Sayang, Mari Kita Menikah! (1)

By nova.id, Senin, 1 Juni 2009 | 18:45 WIB
Sayang Mari Kita Menikah! 1 (nova.id)

Sayang Mari Kita Menikah! 1 (nova.id)

"Ilustrasi (Foto: Romy Palar/NOVA) "

Menurut Ester Lianawati, M.si, Psi, psikolog dari LPP Universitas Kristen Krida Wacana, Jakarta, jika memang didesak untuk menikah, tanpa disadari dorongan menikah ini justru terjadi akibat adanya tekanan eksternal.

Masih banyak wanita Indonesia yang didesak menikah oleh keluarganya, hanya karena usianya sudah lebih dari 30 tahun, misalnya. Padahal, idealnya pernikahan terjadi bukan karena desakan, melainkan ditentukan oleh diri sendiri.

"Jangan menikah hanya karena merasa dituntut atau didesak. Pernikahan yang terjadi atas pemikiran yang matang dan terencana, membuat sebuah pasangan akan melakukannya dan melewatinya dengan lebih baik." Siapkan Anggaran Selanjutnya, bila kedua belah pihak sudah merasa siap secara mental untuk saling mengikat janji, mulainya menyiapkan anggaran untuk membuat acara pernikahan jadi berkesan dan selalu diingat sepanjang masa. Apakah harus selalu menggelar acara pesta pernikahan yang mewah?

Menurut Ester, jika memang kondisinya memungkinkan dan memang dananya tersedia, mengapa tidak. Namun, bila yang terjadi sebaliknya, tentu bukanlah sikap yang bijak bila harus memaksakan diri untuk tetap menyelenggarakan pesta super mewah.

Kesiapan sebuah pasangan dalam berumah tangga, lanjut Ester, bisa mulai dilihat menjelang digelarnya pesta pernikahan. Ada pasangan yang mengerti kondisi keuangannya terbatas, tapi tahu orangtuanya akan membantu biaya pernikahan mereka.

Memang tak ada salahnya orangtua membantu pengadaan dana untuk biaya pesta pernikahan. Sebab, untuk kultur di Indonesia, masih banyak orangtua yang akan menanggung malu bila pernikahan putra-putrinya tidak dipestakan.

Untuk itu, "Diperlukan diskusi antara kedua pasangan dengan orangtua. Akan jadi sulit kalau salah satu pasangan ngotot tak mau merepotkan orangtua. Banyak, lho, gara-gara mengurus rencana pernikahan pasangan bukannya bahagia malah jadi stres," papar Ester saatditemui Tabloid Nova.

Mengapa ada pasangan yang menolak didanai pesta pernikahannya oleh orangtuanya? Menurut Ester, bila orangtua ikut membiayai apalagi hampir sebagaian besar anggaran pesta pernikahan dari orangtua, biasanya mereka akan ikut campur mengatur pesta.

Agar tak terjadi konflik keluarga, Ester menyarankan, bila orangtua tetap ingin mendanai pesta pernikahan sebuah pasangan, sebaiknya jangan diatur sendiri, tetapi lebih baik diserahkan ke wedding organizer saja. Pentingnya Kata Sepakat Sebaliknya, jika kedua pasangan ingin pesta pernikahan yang amat berkesan dan unik, lalu memutuskan mengatur segalanya berdua, tetap harus dibicarakan secara matang dan bijaksana. Jangan sampai calon suami cuek dan hanya menyerahkan semua urusan pesta pernikahan ke calon istrinya saja. Sebaiknya, semua dilakukan berdua, apalagi bila diupayakan dengan biaya dari berdua, tanpa melibatkan orangtua atau pihak ketiga. Pesta pernikahan tentu akan jadi makin berkesan.

Selanjutnya, bila kesepatakan sudah didapat, calon suami dan istri bisa membuat daftar apa saja yang harus dipersiapkan untuk menggelar pesta pernikahan. Apakah akan digelar dengan mewah di gedung atau sederhana saja di rumah mempelai wanita.

Kemudian, kedua pasangan saling membagi tugas yang seimbang. Misalnya, calon istri mengurus katering dan cenderamata, sementara calon suami mengurus gedung dan kartu undangan. "Yang penting pembagian tugas harus adil dan disepakati berdua, jangan sampai ada salah satu pihak yang merasa paling baik," kata Ester lagi.