti bawa anak-anak saya nanti, siapa yang mau menanggung hidup saya dan anak-anak (pikiran saya pendek ya Bu?).

Sekarang, saya jadi banyak melamun. Saya pernah bilang pada suami soal itu. Dan jawabannya: "Dasar tak punya iman. Tidak mengaji, sih kamu. Saya punya harta, kalau umur saya sampai tak ada, keluarga saya tidak buta. Semua orang juga tahu bahwa kamu itu istri saya. Pasti harta saya nanti dibagi 2 dengan istri tua dan kamu." Menurut Ibu, sebaiknya bagaimana? Apabila saya hamil lagi, apakah saya biarkan saja? Dan apabila terjadi kehamilan lagi, bagaimana mengatasi persoalan-persoalan di atas itu? Tolong dijawab, ya Bu, saya benar-benar bingung dan tidak punya prinsip. Terima kasih.Bu Aborsi di X Bu Aborsi yang terhormat,Saya sungguh bukan seorang ahli agama, tapi kalau kita belajar sedikiiit saja, pastilah kita akan segera tahu bahwa agama melarang aborsi, kecuali ada keadaan darurat yang membuat si ibu terancam jiwanya bila kehamilan diteruskan. Bahkan, aborsi itu sendiri juga berisiko terhadap kelangsungan hidup Anda.

Dari cerita Ibu, saya melihat bahwa secara psikologis, Anda memiliki perasaan tidak aman yang dari saat ke saat Anda lawan dengan kalimat-kalimat seperti suami sangat sayang, sangat baik dan ingin punya anak sebanyak-banyaknya dari Anda. Tetapi pada saat yang sama, Anda juga menyadari bahwa banyak fakta justru tidak mendukung kelangsungan rasa aman pada diri. Misalnya, perkawinan Anda yang di bawah tangan itu memang tak memberi perlindungan hukum bagi Anda dan anak-anak bila suatu saat suami meninggal dunia. Rumah ngontrak, ini berarti setelah kurun waktu tertentu, Anda tak punya tempat berteduh lagi. Dan mungkin banyak lagi hal lain yang bersifat kesementaraan yang berujung pada ketiadaan rasa aman tadi.

Selama suami masih ada sih, semua bisa teratasi. Tetapi, kalau terjadi seperti yang sering Anda bayangkan, bagaimana Anda harus hidup dengan anak, apalagi kalau jumlahnya juga banyak. Pertentangan batin yang terjadi, antara ingin menyenangkan suami dengan memberinya anak banyak dan kalau bisa anak laki-laki, dengan rasa takut yang menghantui Anda akan ketidakpastian masa depan inilah, yang membuat setiap kehamilan Anda secara psikologis justru yang makin tinggi.

Alih-alih Anda mencoba meyakinkan suami bahwa Anda butuh status perkawinan yang disahkan hukum yang berlaku di negara kita, untuk "memudahkan" masalah, Anda lebih memilih menggugurkan saja janin Anda. Yang ini kan lekat di diri Anda, me-nempel di badan, sehingga lebih mudah mengelolanya sekehendak Anda. Jadilah, aborsi berkali-kali.

Kenapa kok KB-nya jebol terus, jawabannya juga sama. Di sudut hati yang lain, memang ada keinginan untuk memberi suami apa yang ia inginkan, yaitu anak banyak. Makanya, alat kontrasepsi yang peluang kegagalannya amat kecil, yaitu spiral, Anda hindari. Karena kalau ini terpasang, Anda memang akan benar-benar tidak hamil! Lalu, untuk membenarkan semua ini (bahasa kerennya, memberi justifikasi), Anda katakan: Takut ah?!

Sebenarnya, kalau Ada katakan bahwa Anda tak punya prinsip, ini adalah sebagian dari refleksi saja. Cuma satu gejala dari sebuah sebab yang lebih mendasar, yaitu bahwa Anda belum memiliki kemapanan kepribadian yang cukup untuk mendukung keteguhan Anda membangun "jaring-jaring rasa aman" untuk diri Anda dan anak-anak Anda. Walau Anda katakan tak ada masalah, saya yakin status istri kedua itu punya beberapa konsekuensi yang Anda tahu dan sadari, tetapi belum kunjung Anda sikapi secara dewasa. Padahal, Anda sudah tahu di titik-titik mana Anda harus memperjuangkannya, bukan?

Saran saya, jujurlah pada diri sendiri dengan mengakui bahwa ada rasa tak aman dalam diri yang tak cukup bisa teratasi dengan pernyataan dan kata-kata suami seperti yang Anda tulis di surat Anda. Dalam hal ini, Anda memang benar. Siapa yang bisa menjamin bahwa setelah suami meninggal, Anda akan memperoleh sesuatu, kalau secara hukum Anda tak punya "surat kawin." Maka, mintalah dinikahi di KUA, dan kalau Anda katakan akur-akur saja dengan istri pertama, mestinya izin darinya bukan hal yang sukar, bukan?

Tabungan di bank? Ini juga penting. Kalau suami belum mau membukakan buku tabungan bagi Anda, kenapa tak melakukannya sendiri? Belajarlah menyisihkan uang dari apa yang Anda miliki. Bila ini sudah menjadi kebiasaan, Anda akan bisa menyisihkan uang untuk ditabung. Rumah, menurut saya juga patut Anda miliki dan bukan cuma dikontrakkan. Mungkin ini berarti tidak sebagus yang kini Anda tempati, tetapi walau sederhana, kan lebih memberi rasa aman kalau sudah menjadi milik sendiri?

Intinya Bu, berpikir untuk masa depan memang penting, tetapi persiapan masa depan tak akan selesai hanya dengan meningkatkan, apalagi memelihara, rasa khawatir di dalam diri. Apalagi bila dilanjutkan dengan tindakan yang justru membahayakan jiwa, sekaligus bermuatan dosa seperti aborsi yang sudah 3 kali Anda lakukan itu. Mudah-mudahan, setelah ini Anda makin rajin belajar agama, seperti anjuran suami, sehingga makin memiliki rasa takut dan malu pada Allah bila tidak melakukan apa yang diperintahkan dan menjauhi apa yang dilarang.

Lebaran akan menjadi saat yang tepat rasanya, untuk meminta hadiah Lebaran berupa status perkawinan yang disahkan negara. Ceritakan pada suami kenapa Anda khawatir, dan yakinkan dia bahwa dengan status ini, secara hukum Anda terlindungi dan akan merasa aman manakala terjadi sesuatu pada Anda dan suami. Bukan hanya menyangkut harta, tetapi juga status anak-anak, serta keterkaitannya secara hukum dengan ayahnya, akan lebih terlindungi bila Anda menikah secara hukum yang berlaku. Jangan khawatir terus ya, Bu, berpikir dan bertindaklah untuk menghilangkan rasa khawatir tadi. Salam sayang.