Si Kecil Suka Meniru

By nova.id, Minggu, 25 Juli 2010 | 00:10 WIB
Si Kecil Suka Meniru (nova.id)

Enggak apa-apa, kok. Justru bagus untuk perkembangan kemampuan kognitifnya. Tapi kalau ia meniru yang tak baik, harus diarahkan.

Sering kita mendengar si kecil mengulangi apa yang kita omongkan. Entah saat kita berbicara dengannya maupun kala kita tengah berbicara dengan orang lain. Misalnya, ibu berbicara dengan ayah, "Yah, besok mau dimasakkan apa?" Si kecil tahu-tahu menyambung, "Masak apa?"

Sebetulnya, perilaku meniru pada anak sudah berlangsung sejak dini. Bukti paling nyata ialah anak bisa berbicara. Kalau ia tak pernah meniru kata-kata yang diucapkan orang tua, tentunya ia tak akan bisa bicara. Sampai usia besar pun anak masih tetap meniru, meski kadarnya tak terlalu banyak dan semakin berkurang. Hanya memang perilaku ini umumnya lebih tampak di usia sekitar 2-3 tahun, bagaimana anak selalu mencoba apa yang dilakukan orang-orang di lingkungan terdekatnya.

BAHASA DAN PERILAKU

Perilaku meniru, terang Dra. Retno Pudjiati Azhar, pada dasarnya merupakan suatu kemampuan kognitif anak yang sedang berkembang. "Biasanya yang berkembang lebih dulu adalah bahasa. Karena itulah yang pertama-tama ditiru oleh anak biasanya juga bahasa atau perkataan," jelas dosen jurusan Psikologi Perkembangan pada Fakultas Psikologi UI ini. Nah, bagaimana kemampuan kognitif tersebut berkembang tentunya harus ada rangsangan dari lingkungan. Maksudnya, bagaimana orang tua memperkenalkan bahasa kepada anak. Dengan demikian, cepat-lambatnya seorang anak meniru tergantung dari kemampuan kognitif dan rangsangan yang diterima anak dari lingkungannya.

Pada usia batita, lanjut Retno, orang tua bisa merangsang kemampuan kognitif anak dengan bercerita. Misalnya, bersama anak melihat-lihat buku cerita dan orang tua membacakannya. "Biasanya anak akan meniru ibunya membuat cerita dalam beberapa kalimat. Anak akan mencoba mengulang sedikit atau beberapa kata yang sangat berkesan atau paling menarik baginya yang pernah ia dengar. Meskipun terkadang apa yang dikatakannya terdengar aneh." Misalnya, anak pernah mendengar kata "manfaat" atau "memanfaatkan". Mungkin si anak sebetulnya belum tahu arti kata tersebut, tapi begitu suatu kali ia marah pada ibunya, ia pun bilang, "Ibu harusnya manfaatkan, dong."

Setelah bahasa biasanya anak akan meniru perilaku. "Tapi sebetulnya ini bukanlah suatu tahapan dari arti harus bahasa dulu baru perilaku. Cuma biasanya bahasa dan perilaku itu dekat," terang Retno. Nah, dalam meniru perilaku, biasanya anak akan melihat dan mengamati dulu, baru kemudian menirunya. Misalnya, anak melihat setiap pagi ibunya berdandan ketika akan pergi ke kantor. Ayahnya juga bersiap-siap dan pergi dengan membawa tas kerjanya. Mungkin saja anak akan meniru tingkah laku atau kebiasaan orang tua ini semisal memakai lipstik dan sepatu ibunya, bertingkah laku seperti ayahnya, dan sebagainya. "Anak usia batita akan senang mencoba-coba hal seperti itu. Karena pada usia ini konsep 'aku' atau 'self'-nya pun mulai berkembang. Jadi, bila dari segi psikososial, kemampuan inisiatifnya sedang berkembang," sambung Retno.

ORANG TUA DAN TOKOH DI TV

Pada awalnya, anak akan meniru dari orang-orang terdekatnya seperti orang tua dan pengasuh. Setelah lingkungannya semakin luas dan usianya pun bertambah, model peniruannya juga semakin berkembang seperti teman dan guru.

Selain itu, anak juga akan meniru dari tokoh yang dilihatnya di TV. Misalnya, Superman yang sedang terbang. "Seringkali orang tua tenang-tenang saja melihat anaknya duduk anteng di depan TV. Padahal banyak sekali informasi yang ditangkap anak dan kemampuannya dalam menerima informasi tersebut diterimanya tanpa batas. Tentunya ini bisa membahayakan anak karena ia bisa meniru hal-hal yang jelek," tutur Retno. Karena itulah Retno menyarankan orang tua ataupun orang dewasa yang dekat dengan anak agar menyeleksi tontonan anak.

Orang tua pun harus mendampingi anak selama menonton TV dan menjelaskan bahwa apa yang ditonton anak di TV bukanlah hal yang sesungguhnya dan anak tak boleh menirunya. Misalnya, anak melihat adegan orang dipukul. Nah, katakan padanya, "Ade, orang itu dipukulnya bohong-bohongan. Namanya juga film. Jadi Ade nggak boleh menirunya." Bila perlu, sertai dengan contoh. Misalnya, "Sini coba kalau Mama pukul Ade. Sakit, kan?" Dengan begitu anak akan semakin mengerti karena ia merasakan sendiri rasa sakit akibat dipukul.

Untuk mengurangi kebiasaan anak menonton TV, Retno menganjurkan orang tua agar anak sebaiknya diberi kegiatan lain dan orang tua ikut mengisi kegiatan tersebut bersama anak. Misalnya, mengajak anak berjalan-jalan keliling kompleks setiap sore.

SI UPIK MENIRU AYAH, SI BUYUNG MENIRU IBU

Kadang anak juga akan meniru perilaku dari jenis kelamin yang berbeda. Misalnya, anak laki-laki meniru tingkah laku ibunya dan anak perempuan meniru tingkah laku ayahnya. "Sebenarnya ini nggak apa-apa, karena anak juga perlu tahu bagaimana ibu dan ayahnya. Jangan sampai anak hanya tahu ibunya saja atau ayahnya saja," terang Retno.

Yang penting, tambah Retno, jangan sampai anak perempuan lebih sering meniru ayahnya dan anak lelaki malah cenderung meniru ibunya. Karena proses peniruan ini nanti arahnya ke proses identifikasi di mana anak beridentifikasi dengan jenis kelamin yang sama. Biasanya terjadi di usia TK atau sekitar 4-5 tahun. "Nah, kalau anak lebih sering meniru dari jenis kelamin berbeda, sebaiknya orang tua mengarahkan." Misalnya, "Aduh, Mbak pakai sepatu Ayah. Memang Ayah gagah, ya! Mbak mau seperti Ayah?" kemudian alihkan perhatiannya pada hal atau pekerjaan yang sesuai jenis kelaminnya, "Eh, Mbak, Ibu ingin dibantu, lo. Yuk, ikut Ibu ke dapur, bantu Ibu potong sayur." Begitupun bila anak lelaki, misalnya, senang berdandan. Ayah bisa mengatakan, "Wah, Abang ingin dandan seperti Ibu, ya? Coba, nih, Abang pakai baju Ayah. Enak mana, sih?"

Jadi, ayah memberi tahu kepada anak lelaki dan ibu yang memberi tahu anak perempuan. "Disitulah sebetulnya peran ayah dan ibu pada anak yang berjenis kelamin sama dengan orang tuanya. Agar si anak nantinya beridentifikasi dengan orang tua yang berjenis kelamin sama dengannya." Namun begitu, tak berarti harus ayah terhadap anak lelaki dan harus ibu terhadap anak perempuan. Baik ayah maupun ibu sama-sama bisa melakukannya. Misalnya, "Kenapa, sih, Abang ingin dandan seperti Ibu? Ayah gagah, lo. Abang pasti juga gagah kalau dandan seperti Ayah." Atau, bisa juga ibu mengalihkan, "Nah, sekarang Ibu lagi dandan. Coba Abang pura-pura jadi bapaknya. Nih, Abang pakai baju Ayah."

Sebenarnya, terang Retno, pada setiap anak ada kecenderungan meniru dari jenis kelamin yang berbeda. "Ini tak berpengaruh apa-apa pada perkembangan anak. Maksudnya, anak tak akan sampai jadi homo atau lesbian. Karena bila anak sudah masuk sekolah, dia akan memasuki age gang di mana gang-nya itu terdiri dari anak yang berjenis kelamin sama. Jadi, tetap ada balance." Meskipun Retno mengakui, sampai sekarang hal tersebut masih diperdebatkan.

Yang penting, lanjut Retno, sepanjang ayah dan ibu sama-sama memperhatikan anak, maka tak ada yang perlu dikhawatirkan. Jadi, biarkan saja anak di masa batitanya meniru dan mencoba semuanya agar dia juga belajar mengetahui peran masing-masing jenis kelamin.

BERI PENGERTIAN

Perlu dipahami, lanjut Retno, dalam meniru, anak akan meniru apa yang dianggapnya paling menarik. Entah dari ayahnya atau ibunya maupun dari model lain dan tokoh di TV. Cuma, bila yang ditiru anak adalah hal yang tak baik, maka dampaknya tentu akan tak baik pula bagi perkembangan anak. Misalnya, meniru omong kotor. "Tentunya kalau anak meniru yang tak baik terus menerus, lingkungan pun akan memberi sanksi. Misalnya, anak dijauhi oleh teman-temannya."

Nah, jika orang tua merasa bahwa apa yang ditiru anak itu tak baik atau tak sesuai dengan apa yang diajarkan pada anak, maka sebaiknya diberi pengertian. "Anak usia batita sudah bisa mengerti, kok, kalau diberi tahu. Tapi harus dengan kata-kata yang sederhana, tak perlu panjang lebar." Misalnya, bila orang tua mendengar anak sering bicara "gue-lu" dan menganggap hal itu tak baik, maka beritahukan, "Ade sebaiknya jangan ngomong 'gue'. Memang Ade tahu artinya 'gue' itu apa? Kalau Ade ngomong sama ayah dan ibu tak boleh pakai kata 'gue', ya."

Namun orang tua tak cukup hanya sekali itu saja memberi tahu langsung anak bisa mengerti, tapi harus dilakukan berulang-ulang. Selain itu, orang tua juga harus konsisten. Kalau anak dilarang omong "gue" tapi ternyata orang tua bicara di telepon dengan temannya menggunakan kata "gue", tentu anak akan meniru. "Jadi tak bisa disalahkan juga si anak."

Dalam hal meniru yang berbahaya, misalnya, mencoba terbang seperti yang dilakukan Superman, pesan Retno, jangan sampai orang tua kelihatan terlalu panik atau berlebihan. "Karena reaksi orang tua yang demikian akan membuat anak merasa excited atau tertarik. Dipikirnya, 'O, Mama akan seperti itu, toh.' Lain kali anak akan kembali mencoba lagi." Sebaiknya lakukanlah dengan membujuk, "Ayo, Abang turun, dong. Nih, Mama punya sesuatu."

Mungkin anak akan menentang, karena di usia ini memang sedang masa-masanya membangkang. "Ini wajar saja, karena meniru dan masa negativistik biasanya dekat dan terkadang overlap juga. Ini berkaitan pula dengan kepercayaan diri, pembentukan konsep diri atau self-nya bahwa dirinya bisa melakukan apa yang dilarang orang tuanya. Dia mulai mencoba sebetulnya apa yang dikatakan orang tuanya." Nah, terhadap anak yang demikian, orang bisa mengalihkan perhatiannya dengan kegiatan yang disukai anak. Misalnya, "Sini, Mama punya buku cerita bagus. Mau enggak? Nanti mama ceritakan, lo."

Bila anak sudah beberapa kali ditegur namun ia masih saja meniru yang tak baik, menurut Retno, boleh diberi punishment. Sebaliknya, bila anak mencoba meniru hal-hal positif, orang tua harus mendukung dan memberinya pujian. "Ini akan membuat anak semakin terdorong untuk mengulanginya atau terus meniru hal tersebut. Malah bukan tak mungkin akan menumbuhkan minat anak pada hal tersebut." Misalnya, orang tua senang membaca dan sering mengajak anak membaca, lalu memberinya pujian, maka dapat menimbulkan minat anak untuk membaca.

Dedeh Kurniasih/nakita