Tidak sulit, kok, menumbuhkan minat dan kebiasaan membaca pada anak. Yang penting, orang tua juga memiliki minat tersebut.
Buku adalah jendela dunia. Begitu kata pepatah. Itulah mengapa penting menumbuhkan minat membaca pada anak. Dan ternyata, minat membaca sudah bisa ditumbuhkan sejak anak ada di usia babyhood. Yaitu sejak anak bisa diajak berkomunikasi dan bisa berekspresi. "Meskipun kosakata yang dimilikinya masih terbatas," ujar Dra. Gerda K. Wanei, MPsi dari FKIP Unika Atma Jaya Jakarta.
Adalah tugas orang tua untuk mengarahkan anaknya agar memiliki minat dan kebiasaan membaca. Orang tua, tulis Lee Tzu Pheng dalam bukunya, Teach Your Child to Read, merupakan guru paling efektif bagi anak, khususnya anak prasekolah. "Apa yang dilakukan orang tua untuk membantu anaknya di usia ini akan membawa konsekuensi bagi perkembangan anak selanjutnya, termasuk mempelajari kemampuan membaca," tulisnya lebih lanjut.
MANFAAT
Dengan memiliki minat dan kebiasaan membaca, tutur Gerda, selain otak berkembang, anak juga akan mempunyai suatu attitude yang baik. "Ia jadi bisa lebih berpikir rasional dan memiliki wawasan lebih luas. Ia juga lebih bisa mengendalikan diri."
Dalam bahasa lain, kebiasaan membaca akan memperkaya diri seseorang untuk menyiapkannya menjadi manusia yang lebih berkualitas. "Minimal, inilah yang harus disadari orang tua sehingga mereka bisa memulai menumbuhkan minat membaca dari rumah," kata Ketua Jurusan Bimbingan & Konseling FKIP Unika Atma Jaya Jakarta ini
Untuk itu, orang tua sebaiknya juga sudah mengkonsumsi bekal-bekal secara psikologis dalam arti pengayaan literatur, wawasan, dan sebagainya. "Misalnya, mereka tahu kapan saat anak masuk pada chatterbox age, yakni usia anak mulai selalu bertanya sesuatu," tutur Gerda.
Yang sering terjadi, orang tua justru menganggap anaknya bawel karena gencar bertanya. Padahal, kalau anak diberi arahan, misalnya dengan membiasakan membaca, anak akan lebih bisa terarahkan untuk membina konsep-konsep intelektualnya. Jadi, tandas Gerda, orang tua jangan melulu memperhatikan kebutuhan fisiologis atau kebutuhan fisik sementara perhatian kebutuhan psikis anak hanya sedikit.
BUKU BERGAMBAR
Hanya saja, dalam menumbuhkan minat membaca, pesan Gerda, "Janganlah dengan cara yang serius, tapi dengan bermain." Ingat, usia balita adalah usia bermain. Dengan bermain, anak menjadi senang. Kalau sudah senang, maka ia akan semakin tertarik. Dengan demikian, kebiasaan membaca akan lebih kuat terbentuk.
Misalnya, lewat mendongeng. "Mendongeng merupakan salah satu tahapan untuk membangkitkan minat baca seorang anak, sehingga membaca bisa menjadi hobi bagi anak," terang Gerda. Lagipula, seperti ditulis Lee Tzu Pheng, pengalaman-pengalaman hidup dalam dongeng dan pengenalan kehidupan lewat cerita merupakan hal berharga yang bisa Anda tawarkan kepada anak. Lewat dongeng, anak akan belajar tentang kehidupan dan manusia, dan yang lebih penting, tentang apa yang ia bisa lakukan.
Selain itu, perkenalkan anak dengan buku-buku bacaan bergambar. Mengapa bergambar? Karena anak usia ini sedang memasuki dunia fantasi. Disamping itu, dari gambar tersebut si anak akan belajar tentang pesan. Karena itu gambar yang menjadi fokus sebaiknya besar dan pesan yang diberikan bertingkat.
Misalnya, untuk anak usia 2-3 tahun, sebaiknya kalimat di buku tersebut jangan terlalu panjang. "Cukup 2 atau 3 kata. Bila anak sudah lebih besar dan kosakatanya pun sudah lebih banyak, bisa lebih panjang lagi kalimatnya," tutur Gerda. Kalimatnya pun sebaiknya kalimat tunggal, jangan mulai dengan kalimat majemuk. Bentuk hurufnya juga harus huruf yang standar, tidak yang aneh-aneh.
Pilih bacaan yang berkaitan dengan diri anak sebagai sentrum. Misalnya, kehidupan keluarga, budaya sekitar seperti kota di mana si anak tinggal, pasar tradisional, supermarket, dan sebagainya. Tujuannya untuk memperkenalkan lingkungan selanjutnya pada si anak.
Setelah itu, bacaan si anak bisa diperluas. Misalnya, buku tentang hidup di pedesaan, kehidupan di laut, dan sebagainya.
BELAJAR MEMBACA
Bagaimana kalau mengajari anak membaca? Juga harus dengan cara yang tak serius. Jadi, bukan seperti mengajari anak SD yang belajarnya langsung lewat tulisan, melainkan dengan membaca gambar. Misalnya, gambar rumah. Di atas atau di bawah gambar itu diberi tulisan kata "rumah".
Dengan begitu, sambil bermain anak akan mulai mengenal konsep. "Ini akan menggelitik anak untuk belajar membaca," ujar Gerda. Sehingga, anak yang sudah mencapai kematangan membaca, begitu melihat majalah bergambar akan langsung menarik ibunya untuk membacakan. Akhirnya timbul kebiasaan, bahwa membaca adalah suatu kebutuhan.
Ia juga mengingatkan, mengajari anak membaca bukan dengan cara mengenalkan huruf-huruf lepas. Misalnya, "r-u" sama dengan "ru". Sebab, ada bunyi-bunyi tertentu yang tak bisa diekspresikan anak. Dari contoh tadi, karena "h" dikenalkan sebagai "ha", maka kombinasi yang dibacakan anak menjadi salah. Seharusnya "rumah" menjadi "rumaha".
Selain itu, mengenalkan huruf secara lepas juga akan membuat anak susah membaca. "Karena ia harus mengeja per huruf, bukan mengenalkan gambar sebagai suatu struktur kesatuan," terang Gerda. Yang benar ialah anak diperkenalkan pada suatu struktur totalitas. Misalnya, "rumah" dikenalkan sebagai "ru" dan "mah". Cara ini disebut metode SAS, yaitu Struktural Analitis Sintetik. "Strukturnya 'rumah', dianalisakan menjadi 'ru' dan 'mah', kemudian menjadi satu sintesa atau penggabungan."
Suku kata yang sama diberi warna yang sama. Misalnya, "ru" dengan warna biru. Kemudian carilah gambar-gambar yang dimulai dengan "ru". Misalnya, gambar anak lelaki bernama "Rudi". Dengan demikian, anak akan bisa mengasosiasikan. "Anak yang memang sudah matang visualisasi dan konsep-konsep untuk melakukan asosiasi akan menemukan insight. Sehingga terjadilah insight learning atau belajar dengan pemahaman, tanpa harus dipaksa."
Seharusnya, lanjut Gerda, memang sudah dipikirkan satu metode membaca yang menjadi acuan baku agar tak membingungkan. "Jangan sampai orang tua menggunakan metode A, sementara guru menggunakan metode B. Jadi, harus ada satu metode baku. Guru mengajar dengan metode A, orang tua mengajar juga dengan metode A. Agar tidak terjadi kesimpangsiuran." bersambung
Hasto Prianggoro/nakita