Penyandang Autisme Bisa "Sembuh"

By nova.id, Minggu, 13 Juni 2010 | 17:42 WIB
Penyandang Autisme Bisa Sembuh (nova.id)

FAKTOR GENETIK

Autisme, terang Rudy, merupakan gangguan proses perkembangan yang terjadi dalam 3 tahun pertama kehidupan. Hal ini menyebabkan gangguan pada bahasa, kognitif, sosial, dan fungsi adaptif. Akibatnya, anak autisme semakin lama semakin jauh tertinggal dibanding anak seusianya ketika umurnya semakin bertambah.

Karena merupakan gangguan proses perkembangan, maka tanda/gejala timbulnya bukan hanya pada satu titik umur tertentu tapi bertahap sesuai perkembangan anak. Juga tak bisa dideteksi saat lahir, melainkan harus dilihat sesuai dengan perkembangan anak. Misalnya, masalah gangguan bicara. Pada bayi baru lahir jelas belum bisa bicara, namun bisa diketahui pasti gejalanya sebelum usia 3 tahun.

Merujuk pada riset terakhir, seperti dipaparkan Rudy, diketahui bahwa autisme terjadi karena ada gangguan neurobiologis. "Ini timbul akibat kelainan perkembangan sel-sel otak selama ia berada di dalam kandungan." Gangguan tersebut dapat disebabkan infeksi virus (rubella, herpes, CMV), infeksi toksoplasma, infeksi jamur, perdarahan, ataupun keracunan. Akibatnya, pertumbuhan sel-sel otak di beberapa tempat jadi kurang sempurna. Lokasi pada otak yang sering dijumpai adanya kelainan adalah otak kecil, yang berfungsi untuk keseimbangan, berpikir, daya ingat, belajar bahasa, dan perhatian atau perilaku. Tapi persentasenya hanya 15 persen.

Jadi, tandas Rudy, gangguan perkembangan otak ini sebetulnya sudah dimulai sejak di dalam kandungan. Penyebabnya bisa multifaktor. Yang jelas, lanjut Rudy, "Para ahli sudah sepakat, autisme karena faktor genetik, bakat, atau keturunan, yang dipengaruhi pula faktor lain seperti bahan kimia, yaitu pengawet makanan, penyedap rasa, dan lain-lain."

INTERVENSI DINI

Kendati demikian, austime tetap dapat di"sembuh"kan. Namun "sembuh" yang dimaksud ialah bila si anak bisa masuk ke dalam mainstreaming. "Artinya, mereka bisa masuk sekolah biasa, bisa mengikutinya, bisa berkembang, dan bisa hidup di masyarakat. Tak berbeda dengan anak lain dan tak tampak gejala sisa. Anak pun tak bisa dibedakan baik secara tes akademik maupun sosialnya," terang Rudy.

Dari hasil penelitian diketahui, "kesembuhan" tersebut dapat diperoleh melalui intervensi dini intensif berdasarkan prinsip ABA yaitu Applied Behavior Analysis atau yang dikenal sebagai metode Lovaas. Rudy menyebutnya sebagai Tatalaksana Perilaku. "Metode ini dilakukan secara intensif, minimal 40 jam seminggu atau during all waking hour, sepanjang waktu terjaganya anak. Jadi, kalau terjaganya si anak 50 jam, ya, selama itu."

Kelebihan dari metode ini ialah sistematis, terstruktur, dan terukur. Jadi, program ini memiliki kurikulum disertai petunjuk tentang apa yang harus dilakukan atau diajarkan, dapat dinilai berhasil-tidaknya, juga bisa diulangi oleh siapa pun dan kapan pun.

Cara pelatihannya adalah dengan konsep tiru. Dimulai dengan perseptif, lalu daya tangkap anak atau kognitif, baru kemudian yang ekspresif. Misalnya, meniru gerakan mengangkat tangan. Setelah menguasai konsep tiru minimal 5 gerakan, lalu si anak mulai meniru suara, selanjutnya suku kata dan kata. "Konsep tiru ini bermanfaat untuk jangka pendeknya, yaitu melatih bahasa."

Jika anak sudah bisa meniru suku kata, berarti sudah merupakan kemajuan yang amat besar. Sebab, kata tersusun dari suku kata dan anak autisme tak bisa dipaksa bilang, misalnya, "mata", bila ia belum menguasai suku kata.

TAK PERNAH TERLAMBAT