"Kamu mau apa? Mau kue? Tapi dihabisin, ya," bilang Desy (4 tahun). Padahal, di hadapannya tak ada siapa pun. Begitulah salah satu ciri anak usia 3-4 tahun. Suka asyik ngobrol sendiri. Tapi bukan berarti mereka nggak waras, lo. Melainkan sedang bermain dengan teman khayalnya.
Teman khayal, terang Dra. Shinto B. Adelar, merupakan bagian dari fantasi anak dalam bermain imajinatif, "Seakan-akan anak punya teman saat bermain sendiri." Seringkali dalam bermain imajinatif, ia juga menggunakan alat dan menganggap alat itu sebagai sesuatu yang lain. Misalnya, menganggap pulpen sebagai ular dan sebagainya. Anak usia sekitar 3-4 tahun belum bisa membedakan mana yang realita dan fantasi, "Mereka masih animistis. Semua benda mati dianggap punya nyawa, sama seperti orang."
Bermain imajinatif, terang psikolog dari Fakultas Psikologi UI ini lebih lanjut, dilakukan anak karena ia melihat dalam kehidupan sehari-hari orang tak bisa berbicara sendiri, harus ada lawan bicaranya. "Nah, karena lawan bicaranya nggak ada, maka ia mengembangkan sendiri di dalam fantasinya." Atau ia berimajinasi seakan-akan bonekanya bisa berbicara, "Mau makan apa? Aku suapin, ya?"
HILANG SENDIRI
Umumnya orang tua khawatir kala menyaksikan anaknya asyik ngomong sendiri. Dianggapnya sang anak sudah tak normal lagi. Bahkan ada yang mengira anaknya kemasukan roh halus. Padahal, "Ini merupakan hal yang wajar. Justru kalau ini tak tumbuh pada anak-anak, harus diteliti," kata Shinto.
Hal ini biasa terjadi saat anak berusia sekitar 3 tahun. Tapi kalau sampai umur 5 tahun si anak tak bisa bermain imajinatif, kita patut curiga. "Mungkin saja kapasitas kecerdasannya agak kurang atau anak mengalami kelambatan dalam perkembangannya. Sebab, anak-anak yang kurang cerdas tak akan bisa membayangkan hal-hal seperti itu."
Soal apa saja isi pembicaraan si anak dengan teman khayalnya, berbeda-beda pada setiap anak. Yang pasti, erat kaitannya dengan pengalaman sehari-hari si anak. Begitu juga dengan topiknya, tergantung pengalaman mana yang paling dominan dalam kehidupan si anak.
Dengan bertambahnya usia, teman khayal akan hilang sendiri. Anak akan menjadi lebih realistis di samping, "Lingkungan pergaulannya juga akan lebih luas. Misalnya, dengan adanya teman-teman di sekolah. Nah, otomatis, akan semakin berkurang kesempatan untuk membuat teman khayal."
MENGATASI MASALAH
Adapun fungsi teman khayal bagi anak, salah satunya untuk mengembangkan kemampuan kognitif. Karena si anak tentunya akan banyak berpikir untuk bisa melakukan dialog dengan teman khayalnya itu. "Nah, dengan banyak berpikir, maka akan merangsang otak untuk berkembang secara kognitif," tutur Shinto.
Bermain dengan teman khayal juga melatih anak untuk mengungkapkan emosinya dengan cara-cara yang lebih bisa diterima. Misalnya, ia kesal lalu memukul teman khayalnya. Tapi coba kalau dia bermain dengan teman beneran lalu memukulnya, kan, tidak boleh. Bisa jadi si teman malah balas memukul. Iya, kan!