Misalnya, untuk anak usia 2-3 tahun, sebaiknya kalimat di buku tersebut jangan terlalu panjang. "Cukup 2 atau 3 kata. Bila anak sudah lebih besar dan kosakatanya pun sudah lebih banyak, bisa lebih panjang lagi kalimatnya," tutur Gerda. Kalimatnya pun sebaiknya kalimat tunggal, jangan mulai dengan kalimat majemuk. Bentuk hurufnya juga harus huruf yang standar, tidak yang aneh-aneh.
Pilih bacaan yang berkaitan dengan diri anak sebagai sentrum. Misalnya, kehidupan keluarga, budaya sekitar seperti kota di mana si anak tinggal, pasar tradisional, supermarket, dan sebagainya. Tujuannya untuk memperkenalkan lingkungan selanjutnya pada si anak.
Setelah itu, bacaan si anak bisa diperluas. Misalnya, buku tentang hidup di pedesaan, kehidupan di laut, dan sebagainya.
BELAJAR MEMBACA
Bagaimana kalau mengajari anak membaca? Juga harus dengan cara yang tak serius. Jadi, bukan seperti mengajari anak SD yang belajarnya langsung lewat tulisan, melainkan dengan membaca gambar. Misalnya, gambar rumah. Di atas atau di bawah gambar itu diberi tulisan kata "rumah".
Dengan begitu, sambil bermain anak akan mulai mengenal konsep. "Ini akan menggelitik anak untuk belajar membaca," ujar Gerda. Sehingga, anak yang sudah mencapai kematangan membaca, begitu melihat majalah bergambar akan langsung menarik ibunya untuk membacakan. Akhirnya timbul kebiasaan, bahwa membaca adalah suatu kebutuhan.
Ia juga mengingatkan, mengajari anak membaca bukan dengan cara mengenalkan huruf-huruf lepas. Misalnya, "r-u" sama dengan "ru". Sebab, ada bunyi-bunyi tertentu yang tak bisa diekspresikan anak. Dari contoh tadi, karena "h" dikenalkan sebagai "ha", maka kombinasi yang dibacakan anak menjadi salah. Seharusnya "rumah" menjadi "rumaha".
Selain itu, mengenalkan huruf secara lepas juga akan membuat anak susah membaca. "Karena ia harus mengeja per huruf, bukan mengenalkan gambar sebagai suatu struktur kesatuan," terang Gerda. Yang benar ialah anak diperkenalkan pada suatu struktur totalitas. Misalnya, "rumah" dikenalkan sebagai "ru" dan "mah". Cara ini disebut metode SAS, yaitu Struktural Analitis Sintetik. "Strukturnya 'rumah', dianalisakan menjadi 'ru' dan 'mah', kemudian menjadi satu sintesa atau penggabungan."
Suku kata yang sama diberi warna yang sama. Misalnya, "ru" dengan warna biru. Kemudian carilah gambar-gambar yang dimulai dengan "ru". Misalnya, gambar anak lelaki bernama "Rudi". Dengan demikian, anak akan bisa mengasosiasikan. "Anak yang memang sudah matang visualisasi dan konsep-konsep untuk melakukan asosiasi akan menemukan insight. Sehingga terjadilah insight learning atau belajar dengan pemahaman, tanpa harus dipaksa."
Seharusnya, lanjut Gerda, memang sudah dipikirkan satu metode membaca yang menjadi acuan baku agar tak membingungkan. "Jangan sampai orang tua menggunakan metode A, sementara guru menggunakan metode B. Jadi, harus ada satu metode baku. Guru mengajar dengan metode A, orang tua mengajar juga dengan metode A. Agar tidak terjadi kesimpangsiuran." bersambung
Hasto Prianggoro/nakita