Penyandang Autisme Bisa "Sembuh"

By nova.id, Minggu, 13 Juni 2010 | 17:42 WIB
Penyandang Autisme Bisa Sembuh (nova.id)

Hati-hati bila si kecil belum juga bisa bicara. Apalagi ia kerap terlihat asyik sendiri dan tak peduli lingkungannya. Mungkin ia mengalami autisme.

Umumnya, bila sampai usia 2 tahun si kecil belum juga bisa bicara, barulah orang tua mulai cemas dan minta bantuan profesional semisal dokter atau psikolog. Celakanya, yang sering terjadi, si profesional malah "menghibur", "Ah, nggak apa-apa, kok, Bu, Pak. Biasanya bicara memang lebih lambat dari berjalan," atau, "Banyak klien saya yang anaknya dulu lambat bicara tapi sekarang malah cerewet."

Padahal, seperti dikatakan DR. Rudy Sutadi, DSA, ucapan yang "menghibur" itu sama sekali tak ada landasan ilmiahnya. "Justru kita harus waspada kalau anak belum juga bisa bicara," ujar Wakil Ketua Yayasan Austisma Indonesia ini. "Karena salah satu hal yang paling sering terjadi pada anak penyandang autisme ialah tak bicara," terangnya.

Memang, diakui Rudy, bukan berarti kita harus selalu curiga si anak menyandang autisme bila dalam masa perkembangannya belum juga bisa bicara. "Karena bisa saja si anak tuli atau bahkan bisu tuli," ujarnya. Kalau begitu, apa saja gejala atau tanda-tanda autisme?

SERING INKONSISTEN

Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder Fourth Edition (DSM IV) dari asosiasi psikiater Amerika dan International Classification of Disease (ICD 10) dari WHO, penyandang austime memiliki kriteria. Antara lain, ada gangguan bicara, tak ada kontak mata, tak ada peer relationship, tak bisa merasakan apa yang dirasakan orang lain, suka menstimulasi diri seperti handflapping, berjalan jinjit, dan sebagainya. Nah, bila terdapat beberapa tanda/gejala yang termasuk kriteria tersebut, maka bisa dikatakan si anak menyandang austime.

Misalnya, pada anak usia mulai bisa bicara sekitar 1-2 tahun, kemampuannya hanya mengoceh dalam bahasa "planet" atau membeo (echolali). Misalnya, saat ditanya, "Siapa namamu?" ia akan mengulangi pertanyaan tersebut dan itu dilakukannya berulang-ulang. Lagu pun diulangnya terus-menerus. Jika ditanya lagu apa yang dinyanyikan, ia diam dan acuh saja. "Beda dengan anak normal, yang kalau ditanya, akan menjawab."

Ada juga anak yang sudah mulai bisa bicara beberapa kata, tapi tiba-tiba, misalnya di usia 18 bulan atau 2 tahun berhenti bicara secara mendadak. "Secara teoritis ini terjadi karena berhentinya perkembangan otak. Tadinya anak mulai mampu tapi tiba-tiba kemampuannya hilang, karena memang ada gangguan di otak. Hal ini sering terjadi," jelas Rudy.

Tanda/gejala lainnya ialah tak ada tatapan atau kontak mata. Si anak pun suka menyendiri dan main sendiri, acuh pada sekeliling, tak takut ataupun menangis. Ditinggal orang tua, dia juga diam saja. Saat bermain, misalnya, dia menderetkan mainan lalu merusaknya kembali dan itu dilakukan berulang-ulang tanpa henti. Ada yang senang mengepakkan tangannya bak burung (handflapping), memutar badannya atau benda semisal koin, piring dan benda lainnya secara terus-menerus. Ia senang memainkan roda mobil-mobilan, melihat putaran kipas angin atau ban mobil sambil mengikutinya dengan gerakan matanya. Kegiatan yang dilakukannya itu berlangsung terus-menerus.

Ada juga tanda gangguan emosi seperti ekses kelebihan dan defisit. Misalnya, respon atas stimulusnya berlebihan, padahal mungkin bagi anak normal, hal itu biasa-biasa saja. Contohnya, ketika melihat semut beriring ia akan memperhatikannya sekian lama, terus-menerus tanpa henti. Sementara untuk anak dengan defisit emosi, contohnya jika digelitik seperti apa pun, ia tetap saja bengong.

Yang lain menunjukkan rasa sensitif terhadap sentuhan. Misalnya, baru diraba kulitnya, sudah serasa diamplas. Atau justru sebaliknya, hiposensitif, sama sekali tak merasakan sentuhan. Misalnya, kalau menggaruk harus sampai keluar darah barulah ia puas dan berhenti.

Yang jelas, "Tanda dan gejala autisme ini sering inkonsisten atau tak terlihat setiap saat atau setiap waktu," ujar Direktur Program KID-Autis (Klinik Intervensi Autisme) JMC ini. Misalnya, bila dipanggil keras namanya, si anak tak bereaksi. Namun begitu mendengar lagu iklan di TV dia akan bereaksi. "Karena inkonsisten inilah, orang tua jadi tak segera menyadari bahwa ada sesuatu yang tak wajar dalam diri anaknya."