Hampir tiap hari anak Anda mungkin bertengkar, entah dengan anak tetangga maupun adiknya. Yang rebutan mainanlah, tak mau membagi kuenya, maupun rebutan tempat duduk, dan sebagainya.
Daripada pusing mendamaikan mereka melulu, kenapa tak mencoba untuk mengajari anak mengatasi atau menghindari konflik-konfliknya? Apalagi, seperti dikatakan psikolog dra. Tjut Rifameutia U.Ali-Nafis, MA, mengajari anak-anak menyelesaikan konflik sebaiknya dilakukan sejak dini agar setelah besar mereka terlatih menyelesaikan konflik tanpa kekerasan. Sebab, untuk melatih anak menyelesaikan konflik berarti juga melatih anak mengontrol kemarahan dan emosinya. Bukankah kekerasan terjadi lantaran orang tak bisa mengendalikan amarah dan emosinya? "Tapi tentu ini bukan sesuatu yang mudah," ujar Tia, panggilan akrabnya. Terlebih lagi ciri anak-anak adalah kepolosan.
"Kalau mereka mau marah, ya, marah saja, tak perlu menunggu atau menundanya alias tak perlu kontrol diri segala. Hal ini disebabkan mereka belum tahu aturan main dalam kehidupan," lanjut staf Pembantu Dekan III Fakultas Psikologi UI. Itulah mengapa, kita perlu mengajarinya. Memang, tambah Tia, anak bisa belajar dari pengamatan, "tapi kalau salah persepsi, bagaimana?"
Disamping itu, jika kita tak mengajarkan, saat anak besar nanti bisa mengganggu hubungan sosialnya. "Saat di sekolah, guru-gurunya akan kesulitan dalam menghadapi si anak. Di kelas ia bisa jadi pemarah, suka menjerit-jerit dan memukul temannya. Nah, lambat-laun ia bisa kehilangan teman, kan?" Ia pun bisa diberi label oleh teman-temannya, entah sebagai si pemarah atau si brengsek, dan sebagainya. Kalau sudah begitu, akhirnya akan mengganggu perkembangan konsep dirinya. "Bisa-bisa ia akan bersikap, kalau aku enggak marah maka bukan aku lagi."
ETIKA BERGAUL
Jadi, Bu-Pak, betapa penting mengajari anak mengatasi maupun menghindari konflik. Kendatipun tak mudah, namun percayalah, kita pasti bisa melakukannya. Caranya dengan mengajak anak berdialog. Bukankah di usia prasekolah ia sudah bisa diajak berdialog? "Jelaskan pada anak tentang etika bergaul seperti bagaimana akibatnya jika mereka selalu berebut dan tak mau berbagi, apalagi sampai bertengkar dan memukul," tutur Tia.
Ajarkan pula untuk bertenggang rasa dan berempati pada perasaan orang lain, juga pentingnya sikap saling memaafkan. Tapi tentu tak cukup hanya bila dilakukan lewat dialog karena untuk mengajarkan sesuatu pada anak akan lebih efektif bila dilakukan juga lewat contoh sehari-hari dari orang tua. "Orang tua tentunya pasti pernah bertengkar atau berargumentasi di depan anak-anak, kan? Nah, pastikan anak-anak melihat kedua orang tuanya saling meminta maaf dan saling memperbaiki diri seusai bertengkar." Jangan lupa untuk selalu mengajari anak-anak meminta maaf dan berdamai seusai bertengkar. Disamping itu, media bantu seperti buku-buku cerita atau film yang memperlihatkan nilai-nilai tersebut juga akan sangat membantu dalam mengajarkannya.
LATIH MEMECAHKAN MASALAH
Selanjutnya, yang harus kita lakukan ialah melatih anak memecahkan masalahnya sendiri. Jadi, bila anak-anak sedang bertengkar, biarkan saja dulu, tak perlu tergesa-gesa mencampuri urusan mereka. "Barulah jika pertengkaran itu sudah mengarah ke hal-hal yang membahayakan, orang tua harus segera menghentikannya," kata Tia. Misalnya, pertengkaran mengarah ke perkelahian atau bertengkar dengan kata-kata yang tak semestinya dilontarkan anak seusia itu.
Kala menengahi pun kita tak perlu buru-buru memberikan jalan keluar. Tanyai dulu keduanya, apa yang kalian ributkan? "Jadi orang tua masuk dan mereka diajak diskusi agar lebih tenang dan tak main mulut begitu saja." Setelah salah satu bercerita, tanyai lagi lainnya, apakah itu benar? "Dengan demikian mencegah mereka menjadi pengadu." Lantas, tanyai, apa yang bisa mereka lakukan untuk menyelesaikan konflik. Tentunya masing-masing akan mengemukakan argumennya.
Nah, saat itulah kita harus menunjukkan bagaimana bisa menyelesaikan konflik meski berbeda sudut pandang, "Kalau menurutmu, mungkin pendapatmu itu yang benar. Tapi coba kita lihat dari pendapat temanmu." Misalnya, mereka berebut main di ayunan taman yang menjadi milik umum. Jelaskan, "Barang ini memang milik orang banyak. Jadi, semua orang boleh memakainya, baik kamu maupun temanmu. Nah, karena semua orang boleh pakai, maka berarti ini bukan milikmu sendiri, kamu tak boleh pegang terus mainan ini. Temanmu pun harus mendapat giliran pakai, kan?" Jadi, buat mereka berdialog sehingga masing-masing akan mengerti apa maunya orang lain. Kemudian, tanyai atau dorong mereka untuk mencapai kesepakatan bersama agar keduanya dapat memakai ayunan itu bersama.