Kala Si Kecil Mulai Bertingkah

By nova.id, Selasa, 29 Juni 2010 | 17:11 WIB
Kala Si Kecil Mulai Bertingkah (nova.id)

Kala Si Kecil Mulai Bertingkah (nova.id)

"Iman Dharma/nakita "

"Ma, ayo, dong, Ma. Katanya Mama mau bacain cerita," rengek Dito (4) pada sang ibu yang tengah menerima telepon. "Sebentar, sayang, Mama, kan, lagi telepon," jawab sang ibu. Namun Dito bukannya mengerti, malah semakin menjadi-jadi. "Ayo, dong, Ma, ayo," rengeknya sambil menarik-narik kabel telepon. Akibatnya si ibu jadi marah.

Memang, perilaku mengganggu atau bertingkah seperti yang dilakukan Dito tak jarang membuat orang tua merasa "gerah". Buntutnya, si anak jadi dimarahi. Menurut Dra. Rahmitha P. Soendjojo yang akrab disapa Mitha, perilaku mengganggu biasanya muncul ketika anak mulai mengenal lingkungan yang lebih luas. "Biasanya ketika anak sudah mampu berbicara dan berjalan," ujar psikolog dari Data Informasi Anak Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia ini.

Menurut Mitha, yang harus dilihat dari perilaku mengganggu adalah intensitasnya. "Apakah anak mengganggu hanya pada saat dan situasi tertentu?" Bila demikian, "Mungkin itu hanya merupakan bentuk penyesuaian dari anak terhadap lingkungan. Entah lingkungan baru atau lingkungan yang belum dikenalnya." Tapi bila itu terjadi berulang kali dan di setiap tempat, "Maka kita harus merunut ke belakang. Mungkin saja ada sebab khusus kenapa anak melakukannya."

CARI PERHATIAN

Pada umumnya, lanjut Mitha, dasar dari perilaku mengganggu adalah mencari perhatian. "Namun ada pula motif tertentu, misalnya, ingin punya teman." Jadi, anak mengganggu orang tua karena ingin ditemani. "Tapi bisa juga anak mengganggu karena ia marah. Mungkin ia merasa tak suka ditinggalkan atau cemburu, misalnya pada adik atau temannya, sehingga ia marah."

Perilaku mengganggu juga bisa terjadi karena faktor lingkungan. Misal, perhatian orang tua yang kurang. "Sering terjadi orang tua baru memperhatikan kalau anaknya nakal. Nah, si anak tentunya akan merasakan hal itu. Akhirnya anak jadi punya pikiran, 'Oh, kalau begitu aku harus mengganggu Bunda dulu supaya diperhatikan,'."

Selain itu, bisa terjadi perilaku mengganggu diperoleh dari teman atau tokoh yang diidolakannya. Misalnya, tokoh pada sebuah film di teve yang hobinya mengganggu. "Nah, si anak tentunya akan berpikir bahwa perilaku itu menarik. Apalagi yang melakukan adalah tokoh yang disukainya sehingga akhirnya ditirulah."

Biasanya perilaku mengganggu terjadi saat ayah/ibu tengah menelepon atau kala orang tua sedang menerima tamu. "Mungkin ada aktivitas antara si anak dengan ayah atau ibunya yang terganggu oleh telepon atau kehadiran tamu tersebut." Atau, "Anak tak terbiasa dengan kehadiran banyak orang di rumah. Sehingga ketika ada tamu, ia menjadi excited atau panik, tapi ia tak tahu bagaimana cara mengungkapkannya." Akibatnya, ia pun bertingkah, ada saja yang dilakukannya, termasuk mengganggu orang tua.

Hal ini, lanjut Mitha, ada kaitannya dengan keterampilan sosial yang dimiliki anak. "Anak kurang memiliki pengetahuan tentang keterampilan sosial. Misalnya, bagaimana harus meminta atau bagaimana cara memanggil orang tua yang sibuk." Akibatnya, ia menarik-narik baju ibunya atau menjatuhkan sesuatu sehingga membuat sang ibu akhirnya memperhatikan dia. "Biasanya ini terjadi pada anak-anak yang usianya masih sangat muda."

AJAK BICARA

Lantas, apa yang harus dilakukan orang tua dalam menghadapi perilaku mengganggu ini? "Katakan 'tidak' kepada anak," sahut Mitha. Maksudnya, laranglah si anak. Misalnya, "Kakak jangan ganggu, ya, Mama lagi telepon." Namun orang tua juga harus melihat apa sebetulnya yang diinginkan si anak. Misalnya, anak ingin sesuatu. Orang tua bisa mengatakan, "Kalau Kakak ingin sesuatu, bilang sama si Mbak, ya." Tapi jika yang dibutuhkan anak hanya ingin dekat dengan orang tua, misalnya dengan memegangi kaki sang ibu, maka ibu bisa bilang, "Kakak diam di situ dulu, ya. Mama mau telepon sebentar."

Cara lain ialah pindahkan si anak. "Atau, orang tua yang pindah," ujar Mitha seraya berpesan agar anak jangan dimarahi tapi ajaklah bicara. "Anak harus paham bahwa tingkahnya itu sangat mengganggu orang lain. Jadi, mau tak mau ia harus menghentikannya." Untuk itu, anak harus diajak bicara. "Jelaskan kepadanya mengapa orang tua tak suka ia berbuat seperti itu."

Selain itu, orang tua juga harus memperlihatkan rasa tak sukanya terhadap perilaku si anak yang mengganggu itu. Misalnya, dengan mengabaikan. "Jadi, enggak usah didengarkan atau diikuti ocehan si anak." Ini biasanya akan memberikan pemahaman kepada anak, "Oh, cara kayak gini nggak sukses, nih." Sehingga akhirnya si anak akan berhenti mengganggu.

Menurut Mitha, yang perlu ditanamkan pada anak adalah, ketika seseorang sedang melakukan sesuatu dan itu tak melibatkan dirinya, maka anak harus belajar untuk tak terlibat dalam kegiatan itu. "Ia harus memahami bahwa ketika ibunya mengatakan tidak, itu memang berarti tidak. Tapi itu tak berarti si ibu enggak sayang padanya. Biasanya anak kalau sudah dilarang, kan, jadi nelongso."

Bagaimana jika perilaku mengganggu justru muncul kala orang tua sedang menerima tamu? Saran Mitha, ajari si anak bagaimana menghadapi orang baru atau tamu. Misalnya, "Kalau Kakak mau kenalan, ayo, salaman sama Tante." "Jadi, anak diajarkan keterampilan bersosialisasi."

HUKUM DAN PUJIAN

Mitha minta dengan sangat agar orang tua tak menerapkan hukuman fisik pada anak yang mengganggu. Misalnya, memukul atau mencubit. Selain itu, orang tua juga tak boleh memberi label pada anak, seperti, "Kamu, kok, nakal banget, sih. Anak enggak tahu aturan." Apalagi jika label tersebut seringkali diberikan, karena akan membuat si anak lama-lama "mengakui" bahwa dirinya memang nakal, tak tahu aturan. "Akhirnya, anak akan makin nakal. Kalau ada tamu atau orang tua sedang menelepon, ia akan semakin bertingkah."

Bila perilaku mengganggunya memang sudah keterlaluan, saran Mitha, terapkan hukuman time out. Misal, anak mengganggu di ruang makan. "Anak bisa dimasukkan ke ruangan dimana ia tak bisa melanjutkan kesenangan yang didapatnya dengan mengganggu di ruang makan." Tapi, pesan Mitha, ruangannya jangan yang gelap. "Kalau anak dimasukkan ke kamar yang gelap, bukannya membuat ia jera malah takut." Jadi, masukkan ke ruangan yang terang namun si anak tak bisa bermain di sana. Waktu pengucilannya juga jangan lama-lama, "Cukup 5 atau 10 menit saja. Kalau terlalu lama malah bikin 'penyakit' yang lain." Setelah itu barulah ia boleh bermain lagi.

Namun orang tua hendaknya jangan hanya bisa menghukum kala anak bertingkah buruk, tapi juga harus memberikan pujian bila anak bertingkah baik. Malah, Mitha menganjurkan agar orang tua lebih memperhatikan pada perilaku baik yang dilakukan anak. "Jadi, lebih baik mengobral pujian daripada mengobral kemarahan." Sebab, terangnya, kalau orang tua lebih memfokuskan pada kenakalan anak, maka akan lebih menyusahkan dan tak efektif. "Anak justru akan semakin nakal." Sebaliknya, bila orang tua mau melatih diri untuk memuji anak setiap kali melakukan hal-hal baik, maka akan membuat anak sibuk mencari perilaku baik apa lagi yang harus dilakukannya agar orang tuanya senang dan ia mendapat pujian lagi.

Akhirnya, ujar Mitha, perilaku mengganggu sebenarnya bisa dicegah. Caranya dengan memperhatikan hal-hal yang bisa membuat anak mengganggu. Misalnya, anak ingin ditemani bermain. "Nah, orang tua jangan pilih waktu di mana sedang bermain dengan anak untuk mengobrol dengan orang lain atau menelepon." Kalau tidak, anak akan kesal. "Sedang asyik dibacakan cerita, misalnya, eh, tiba-tiba si ibu ninggalin dan menelepon berlama-lama. Ya, enggak heran kalau akhirnya anak akan mengganggu si ibu."

Pesan Mitha, bila orang tua berbicara di telepon hanya sekadar mengobrol yang tak begitu penting, sebaiknya batasilah pembicaraan tersebut. Si anak sebaiknya juga diberi tahu, misalnya, "Oke, Mama bicara 5 menit, nanti setelah itu kita main lagi." Namun tentunya orang tua harus tepat janji. "Kalau orang tua bilang mau telepon 5 menit, ya, harus 5 menit. Jangan malah molor sampai belasan menit. Karena hal itu akan menjadi 'senjata' buat anak. Begitu melihat si ibu telepon, ia akan mengganggu lagi."

Jadi, kalau si kecil mengganggu lagi, jangan dimarahi, lo.

Hasto Prianggoro/nakita