Si "Super" Malas Menjawab

By nova.id, Selasa, 10 Agustus 2010 | 17:09 WIB
Si Super Malas Menjawab (nova.id)

Siapa tak bangga punya anak "super"? Tapi bagaimana jika si "super" kemudian ogah menunjukkan ke"super"annya? Benarkah ia memang anak "super"?

Masih ingat Albashita Nur Karina? Di usianya yang baru 1,5 tahun, dara mungil kelahiran Jakarta, 4 April 1997 yang dipanggil Sitha ini mendapatkan penghargaan insan termuda yang mampu menghapal beberapa tokoh dan peristiwa penting dari MURI (Museum Rekor Indonesia) di Semarang yang didirikan oleh Jaya Suprana. Namun setelah memasuki usia 2,5 tahun, seperti dituturkan Oni Diawaty, sang ibu, dalam suratnya kepada nakita, Shita mulai malas menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya. Mengapa demikian?

Menurut Dra. Tjut Rifameutia U. Ali-Nafis, MA, pasti ada trigger atau pemicu yang membuat si kecil jadi bersikap demikian. "Seringkali orang tua dari anak 'super' seperti ini akan memperlihatkan kebanggaannya pada orang lain dengan terus-terusan menanyai si anak," kata psikolog dari Bagian Psikologi Pendidikan Fakultas Psikologi UI ini. Sehingga, lanjutnya, lama-lama pertanyaan tersebut tak menantang lagi bagi anak. "Kalaupun orang bilang ia hebat, lama-lama itu sudah tak terasa sebagai suatu pujian lagi bagi anak."

Selain itu, di usia batita, rasa ingin tahu dan keinginan bereksplorasi anak juga sedang tinggi. "Anak ingin tahu hal-hal yang belum ia ketahui. Tapi kalau pertanyaan yang diajukan padanya sama terus, bisa saja bagi dia itu bukan lagi menjadi sesuatu yang menantang atau yang perlu diperlihatkan lagi," jelas Tia, panggilan akrabnya. "Anak usia batita juga sering mengatakan hal-hal yang sebaliknya, sepertinya menguji kita," lanjut Tia. Misalnya, ibu mengajak, "Makan, yuk, sayang," tapi si anak malah menjawab, "Ah, nggak mau."

Karena itulah banyak orang tua sering menggunakan kata-kata yang terbalik supaya anaknya mau mengikuti apa yang dikatakannya. Misalnya, orang tua ingin anaknya ikut, maka mereka bilang, "Ade nggak usah ikut, ya, sayang." Padahal, maksudnya supaya si anak mau ikut.

ORANG TUA TERLALU MENUNTUT

Biasanya, orang tua yang tahu anaknya termasuk "super", seringkali juga menuntut anak agar terus seperti itu atau bahkan lebih. "Orang tua membuat semuanya menjadi begitu terstruktur bagi anak. Anak harus menghapal ini-itu. Padahal, mestinya untuk anak usia segitu, jangan memberikan hal-hal yang terlalu terstruktur," tutur Tia. Misalnya, dalam waktu tertentu anak harus hapal ini-itu dan materi yang diberikan juga terlalu banyak. "Sehingga anak dituntut untuk menghapal atau belajar hal-hal yang diminta orang tua, senang atau tidak senang."

Belum lagi jika orang tua juga terlalu mem-push anak untuk "belajar" terus, sehingga tak ada waktu baginya untuk bermain dengan teman. Padahal, kebutuhan anak bukan hanya "belajar" dan menghapal. Anak juga butuh bermain. Jadi, tandas Tia, "orang tua juga harus tahu kapan waktu bermain, kapan waktu untuk istirahat. Jangan mengkonsentrasikan hanya pada menyuruh anak menghapal saja." Selain tidak bijaksana, sikap orang tua yang demikian juga memicu anak untuk malas menjawab. Faktor lain adalah metode orang tua atau siapapun ketika bertanya atau memberikan informasi kepada anak.

"Apakah caranya menyenangkan anak atau tidak, apakah benar-benar menstimulasi anak atau tidak," ujar Tia. "Apakah mereka juga tahu, kapan waktu anak untuk beristirahat dan kapan untuk bermain. Kalau tidak, lama-lama anak akan jenuh. Atau mungkin saja anak tak suka pada si penanya. Ini perlu dilihat," lanjutnya. Apalagi jika setiap berhadapan dengan orang, anak selalu ditanya lagi dan lupa jawabannya terus orang tua mengatakan, "Masa nggak ingat, sih, sayang?" Menurut Tia, hal ini akan menjatuhkan self esteem atau rasa percaya diri anak. Padahal, "seharusnya kita justru meningkatkan rasa percaya diri anak sebelum anak masuk ke dunia yang lebih berat."

REFLEKSI DIRI

Jadi, bila si "super" kemudian malas menjawab pertanyaan, saran Tia, cobalah orang tua refleksi diri, "apa yang sejauh ini sudah mereka lakukan, terlalu memforsir atau tidak. Apakah mereka lebih mementingkan kebutuhan mereka sendiri supaya anaknya tetap jenius, ataukah lebih mementingkan kebutuhan anak."

Anak usia ini, papar Tia, pada lazimnya senang mencoba hal-hal baru di sekitarnya. Mereka juga menyukai hal-hal yang sifatnya bermain. "Anak akan lebih mudah mengingat jika apa yang diberikan sifatnya diulang. Jadi, jangan berharap begitu dikasih tahu sekali terus anak langsung ingat. Bukan begitu caranya, meski anak memiliki potensi daya ingat yang luar biasa." Orang tua, lanjut Tia, perlu melihat bukan hanya kenapa anak jadi malas menjawab pertanyaan lagi, tetapi yang lebih penting adalah apa yang salah dalam memberikan pendidikan pada si anak. "Jadi, harus dilihat, salahnya pada anak atau orang tua. Mungkin saja lingkungan sekitar yang tidak suportif," ujarnya.

Anak juga harus terus dirangsang dengan porsi yang sesuai. Maksudnya, ajaklah anak bermain. Beri stimulasi yang banyak. Tapi jangan lupa untuk juga memberinya pujian dan jangan memarahi ketika anak tak bisa menjawab. Selain itu, orang tua sebaiknya tak menunjukkan stresnya pada anak, karena stres orang tua akan terbaca oleh anak. "Jika orang tua tampak stres, anak akan merasa tak nyaman di lingkungan tersebut, anak akan terganggu. Rasa percaya dirinya akan hilang, terutama jika ia tak mampu menjawab sementara orang tua tak bisa memberi penghiburan. Anak akan merasa ia telah mengecewakan orang tuanya," tutur Tia.

PAHAM PERKEMBANGAN ANAK

Orang tua sebaiknya juga mengetahui potensi anak-anak mereka. "Anak memiliki berbagai minat. Ada yang memiliki minat pada bahasa, seni, ide yang bagus, atau psikomotorik. Nah, bagaimana orang tua bisa tahu anaknya memiliki kemampuan lebih, tentu harus dibandingkan dengan anak seusia dia," bilang Tia.

Untuk itu, orang tua harus tahu perkembangan anak. "Karenanya, orang tua perlu membaca atau paling tidak memiliki wawasan yang cukup mengenai perkembangan anak, khususnya yang seusia anak mereka. Jadi mereka tahu apakah perkembangan anak on track atau tidak." Pemahaman mengenai perkembangan anak sangat penting agar orang tua tahu apa yang harus dilakukan. "Beri stimulasi, misalnya dengan permainan, warna, dan sebagainya.

Permainan yang diberikan sebaiknya juga jangan yang berstruktur." Yang tak kalah penting, orang tua harus berusaha meningkatkan life skill dan rasa percaya diri anak. "Karena hanya dengan percaya diri, anak akan mampu menghadapi dunia luar." Bila orang tua khawatir si anak yang tadinya "super" mendadak jadi melempem, maka langkah paling baik adalah membawanya ke psikolog, "sehingga bisa dilihat dan dilakukan pemeriksaan yang komprehensif, kenapa anak menjadi seperti itu, termasuk apa yang sudah dilakukan orang tua. Karena bisa saja kesalahan justru dilakukan oleh orang tuanya." Yang jelas, tanpa memiliki waktu yang cukup untuk anak, maka akan sulit bagi orang tua untuk mengetahui apakah anaknya cemerlang atau tidak.  

Hasto Prianggoro/nakita